BICARA politik Indonesia pasti tak akan pernah habis. Selalu saja ada yang baru, bahkan lebih sering muncul lucunya ketimbang seriusnya. Terkadang zaman sekarang kita kebingungan. Mana lelucon pelawak, mana lelocun politikus. Lucunya hampir sama, jadi sedikit susah melihat perbedaannya.
Mungkin hanya bisa dilihat dari pakaiannya. Pelawak Bali biasanya menggunakaan make up, kamen, udeng, dan hiasan sejenis yang terkesan aneh dan urakan. Politikus pakaian ngelawaknya agak resmi gitu, dengan dasi, sepatu mengkilap dan rambut disisir rapi. Tampak dari pakaian memang tidak lucu. Tapi program kerja dan kelakuannya yang sering bikin perut tak sungkan untuk tertawa. Ha ha ha.
Ya, Bapak jangan tersinggung dululah. Tulisan ini juga mencoba melawak, Pak. Cuman bedanya nggak pakai kampanye, he he.
Politik dalam arti sesungguhnya itu baik, maksudnya dalam arti substansial dan dilihat dari sudut pandang bapak teori klasik Aristoteles. Politik merupakan usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama. Oke, kebaikan bersama, ya.
Belakangan politik terlihat sangat berlawanan dengan konsep yang “Bapak Teori Klasik” itu sampaikan. Sangat berlawanan. Politik sekarang terlihat lucu. Para politikusnya juga seperti itu. Suka berdrama. Drama komedi. Jangan-jangan memang jebolan anak drama? Ah, itu hanya kemungkinan saja. Kalaupun seperti itu mungkin persentasenya kecil.
Tapi memang benar, banyak politikus sekarang suka ngelawak, kadang mirip dengan pemain sinetron. Akting pura-pura peduli agar karakter sosialnya semakin tinggi dan kian terlihat. Ya walaupun tak jarang juga gagal, karena keburu diketahui jalan ceritanya oleh para costumernya sendiri.
Layaknya arus konvensional dalam arus samudera, politikus juga sama. Arus samudera datang dibawa oleh arus laut panas melalui garis khatulistiwa dan massa air mengalir karena tekanan panasnya ke kutub dan kembali lagi ke daerah khatulistiwa dan begitu seterusnya. Begitu pula sistem perpolitikan kita. Ada panas dan dinginnya.
Panas dulu, mengalir terus, dingin, panas lagi dan begitu seterusnya. Jadi berputar saja di sana. Panas saat pemilu dan didinginkan oleh “Om Telolet Om”, Panas lagi karena kasus penistaan agama lalu didinginkan oleh “Fitsa Hats”. Ah, memang kreatif para customer ini. Ada saja tingkah polah yang menarik perhatian.
Kasihan calon tukang perintah yang dari jauh-jauh hari siapkan strategi untuk menarik perhatian massa, eh harus mengakui betapa “Om Telolet Om” lebih keren dan lebih heboh ketimbang program dan visi-misinya.
Tidak lucu? Ah, Bapak santai dululah. Tulisan ini memang masih belajar melawak, Pak.
Rakyat ini ibarat customer dan pedagangnya adalah politikus. Politikus berhak berjualan, entah obral janji atau langsung gebyar bagi-bagi bonus dadakan saat fajar menyingsing. Iya, macem-macem dagangannya. Nah, rakyat inilah cutomernya. Rakyat boleh hanya tertarik pada jualan, boleh membeli atau bahkan menolak dagangan tersebut.
Setelah berhasil jualan, politikus bisa menjelma jadi Tukang Perintah. Meski mengaku berada dalam barisan rakyat yang jadi costumer-nya, mereka kebanyakan bertingkah seperti Tukang Perintah.
Tapi yang perlu diingat si Tukang Perintah adalah…. apa ayo? Komplain! Iya, customer boleh komplain. Jika dagangan tidak sesuai dengan yang diharapkan, customer bisa bebas komplain. Itulah kemudian disebut kritis. Sikap kritis.
Tukang Perintah harus berani terima komplain. Harus berani dikritik. (Kan enak tuh kritik? Kritik ayam, kritik singkong?) Jadi Tukang Perintah harus siap hadapi masalah yang datang menghadang membentang. Apalagi saat menghadapi customer yang mirip dengan Kera Sakti dalam soundtrack-nya “bertindak sesuka hati loncat ke sana ke sini hiraukan masalah di muka bumi ini.
Pokoknya Bapak harus woles, Pak. Begitu kata anak gaul zaman ini. Santai. Ini juga tulisan woles, terkesan membuang-buang waktu kalau Bapak lanjutkan membacanya. Lebih baik lanjut nyari pencitraan dulu atau kampanye-lah dulu. Sudah, Pak, ya.
Tetap woles, Pak, ini tulisan hanya mencoba melawak. Kalau belum lucu mungkin perlu dicoblos dompetnya dengan gambar yang ada Soekarno dan Moh Hatta, bukan gambar yang ada badaknya… (T)