Judul Film: La La Land
Sutradara : Damien Chazelle
Penulis : Damien Chazelle
Bintang : Ryan Gosling, Emma Stone, J.K. Simmons
Genre : Comedy, Drama, Musical, Romance
Memang kisah cinta terkadang bisa jadi sangat klise jika diangkat menjadi film. Sutradara sebuah film akhirnya harus memutar otak bagaimana agar tak terjebak dengan cinta yang begitu-begitu saja. Serius.
Memang berapa banyak orang yang ingin melihat film Romeo – Juliet atau Galih – Ratna jika tidak dikemas secara berbeda? Saya sendiri cenderung kurang minat menonton film romantis yang kadang endingnya sangat mudah ditebak. Membosankan.
Namun, La La Land berhasil menyuguhkan kisah cinta yang ‘biasa’ menjadi kisah musikal yang menarik sekaligus artistik.
Mia (Emma Stone) adalah seorang aktris yang seringkali gagal dalam audisi lakon. Sementara Sebastian (Ryan Gosling) adalah pianis jazz yang idealis. Di kepalanya, tertanam keinginan membuka jazz club yang menampilkan musik jazz murni. Namun, dia sendiri masih kesulitan untuk menghidupi dirinya sendiri. Keduanya bertemu dalam berbagai kesempatan, hingga akhirnya menemukan ketertarikan satu sama lain.
Singkat cerita, mereka berpacaranlah. Konflik pun muncul ketika Sebastian kehilangan idealismenya dengan bergabung sebagai pianis di alur mainstream. Walau memang tak sesuai dengan idealisme Sebastian, band itu sukses besar. Sementara, Mia terkatung dengan mimpinya sebagai aktris, apalagi monolognya tak mendapat sambutan hangat ditambah kehidupan cintanya yang berantakan.
Sempat menyerah, namun keberuntungan menghampiri Mia. Ia mendapatkan panggilan audisi yang kelak menghantarkannya menjadi aktris besar, dengan didukung sepenuhnya oleh Sebastian. Ironisnya, pada saat itulah cinta keduanya memudar.
Bagi saya, kisah macam ini tak ada istimewanya. Malah cenderung mainstream. Berapa kali sih kita melihat kisah macam ini? Lihat saja film-film Woody Allen atau film yang diangkat dari novel Nicholas Sparks.
Namun, di tangan sutradara Damien Chazelle, kisah ini menjadi sangat berkualitas, bahkan hampir dari semua aspek perfilman. Editing, misalnya. Perpindahan dari satu adegan ke adegan berikutnya disunting dengan apik dengan permainan cahaya, perpindahan kamera dan warna. Teknik long-shot juga terlihat dominan.
Contohnya pada adegan pembuka, kamera bergerak bebas mengikuti para penari tanpa suntingan. Saya bisa membayangkan, sedikit saja ada kesalahan dari para pemain, tentunya akan berujung pada pengambilan gambar ulang. Dan teknik ini dipakai berkali-kali. Belum lagi koreografi.
Sebagai film musikal, koreografi yang ditampilkan memang sangat pas untuk menimbulkan kesan retro ala film musikal klasik Hollywood. Tone warna yang digunakan pun saya yakin dipilih dengan cermat, sehingga membuat film ini sangat colourful.
Bagaimana dengan Emma Stone dan Ryan Gosling? Saya pikir kemampuan akting keduanya memang bagus, walaupun tidak terlalu istimewa. Stone, saya pikir lebih bagus ketika bermain dalam Birdman. Sementara Gosling, jelas saya pernah melihat aktingnya yang lebih bagus. Tapi usaha keduanya untuk menimbulkan chemistry patut diacungi jempol.
Siapa sih yang tidak baper melihat pasangan ini menari berlatar langit ungu dan kelip lampu? Atau melayang di antara ribuan bintang? Romantisme macam ini memang selalu sukses memikat penonton.
Pada akhirnya, menonton La La Land tidak akan membuat siapapun bosan. Film ini menawarkan sensasi yang berbeda dengan upaya menjejali fantasi di kepala penontonnya. Nominasi 14 Oscar rasanya memang pantas untuk film fantasi musikal ini.
Saya sendiri menaruh apresiasi yang luar biasa pada sang sutradara, Damien Chazelle, yang sukses menghidupkan kembali film musikal yang berkualitas. Dengan produksi yang dirancang dengan sangat teliti, saya yakin film ini memiliki peluang besar meraih Best Picture dalam Academy Awards 2017. (T)