SAAT kecil dulu bermain game itu hiburan sangat mewah. Jajan sekolah dikumpulkan seribu demi seribu hanya untuk bisa bermain play station (PS). Senang rasanya ketika bisa main game PS itu, walaupun hanya 1 jam.
Masih tergambar dengan jelas bagaimana saya, saat itu di kelas 5 sekolah dasar, sangat takjub mengenal game bernama PS. Saya tersihir. Apalagi saat Hari Raya Galungan. Saya sangat senang jika Galungan tiba. Biasanya saat itu saya banyak mendapat uang dari paman atau keluarga yang pulang kampung ke rumah untuk sembahyang. Rp 10.000, Rp 20.000 bahkan hanya Rp 5.000 pun rasa senang seakan memenuhi isi kepala.
Galungan pasti saya habiskan di tempat sewa play station. Setelah sembahyang, saya lari dengan bahagia ke tempat sewa play station. Uang 45.000 ribu rupiah sudah di kantong. Uang sejumlah itu adalah banyaaaaak bagi anak seumuran kelas 5 SD.
Harga memory card PS1 saat itu Rp 35.000. Saya sangat ingin membelinya karena kalau tidak punya itu, tidak akan bisa menyimpan data game. Apalagi saat itu sedang ramai orang main Harvest Moon. Itu game bertani, berternak dll. Pokoknya seru, seperti hidup di dunia nyata, pikir saya saat itu.
Setelah meminta sepupu untuk mengantar membelikan memory card, saya mulai memainkan game bernama Harvest Moon itu. Saya sangat senang. Hari minggu, waktu 2 jam selalu habis di warung sewa PS itu. Siang pasti dicari oleh Ibu dan menyuruh saya pulang untuk makan/sekedar tidur siang.
Setelah 14 tahun berlalu, saya kembali ingat akan kenangan yang ditawarkan Harvest Moon. Saya pikir, orang Bali dan anak petani, mesti belajar dari game ini.
Di dalam game ini kita diminta untuk mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya. Biasanya dengan cara bertani. Kita membeli bibit dulu, lalu menanam, memanennya dan baru menjual hasil panen itu. Kalau pun sedikit memiliki hasil panen kita masih bisa berternak, sehingga tetap mendapatkan uang untuk membeli kebutuhan hidup.
Ini sangat berbeda jika kita bandingkan dengan orang Bali kini. Karena desakan pariwisata dan raungan para pemilik modal yang tak berhenti dengan cara mengontrak tanah, kita seakan-akan sangat tidak berdaya di mata makhluk bernama pariwisata. Kita cepat menyerah kepada pariwisata dan menganggap bahwa pariwisata adalah tuan atas segalanya. Dan kitalah hambanya.
Sawah di Bali dulu sangat banyak dan kini semakin berkurang hingga bahkan ribuan hektar setiap tahun. Ini karena kita tidak terlalu banyak belajar, walaupun belajar dari hal sepele semacam game. Kita tidak pernah terlalu berusaha untuk itu, karena lebih suka mencari jalan yang paling mudah tanpa resiko besar.
Dalam game Harvest Moon, jika kita tidak punya uang, pasti ada cara lain seperti memelihara binatang ternak agar nanti bisa dijual. Tidak dengan menjual sawahnya.
Berbeda dengan kita, ketika penghasilan bertani tidak cukup untuk membeli kebutuhan hidup kita akan mengambil jalan pintas, jual saja, pakai modal usaha dagang atau modal merantau ke kota sehingga kebutuhan bisa terpenuhi. Kita juga tidak perlu lagi kerja di desa kotor-kotor macam bertani, pokoknya jual.
Ada banyak faktor memang orang Bali kini senang menjual sawah. Salah satunya adalah harapan orang tua petani pada anaknya . Anak petani biasanya diberi paham gengsi oleh orang tuanya. Sebagian besar orang pernah mendengar pesan seperti ini: “Tu yen Bapa sube dadi petani, nyaan Putu de masih dadi petani nah, yen ngidaang lebih luwung ken Bapa.” Tu, kalau Bapak sudah jadi petani, nanti Putu jangan jadi petani ya, kalau bisa lebih bagus dari pekerjaan Bapak sekarang.
Orang tua itu tidak sadar, bahwa dari kecil dia mengharapkan anaknya tidak melanjutkan apa yang dia sudah lakukan dan perjuangkan. Dia berharap anaknya nanti tidak bertani, atau mencari pekerjaan lain yang lebih bagus dari bertani.
Hingga anaknya besar, semakin besarlah harapan dan niat menjual sawah itu. Anaknya ingin menjadi pegawai negeri, sawah tidak ada yang mengolah. Daripada begitu lebih baik sawah dijual saja. Hasil menjual sawah dipakai modal nanti beli mobil/motor mahal biar ke kantor lebih keren.
Anak petani sering merasa minder kalau ditanya pekerjaannya apa. Pasti akan minder menjawab sebagai petani. Mereka lebih suka terlihat keren jika menjawab bekerja di pariwisata, atau bekerja di kapal pesiar. Wuih, keren. Anak petani akan lebih minder jika mencium bau parfurm luar negeri anak kapal pesiar sekelas Hugo boss, Hermes, Calvin Klein dan lainnya.
Padahal, bau keringat dari tubuh alami sehabis menikmati panen dari sawah sendiri sesungguhnya jauh lebih keren dan lebih seksi dari parfum buatan yang kadang baunya bikin mual itu.
Mereka tidak sadar, di tangan anak petanilah masa depan subak dan masa depan Bali nanti. Apa yang bisa diambil dari Harvest Moon? Dia bertani dari muda hingga dia menjadi orang tua tetap bertani. Tetap keren bertopi oranye dan tetap giat menanam dan memberi pupuk pertaniannya. Tidak minder apalagi gegabah sampai menjual sawah untuk modal menjadi pekerja kapal pesiar.
Pesan Harvest Moon sangat sederhana. Jadilah dirimu sendiri, jika bertani jadilah petani yang sebenar-benarnya. Belajar lewat membaca lingkungan dan tetap berusaha agar hidup dan kehidupan tetap berjalan. Tidak minder karena menjadi petani itu keren.
Di tanganmu kelak bagaimana subak dan pertanian Bali di masa depan. Yang sudah pasti, jika anak petani semakin percaya diri dengan kemampuannya, kita tidak akan lagi melkaukan hal yang namanya impor beras, buah dan kebutuhan pangan kita. Berbanggalah kamu sebagai anak petani. (T)