SETIAP orang pasti pernah sakit, misalnya sakit mata (mata merah). Wabah sakit mata mudah menular ke orang-orang berbagai usia. Untuk mencegah dan mengobatinya anda bisa melakukan dengan cara dan bahan alami yaitu dengan menggunakan bunga bintang atau dauh kelor.
Caranya mudah:
Pertama, cari 1 tangkai bunga bintang yang sudah mekar. Kemudian ambil gelas, isi dengan air bersih (air biasa, bukan air dingin atau panas) sekitar 2 sendok makan. Rendam bunga bintang selama 1-2 menit di dalam gelas. Kemudian ambil kapas, celupkan kapas ke gelas lalu airnya teteskan ke mata. Mata akan terasa perih sekitar 15 detik, setelah itu nyaman kembali. Lakukan 2 hari sekali. Selain menyembuhkan sakit mata, tetesan air bunga bintang bisa membuat mata segar, cling dan mencegah katarak.
Kedua, cari 1 tangkai daun kelor (jangan terlalu muda). Tuangkan air panas ke dalam gelas sekitar setengah gelas lebih. Daun kelor kemudian diremas dengan tangan lalu masukan ke dalam gelas, rendam dan tunggu sekitar 1-2 menit. Kemudian ambil kapas, celupkan kapas ke gelas lalu airnya teteskan ke mata. Mata terasa agak perih sekitar 15 detik setelah itu nyaman kembali. Lakukan 2 kali sehari. Selain menyembuhkan sakit mata, tetesan air daun kelor bisa membuat mata segar, cling dan mencegah katarak.
Dulu, di Bali, bunga bintang dan pohon kelor banyak tumbuh di halaman rumah. Bunga bintang biasa tumbuh secara liar di sisi tembok, seperti di telajakan dekat tembok sanggah. Pohon kelor biasanya ditanam di sudut halaman, dekat pintu masuk rumah, atau di belakang rumah untuk membatasi halaman dan teba.
Pohon kelor memang banyak gunanya. Selain untuk obat tetes mata, daun kelor bisa juga dimasak untuk sayur. Biasanya dimasak untuk sup, sayur urab, atau ditumis sesuai selera. Buah kelor biasa disebut kelentang. Di wilayah Buleleng dan Jembrana, sayur kelentang adalah sayur favorit bagi banyak warga pecinta masakan tradisional.
Kini bunga bintang sudah jarang ditemui. Selain halaman rumah sudah di-paving, dihias batu sikat atau dirabat semen, bunga bintang juga kerap dianggap tumbuhan tak berguna. Padahal, Tuhan menciptakan semua tumbuhan, pasti memiliki guna.
Ketika sakit mata, orang tua dulu langsung ingat bunga bintang, daun kelor, atau tumbuhan lain yang bisa digunakan sebagai obat. Jika sariawan atau jampi, orang tua ingat dengan daun jarak. Ketika sakit, orang tua kita langsung ingat tumbuh-tumbuhan dan tanam-tanaman. Maka, tumbuhan dipelihara dengan baik.
Bisa jadi sakit yang kita alami dalam hidup ini adalah “pesan alam” agar kita senantiasa mengenali, memelihara dan mencintai kembali berbagai jenis tanaman yang ada di sekitar kita. Sehingga memahami dan memanfaatkan tanaman dengan benar merupakan sebuah kewajiban hidup sehingga menjadi keyakinan dan membudaya hingga kini.
Memanfaatkan tanaman dengan benar juga banyak dilakukan melalui beragam upacara adat dan agama (yadnya) sebagai bahan upakara. Mungkin itulah salah satu alasan mengapa di komunitas budaya seperti di Bali, masyarakatnya wajib melaksanakan upacara dengan sarana banten yang bahan-bahannya dibuat dari tanaman alami.
Dengan kata lain kewajiban melakukan upacara yadnya dengan sarana banten sesungguhnya merupakan pengetahuan yang terus diwariskan oleh leluhur (tradisi) agar kita senantiasa memahami, memanfaatkan dan memelihara tanaman secara benar dan berkelanjutan atau dikenal dengan bahasa kekinian sebagai “pelestarian lingkungan yang lestari dan berkelanjutan”.
Membuat sarana upakara atau banten dengan bahan alami yang kita tanam dan pelihara sendiri sangat mungkin dimaksudkan agar kita tidak hanya melihat tanaman bahan upakara itu hanya sebagai bentuk, tetapi juga mengenali dan memahami langsung manfaatnya dan hubungannya dalam kehidupan sehari-hari secara makro dan mikro kosmos.
Hubungan dan manfaat tanaman dengan kehidupan manusia inilah banyak di jelaskan dalam filosofi Sad Kertih (Wana Kertih) yaitu aktifitas positif dalam kehidupan yang mensejahterakan semua unsur kehidupan. Di Bali kesadaran ini terus ditanamakan secara berkelanjutan (seimbang) melalui pelaksanaan upacara dalam putaran dan tatanan waktu (rerahinan). Kesadaran itulah yang kemudian populer dengan istilah “Tri Hita Karana”.
Tidak menjalankan “Tri Hita Karana” diyakini bisa sakit. “Sakit” dalam ruang-ruang populer tentu bukan hanya sakit mata seperti cerita di atas, bisa juga konflik, gerubug, krisis, perpecahan antar kelompok, hoax/fitnah, perang dan sebagainya. (T)