DI Hari Saraswati ini, entah kenapa, saya ingin membicarakan sosok teman saya sendiri, Made Sugianto.
Meski dikenal sebagai pengelola penerbitan dan wartawan sekaligus pengarang, saya tetap melihat Made Sugianto sebagai seorang petani. Cara bicara, gaya bergaul, dan cara berkarya, adalah khas seorang petani kuno, petani masa lalu, di sebagian besar desa-desa di Tabanan. Termasuk desa tempat ia tinggal: Kukuh, Marga, Tabanan.
Diajak ngobrol, gaya bicaranya seperti air di telabah: perlahan terus mengalir, menurun dan merendah. Begitu bertemu temuku atau bendungan, sebagian terjun dengan suara cukup keras, sebagian lagi menyelinap masuk saluran sawah, menumbuhkan padi, atau melanglang ke telabah lain yang lebih kecil.
Serupa petani, ia bergaul dengan gaya “merendahkan diri” dengan siapa saja, terutama di kalangan sesama penulis atau sastrawan dan seniman. Ia tak peduli dari kalangan mana sastrawan atau seniman itu: senior atau yunior, modern atau tradisional, Indonesia atau Bali, penyair atau prosais, tua atau muda, matang atau pemula.
Ia selalu belajar dari siapa saja yang ditemuinya. Apa yang dilakukan sekarang, apa yang dinikmati sekarang, sejauh mana perkembangannya sebagai penulis, wartawan atau sastrawan, semua itu hasil dari masukan-masukan yang didapatkan dari pergaulan, dari obrolan dengan siapa saja yang ditemui. Seperti petani masa lalu, kadang ia meniru apa yang dilakukan orang lain, dan itu semua diolah menjadi pelajaran untuk disuaikan dengan tempat, iklim, cuaca, dan tentu saja kemampuan diri.
Saya bertemu pertama kali sekitar tahun 2005 (jika tak salah) dengan dia di sebuh ruko di Tabanan. Ruko itu jadi kantor sebuah tabloid, dan di situ dia magang menjadi wartawan. Dari awal ngobrol, saya tahu dia akan menjadi apa yang dia inginkan. Saat itu, dan saat ini juga, tidak banyak anak muda yang punya cita-cita menjadi penulis sekaligus memperjuangkan cita-citanya itu dengan “segala cara”.
Saya tahu kemudian ia membuat Majalah Ekspresi setelah tabloid tempatnya magang bubar. Majalah yang menurut saya jauh dari standar untuk bisa disebut bagus. Dari isinya bisa dilihat majalah itu bukan dibuat oleh penulis atau wartawan berpengalaman. Tapi di dalamnya saya melihat keinginan menggebu dan niat yang tulus untuk menciptakan “sawah pertanian” yang bisa dijadikan sebagai tempat “belajar menanam” oleh siapa saja, termasuk dirinya.
Majalah itu berkembang, saya tahu, tentu saja dengan tidak lancar. Tapi dari majalah itulah kemudian muncul penerbitan indie, Pustaka Ekspresi, yang dikelola secara indie di sela-sela kesibukannya menjadi wartawan di Nusa Bali. Secara finansial semua tahu penerbitan itu tak sukses. Tapi penerbitan ini punya kesusksesan lain: menciptakan “sawah harapan” bagi “petani-petani muda” yang “bertani” di dunia sastra bali modern.
Ketika sebagian besar dari kami, para orang tua, sibuk dengan diri sendiri, dan tak punya waktu lagi mengurus sastrawan-sastrawan muda, terutama sastrawan bali modern, kehadiran Made Sugianto dengan Pustaka Ekspresi adalah “pelengkap semesta”.
Kita tahu Bali Post, kemudian disusul Pos Bali, menyediakan halaman khusus untuk karya sastra bali modern. Cuaca sastra bali modern cerah. Dan Pustaka Ekspresi membuatnya menjadi lebih cerah. Cita-cita anak muda Bali pun bertambah: selain bisa menulis sastra bali modern, juga bisa memiliki buku sebagai monumen untuk mencatat karya dan nama mereka sekaligus ingin sejajar dengan sastrawan Indonesia maupun dunia.
Penulis-penulis muda sastra bali modern pun lahir dengan semangat yang terjaga, seperti Gede Putra Ariawan, Komang Alit Juliartha, Putu Supartika, Made Suar Timuhun, Dewa Ayu Carma Citrawati, Wayan Paing, dan Tudekamatra.
