TAK dapat dipungkiri, limbah telah menjadi masalah terbesar masyarakat Provinsi Sumatra Selatan dewasa ini. Pesatnya pembangunan industri dan meningkatnya pola konsumsi tak diimbangi dengan meningkatnya kesadaran pengelolaan limbah yang baik.
Akibatnya sangat mengkhawatirkan, di kota propinsi, kota-kota kabupaten dan bahkan kecamatan, limbah telah menjadi teror harian yang mengancam kesehatan warga dan lingkungan. Bahkan berpotensi menciptakan ketegangan hubungan sosial, seperti terjadi di pemukiman penduduk di kawasan Bukit Sangkal Palembang sejak 2015 lalu. Ramai diberitakan media massa, akibat operasi 30 industri tempe dan tahu yang setiap hari membuang limbah cair tanpa melakukan pengolahan standar, kawasan Jalan Tanjung Sari itu tercemar dan berbau busuk setiap hari.
Kasus-kasus serupa kerap terulang, baik karena aktivitas industri besar seperti pabrik maupun aktivitas industri rumah tangga. Menurut keterangan resmi BLH (Badan Lingkungan Hidup), fenomena itu berlangsung berbarengan dengan meningkatnya volume sampah dari hari ke hari di Kota Palembang dan juga wilayah Sumsel lain. Untuk Kota Palembang saja, sampah yang diangkut ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) mencapai 600-700 ton per hari.
Selain itu, sampah yang tidak terangkut berkisar 7,9 ton per hari. Sehingga potensi sampah tidak terlayani sebanyak 15,4 ton Per hari. Diperkirakan sepanjang 2016 ,volume sampah yang tak terlayani di seluruh propinsi Sumatra Selatan mencapai 4000 ton sehari. Tiap-tiap orang di wilayah berpenduduk 8 juta orang ini, menyumbang paling sedikit setengah kilogram sampah setiap harinya.
Salah satu sarana publik yang paling terdampak oleh limbah adalah Sungai Musi. Masih menurut keterangan lembaga yang sama, sejak tujuh tahun belakangan kualitas dan kuantitas air Sungai Musi terus menyusut dengan tingkat ketercemaran skala sedang dan berat.
Dinyatakan, aktivitas masyarakat yang bermukim di sepanjang Sungai Musi telah menyumbang hingga 70 persen limbah. Sisanya, sebanyak 30 persen berasal dari aktivitas industri. Dan karena Sungai Musi adalah muara dari banyak sungai di propinsi Sumatra Selatan, ia juga menjadi muara dari limbah yang dikirim anak-anak sungai di hulunya. Mudah dilukiskan betapa beratnya beban Sungai Musi saat ini dan di masa depan.
Keadaan itu akhirnya memaksa pemerintah menjadikan agenda penanganan limbah sebagai salah satu prioritas. Apalagi Palembang sedang bersiap-siap menjadi tuan rumah Asian Games dan sedang membangun citra sebagai kota tujuan wisata. Antara langkah yang ditempuh adalah meningkatkan pengawasan terhadap sistem pengelolaan limbah pada industri-industri yang berada di sepanjang tepi Sungai Musi, memperbarui raperda pengolahan limbah domestik dan menggandeng pemerintah Australia bekerjasama.
Yang spektakuler tentunya rencana membangun IPAL berbiaya RP 943 miliar di kota Palembang yang merupakan proyek kerjasama Pemerintah Pusat (Pempust), Pemprop, dan Pemkot. Untuk merealisasikan itu, pemerintah kota Palembang pada Oktober 2016 lalu juga mendapat bantuan dana hibah sebesar 376 rp milar dari pemerintah Australia. Tinggal kita tunggu saja kelanjutannya.
Prospek limbah di PALI
Bagaimana dengan Kabupaten PALI? Dalam usianya yang masih balita, baru 3 tahun pada April 2017 mendatang, pemerintah daerah kabupaten PALI patut dipuji atas kerja keras mewujudkan target pembangunan infrastruktur jalan, jembatan, dan sarana pelayanan publik seperti rumah sakit dan perkantoran.
Di mata sang bupati, Ir.H.Heri Amalindo, infrastruktur merupakan syarat utama untuk membuka keterisoliran PALI saat masih menjadi bagian dari Kabupaten Muara Enim. Posisi geografis PALI yang berada di tengah kabupaten Muara Enim, Banyuasin dan Musi Rawas, membuat daerah ini menjadi sangat potensial sebagai lintasan ekonomi di Sumatra Selatan.
Selama ini, potensi itulah yang tertutup, sehingga sumber daya alam besar yang dimiliki daerah tersebut tidak optimal meningkatkan perekonomian rakyat. Heri Amalindo berupaya keras mengubahnya melalui penggalakan pembangunan infrastuktur jalan dan jembatan.
