TRADISI itu diciptakan. Tradisi tak turun dari langit. Karena diciptakan, tradisi juga bisa punah. Bisa juga berkembang, bisa juga tercipta tradisi baru.
Wayan Ariawan, pecinta lingkungan yang tinggal di kawasan wisata Lovina, teppatnya di wilayah Enjung Sanghyang, Desa Kaliasem, Kecamatan Banjar, Buleleng, berniat menciptakan tradisi, setidaknya di keluarganya sendiri. Yakni, melepaskan burung ke alam bebas, setelah upacara telu bulanan (tiga bulanan), anaknya, Ni Luh Risna Permata Sari, Sabtu, 4 Februari 2017.
Ia berharap ada keluarga dekatnya, tetangga, atau orang-orang yang tak dikenalnya di daerah lain, tergugah untuk melakukan hal yang sama. Sehingga hal itu bisa menjadi tradisi yang baik untuk menyelamatkan lingkungan.
Upacara tiga bulanan itu biasa juga disebut upacara bajang colong. Atau di daerah lain juga biasa disebut mecolongan. Biasanya, dalam upacara itu berisi tradisi melepaskan ayam. Tapi oleh Wayan Ariawan bersama istrinya, Made Sariani, tradisi itu ditambah dengan melepaskan sejumlah burung ke alam liar. Burung yang dilepaskan adalah burung cerukcuk dan perkutut.
“Ini saya ciptakan sendiri, dengan harapan keluarga dan warga lain mau mengikuti. Selain sebagai upaya pelestarian, lama-kelamaan akan berkembang menjadi ajaran kasih sayang,” kata Ariawan.
Harapan Ariawan bisa saja sia-sia. Mungkin saja tak ada yang mau mengikutinya karena dianggap bukan sebagai tradisi nenek moyang, atau tradisi turun-temurun, atau tradisi leluhur. Namun tindakan itu tak akan pernah sia-sia, meski hanya satu orang yang melakukannya.
Bicara soal tradisi, warga Tionghoa punya tradisi melepas burung pipit pada saat perayaan tahun baru China atau Imlek. Ritual melepas hewan ke alam liar dipercaya memberikan pengaruh kepada peruntungan dan kehidupan karena dilakukan dengan sikap belas kasih untuk menjaga keseimbangan alam.
Di Desa Tambakan Buleleng juga terdapat tradisi melepaskan sapi ke alam bebas. Sapi dilepaskan oleh warga yang kaul (harapannya) terkabul. Di Desa Selulung, Bangli, juga terdapat tradisi melepaskan anak sapi ke alam bebas. Itu juga sebagai bentuk pesembahan ketika seseorang mendapatkan anak laki-laki.
Semua tradisi itu pada awalnya diciptakan oleh seseorang atau secara kolektif dengan alasan tertentu yang kemudian diwarisi secara turun-temurun. Sehingga tradisi kemudian menjadi kebiasaan kolektif atau kesadaran kolektif.
Tradisi yang baik, misalnya tradisi melestarikan lingkungan atau tradisi penerapan ajaran kasih sayang, bisa menjadi mekanisme untuk membantu memperlancar pertumbuhan pribadi anggota masyarakat. Dalam hal melepaskan burung dalam upacara telu bulanan, seorang ayah bisa dianggap mencipatakan semacam cerita baik agar kelak si anak bisa tumbuh dengan selaras dan serasi bersama lingkungan dalam proses kedewasaannya.
Perlu diketahui, Wayan Ariawan adalah pencinta lingkungan yang belakangan sangat giat melakukan gerakan yang disebutnya sebagai gerakan “Buleleng Harmoni”. Sejumlah gerakannya antara lain mengedukasi masyarakat di wilayah Bali Aga (Desa Sidatapa, Desa Pedawa, Desa Cempaga dan Desa Tigawasa) untuk selalu bergerak melestarikan lingkungan.
Gerakan yang sudah dilakukan adalah melepas burung sebanyak 9.875 ekor dan luwak sepanjang tahun 2016. Tahun 2017 ini sudah diawali dengan melepaskan 75 ekor. Jika tradisi melepas burung pada saat upacara telu bulanan diikuti oleh warga lain, maka akan tumbuh kesadaran kolektif di kalangan warga untuk mencintai lingkungan, tanpa perlu ada “paksaan” atau edukasi melalui acara seremonial pemerintah. (T/ole)