“Misi penerbitan Pustaka Ekspresi memang ingin menjaga denyut sastra Bali modern. Dari tahun 2009 hingga 2016, Pustaka Ekspresi konsisten menerbitkan buku SBM (sastra bali modern), bahkan setiap tahunnya buku SBM yang terbit lebih dari 5 judul,” kata Made Sugianto ketika berbicara dalam acara “Geliat Sastra dan Buku-buku Indie” di Bentara Budaya Bali, Rabu 18 Januari 2017.
Misinya saya anggap berhasil. Tahun 2016 Pustaka Ekspresi menerbitkan 7 judul SBM masing-masing Pasamudaya Rasaning Bangli karya bersama para penulis muda asal Bangli, Ngantiang Ujan karya bersama para penulis asal Karangasem, Satyaning Ati novel karya Komang Alit Juliartha, Kutang Sayang Gemel Madui karya Dewa Ayu Carma Citrawati, Rare Kumara karya I Gede Putra Ariawan, Makurenang Sareng Jin karya IGG Djelantik Santha, dan Event Organizer karya I Made Sugianto.
Adakah yang berterima kasih kepada Made Sugianto? Tentu saja terima kasih datang dari anak-anak muda yang bukunya bisa diterbitkan, diperkenalkan, dan bisa dibaca banyak orang. Terima kasih juga datang dari mahasiswa, terutama jurusan Bahasa Bali, yang kini bisa dengan mudah mencari bahan penelitian sastra bali modern. Terima kasih juga bisa datang dari peneliti senior yang mungkin bisa mendapatkan “proyek besar” dari penerbitan-penerbitan buku SBM itu.
Tapi, menurut saya, sesungguhnya bukan terima kasih semacam itu yang perlu diberikan kepada Made Sugianto. Perlu ada terima kasih dalam bentuk lain. Misalnya melengkapi upaya penerbitan itu dengan ikut membantu memfasilitasi kegiatan-kegiatan pascaterbit. Lagi-lagi serupa petani, biasanya lihai menanam hingga memanen namun tak ahli mengurus pascapanen.
Lembaga non-pemerintah yang cukup punya duit bisa ikut membiayai kegiatan diskusi buku di tempat yang layak, memfasilitasi penyebaran hingga memperkenalkan dengan cara-cara efektif agar buku itu sampai dengan mulus pada pembacanya.
Lembaga pemerintah dengan kewenangannya sebaiknya berterima kasih dengan ikut membuat buku yang sudah terbit itu menjadi benar-benar berguna. Antara lain, membuat program untuk sekolah atau komunitas secara rutin agar siswa bisa tergerak untuk membaca buku sastra bali modern sehingga otomatis mereka terbiasa membeli buku. Bukan sebaliknya, memaksa siswa membeli buku, padahal mereka tak suka membacanya.
Bentuk kegiatannya bisa apa saja, seperti berdiskusi secara rutin, pameran buku SBM, pelatihan penulisan yang bisa berdampak pada kesukaan membaca, dan yang belum ada hingga kini adalah memberi penghargaan “secara bergengsi” kepada penulis sastra bali modern. Saat ini, penghargaan Rancage adalah satu penghargaan yang ditunggu-tunggu penulis sastra bali modern, yang – aduh malunya – penghargaan itu diberikan oleh sebuah lembaga yang berkedudukan di Bandung.
Saya berpikiran, selain mendiskusikan soal pendidikan dan sastra tradisional pada momen sekitar Hari Saraswati, sebaiknya hari suci itu bisa juga dijadikan ikon untuk membangkitkan kehidupan sastra bali modern. Alangkah asyiknya, pada setiap Hari Saraswati kita berdiskusi tentang sastra bali modern di kampus, di sekolah, di pasraman, di wantilan pura, atau di tempat publik lain.
Sekaligus Hari Saraswati bisa digunakan sebagai hari untuk mengumumkan dan memberikan penghargaan pada buku sastra bali modern. Ini unik, karena dengan begitu, penghargaan diberikan bukan setiap tahun, tapi setiap 210 hari. Selain dihormati sebagai hari turunnya ilmu pengetahuan, Hari Saraswati bisa diperingati sebagai hari kemajuan sastra bali modern.
Mungkin dengan pikiran (yang mirip khayalan) itulah yang menggerakkan saya untuk menulis sosok Made Sugianto pada hari ini, tentu saja tanpa mengurangi hormat saya pada penggerak sastra bali modern yang lain. Selamat Hari Saraswati. (T)