Hasilnya, sudah bisa dirasakan masyarakat. 80 persen jalan di lima kecamatan di daerah itu kini telah mulus diaspal. Sejumlah jembatan dan jalan tembus dibangun untuk mempersingkat jarak ke daerah lain seperti Prabumulih dan Musi Rawas. Pendek kata, warga di Kabupaten PALI mengaku gembira dengan perkembangan daerah mereka sekarang. Sarana publik seperti SMU dan SMK juga sudah ditambah. Termasuk rumah sakit umum daerah yang sedang dalam pembangunan.
Perkembangan yang demikian, bagaimana pun mendorong pula perubahan pola sosial dan gaya hidup. Sebagai bukti, saat ini terjadi peningkatan orang yang berinvestasi dan membuka usaha di PALI. Kota Pendopo juga makin ramai, harga tanah meningkat dan sejalan dengan itu, masalah lain juga muncul. Yakni meningkatnya volume sampah akibat perkembangan konsumsi masyarakat.
Tak heran, pemerintah daerah otonomi baru itu kini dihadapkan pula pada kenyataan tak tertampungnya sampah di TPA yang terbatas kapasitasnya. Surat kabar juga mulai merespon topik ini sebagai gejala yang perlu segera ditangani pemerintah sesegera mungkin.
Omong-omong, riwayat limbah di PALI sebenarnya punya kisah sendiri. Tak banyak yang tahu, kalau daerah ini cukup lama menderita akibat seringnya terjadi bocoran limbah pertambangan migas yang ada di PALI. Dampaknya sangat signifikan. Tak jarang limbah mengandung B3 itu merusak sawah dan tanaman pertanian penduduk karena dibiarkan.
Pada 2015 lalu malahan, kita mendengar berita persitegangan antara pemkab dan Pertamina EP assset 2 Pendopo Field yang mengelola pertambangan migas di kawasan itu. Pasalnya, perusahaan terkesan mengabaikan pengelolaan limbahnya hingga mencemari kebun masyarakat dan air sungai. Itu misalnya terjadi di Penukal dan Talang Ubi. Setahun kemudian, hal sama kembali terjadi di Purun Selatan Penukal dan telah menimbulkan protes dari masyarakat yang terkena.
Bukan tak mungkin kejadian-kejadian serupa terulang kembali di masa depan apabila tidak ditangani secara serius. Apalagi Pemkab PALI ke depan ini berencana mengambil alih pengelolaan sejumlah sumur migas tua yang ada di daerah itu. Resikonya, Bahaya limbah B3 (bahan berbahaya dan beracun) dapat saja menjadi ancaman bagi kesehatan warga dan lingkungan.
Syukurnya Bupati PALI awas terhadap kemungkinan itu di masa depan. Sembari mempersiapkan proses regulasi yang akan memandu pengawasan terhadap operasi tambang-tambang migas, ia juga mulai menggandeng sejumlah pihak untuk menciptakan sistem pengelolaan limbah b3 sedini mungkin.
Antaranya dengan PT. Prasadha Aneka Limbah Indonesia (di mana kami adalah salah satu tenaga ahli) yang telah mendapat kompensasi lahan di Talang Ubi untuk menjadi tempat transit pengangkutan limbah B3 ke pusat pengolahannya nanti. Selaku perusahaan jasa pengangkutan pihak ke-3 yang berizin, perusahaan bertanggungjawab melakukan aktivitas kegiatan pengelolaan limbah B3 di kabupaten PALI dengan mengedepankan prinsip “ from cradle to grave” yang diatur mekanismenya melalui undang-undang.
Limbah B3 dapat diubah menjadi bernilai ekonomis tinggi. Tekhnologinya sudah ada, PP yang mengatur juga sudah ada. Yakni melalui Pokok-Pokok Perubahan PP 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah B3 yang telah ditetapkan sebagai pengganti PP 2009. Oleh karena itu, dan berdasar pengkajian yang telah dilakukan, dipastikan prospek pengelolaan limbah B3 bakal menunjang PAD selain mengamankan lingkungan dan masyarakat dari pencemaran.
Pertama, karena volume B3 di wilayah Kabupaten PALI sendiri cukup besar. Kerjasama yang menguntungkan antara pemerintah dengan perusahaan besar pengelola pertambangan dapat saja dilakukan dengan cara mengelola limbah bersama-sama. Selain itu, kabupaten PALI juga bisa menerima limbah sejenis dari kabupaten-kabupaten lain di sekitarnya. (T)
Talang Ubi, Penukal Abab Lematang Hili 2017