SETIAP orang memiliki kenangan. Entah itu kenangan indah atau kenangan pahit. Termasuk kenangan terhadap pohon kamboja di Kampus Bawah Undiksha Singaraja.
Saya sendiri sedih ketika pohon kamboja tua di Kampus Bawah itu kini sudah ditebang dan menjadi serpihan-serpihan kecil yang mungkin saja siap menjadi kayu bakar. Sangat banyak kenangan yang disimpan oleh pohon tua itu.
Mungkin juga kenangan yang sama terhadap pohon kamboja itu dimiliki oleh banyak mahasiswa lain, yang sedang kuliah atau pernah kuliah di Kampus Bawah itu. Mahasiswa itu mungkin kini menjadi guru, kini menjadi pengusaha, kini menjadi pejabat birokrat, kini menjadi wartawan, kini menjadi petani dan tinggal di desa, tapi mereka mengingat pohon kamboja itu dengan lekat.
Setiap orang memberi makna tersendiri terhadap kamboja itu. Ketika sudah ditebang, banyak orang yang mengunggah foto pohon tua itu di media sosial dengan keterangan melankolis, misalnya, “kini pohon kamboja tua tak lagi menyaksikanku” atau yang sejenisnya.
Menurut saya hal ini tidaklah berlebihan karena sesungguhnya pohon kamboja dan maknanya adalah milik masing-masing orang. Saya pun demikian. Bagi saya Dekan Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) yang menyarankan untuk menumbangkan pohon itu adalah utusan Tuhan yang sangat memahami saya.
Beliau begitu paham mengenai kenangan saya di balik rentanya kamboja itu. Saya yang sudah hampir empat tahun berada di kampus ini telah memiliki banyak sekali kenangan yang indah sekaligus kenangan pahit yang disaksikan pohon tua itu.
Saya mengenal kamboja tua yang seakan-akan menjadi maskot Kampus Bawah itu pertama kali adalah ketika OKK fakultas. Aneh, adalah kata pertama dalam benak saya ketika melihat pohon itu. Pohon tua yang sudah tidak memiliki daun, apa lagi bunga, seolah-olah hanya siap untuk ditebang, tetapi justru dirawat bahkan dihias dengan aneka kreativitas.
Memang aneh, tetapi kali pertama saya berkenalan dengan pohon itu, saya sudah merasa nyaman melihatnya dengan berbagai pernak-pernik yang menghiasinya.
Pohon tua itu menjadi saksi ketika saya harus menangis pada saat kakak-kakak kelas menyanyikan lagu Kampus Bawah Undiksha yang dibawakan oleh Komunitas Cemara Angin. Saat itu adalah saat saya pertama kali harus meninggalkan kampung halaman dan memilih untuk tinggal di Kota Singaraja.
Terlebih lagi, saya bertemu dengan gadis yang kemudian menemani hari-hari di Singaraja. Kamboja itu bagaikan memori yang menyimpan banyak hal di dalamnya.
Pohon kamboja yang tua itu tak juga ditebang meskipun terlihat semakin hari semakin renta, tetapi semakin terlihat indah pula dari tahun ke tahun. Sebab, ada saja hal baru yang membuatnya tampak hidup. Mulai dari perahu yang dipasang di atas pohon itu, kemudian kepala yang terbuat dari buah kelapa, hingga wajah yang terbuat dari kaleng-kaleng bekas. Semua perhiasan untuk kamboja itu seolah-olah membuatnya terlihat abadi.
Tidak hanya itu, kamboja tua yang berada di tengah-tengah kampus bawah itu menjadi saksi banyak hal bagi saya. Selain menjadi saksi ketika kegiatan orientasi kampus dengan kesenangan dan kesedihannya, pohon kamboja itu juga menjadi saksi ketika banyaknya kegiatan yang dilaksanakan di wantilan.
Pohon itu merekam adanya banyak tawa dan tangisan yang membuatnya kokoh berdiri di depan wantilan Kampus Bawah. Bagi saya yang merupakan seorang perantau, kampus adalah rumah kedua. banyak kegiatan yang saya lakukan di bawah pohon tua yang tak berdaun itu, mulai dari kegiatan Bulan Bahasa, latihan-latihan, dan banyak hal lainnya. Pohon itu bukan sekadar pohon kamboja lagi, bagi saya pohon itu adalah pohon kenangan.
Kini, sudah lama saya berkenalan dengan pohon itu, sudah banyak cerita yang terajut di bawah pohon itu. Sudah hampir empat tahun saya berada di Kampus Bawah Undiksha untuk merajut banyak kenangan. Namun, tepat di hari kasih sayang, pohon itu harus menyudahi tugasnya menjadi saksi bisu segala kenangan yang entah mengenakan atau tidak mengenakkan di Kampus Bawah.
Sesuai dengan perintah Ibu Dekan Fakultas Bahasa dan Seni, pohon itu akhirnya ditebang dan digantikan dengan pohon kamboja yang baru. Saya rasa kesedihan atas penebangan pohon ini tidak hanya saya seorang yang merasakannya, tetapi teman-teman yang selalu saya ajak gradag-grudug di kampus merasakan hal yang sama.
Kembali lagi, pohon itu milik setiap orang. Bagi saya penebangan itu searah dengan apa yang telah saya rasakan. Pohon itu sesungguhnya hidup dengan banyak kenangan saya. Kenangan-kenangan yang memang harus ditumbangkan.
Kamboja bukanlah sekadar kamboja, ia hidup bersama imajinasi setiap orang yang melihatnya. Kenangan saya bersama teman-teman bahkan gadis yang bertemu ketika orientasi kampus telah direkam oleh pohon kamboja itu.
Ketika saya harus memulai hal yang baru tanpa harus bergumam dengan segala kenangan, Ibu Dekan yang seakan memahami hal itu menyarankan untuk menumbangkan pohon kamboja dan diganti dengan kamboja yang baru.
Lagi-lagi, dalam imajinasi, pohon kamboja tua itu, melalui Ibu Dekan, memberi saya pesan. Hal yang indah itu memang patut dikenang, tetapi hal itu harus dilepas dengan segala keiklasan. Siap tidak siap, hal yang baru harus dijalani. Pesan itu saya tangkap ketika memandangi ranting-ranting pohon kamboja itu ketika sudah ditebang dan segala kenangan yang terlintas kembali. Kemudian, pohon bamboja yang baru, ditanam ditempat yang sama dengan pohon kamboja tua awalnya berdiri.
Yang membuat saya sedih adalah ketika saya tidak menyaksikan penebangan pohon itu. Sudah pasti saya tidak dapat menyaksikan penebangan itu, karena pohon itu ditebang pada pagi hari. Sayang, bangun pagi adalah hal sulit bagi saya. Jadi, saya harus mengiklaskan diri untuk melihat pemandangan hanya ketika pohon itu sudah tumbang dan sudah dipotong pendek-pendek untuk kemudian siap diangkut dengan mobil.
Kini pohon kenangan itu sudah diganti dengan pohon kamboja yang baru yang akan menjadi pohon kenangan untuk mahasiswa yang sedang berproses di Kampus Bawah Undiksha. (T)