KISAH-KISAH ini saya tulis berdasarkan ingatan ketika bertugas menjadi wartawan di sejumlah kabupaten di Bali. Mungkin kisah aslinya tidak persis sama dengan tulisan ini, tapi dijamin ini bukan fiksi.
Sejumlah nama orang (terutama politikus), waktu kejadian, dan nama tempat di-saru-gremeng-kan alias disamar-samarkan untuk menghindari bangkitnya kembali “kemarahan dan sakit hati” masa lalu.
Pasalnya, banyak politikus yang dulu membangun ambisi politiknya secara menggebu, akhirnya sakit hati “dipermainkan” rakyat, dan kini sudah “tobat”, “mulat sarira”, dan “nyiksik bulu”. Ada yang kembali jadi petani, pedagang dan calo tanah. Takutnya, jika baca tulisan ini sakit hatinya bangkit lagi…
Misteri Tas Ransel
SUATU hari, pada musim Pilkada. Lokasi: Kantor KPU. Hari cerah. Satu pasang bakal calon bupati/wakil bupati sedang mendaftar jadi pasangan calon resmi. Biasalah, pasangan itu diantar massa pendukung, dari kader-kader partai, simpatisan, dan massa dadakan. Jumlahnya sampai ratusan.
Di antara massa terdapat sekelompok orang dengan pakaian dan perlengkapan “mencurigakan”. Bawahannya celana panjang, bajunya tentu saja kaos bergambar pasangan calon yang sedang mereka antar ke KPU, beberapa ada yang pakai topi. Yang “mencurigakan”rata-rata dari mereka membawa tas ransel atau tas gandong dengan ukuran sedang hingga lumayan besar.
Apa isi tas itu?
Sebagai wartawan saya bisa saja menanyakan apa isi tas itu, tapi saya pikir itu hanya rasa penasaran personal, tak berkaitan dengan tugas jurnalistik. Saya merasa tak cukup punya alasan untuk menanyakannya. Apalagi, wajah-wajah kelompok massa itu sangat asing, tak satu pun saya kenal.
Sore, pada hari yang sama, rasa penasaran saya terjawab. Sore itu, di sebuah pura besar, ada acara persembahyangan bersama oleh satu pasang calon bupati/wakil bupati. Ya, pasangan calon lain, bukan pasangan yang mendaftar di KPU pada pagi harinya.
Yang bikin kejutan (bikin geli maksudnya), sejumlah orang yang gandong ransel, yang tampak di KPU pagi harinya, terlihat juga pada acara deklarasi itu. Kali itu mereka berpakaian adat Bali, kamben, baju kemeja, saput dan destar batik. Yang sama, mereka masih membawa tas gandong, melekat erat di punggung.
Berisi apa tas itu?
Rasa penasaran di pagi hari pun berlipat di sore hari. Saya tak tahan untuk tak bertanya. Maka saya pun bertanya. Awalnya saya tak mendapat jawab, hanya senyum dan lengos muka. Mungkin karena mereka tahu saya wartawan, dan yang “sembunyi” dalam tas memang tabu untuk diceritakan.
Namun, tergerak memenuhi rasa penasaran, saya mencoba terus sampai akhirnya mendapatkan bisik-bisik. Pada pagi di KPU, tas itu berisi pakaian adat: kamben, baju kemeja, saput dan destar. Siang mereka ganti pakaian di suatu tempat, entah di mana. Sehingga bisa ditebak apa isi tas pada sore hari.
Ya, betul. Isi tas sore hari adalah celana panjang, topi, dan tentu saja kaos bergambar calon yang mereka antar mendaftar di KPU pada pagi harinya.
Mereka sekelompok warga desa yang tinggal jauh dari kota. Kebetulan dalam sehari mereka dapat order untuk meramaikan dua “acara politik” sekaligus. Pagi mengantar calon ke KPU, sore ikut meramaikan calon lain bersembahyang di sebuah pura. Maka, tas ransel adalah solusi tepat agar mereka tak perlu bolak-balik ke rumah.
Ssssttt. Saya tak nanya apakah mereka dibayar untuk semua yang mereka lakukan. Saya tak bertanya. Karena seperti Anda, saya sudah tahu jawabannya.
Calon Bupati dalam “Tempurung”
SAYA benar-benar lupa nama tokoh ini. Suatu waktu, menjelang Pilkada, namanya tiba-tiba mencuat sebagai salah satu calon bupati. Padahal, sebelumnya ia tak banyak dikenal. Entah siapa yang memperkenalkan pertama kali, sehingga “nama besarnya” tercium wartawan, termasuk saya.
Tokoh kita ini tinggal di sebuah desa yang tak terlalu jauh dari kota. Tak tahulah saya apakah ia benar-benar kaya. Yang jelas, setiap orang yang datang dan menyatakan dukungan kepadanya, hampir dipastikan akan pulang bawa bekal.
Maka ramailah orang datang memberikan dukungan. Di rumahnya, tokoh kita ini sudah seperti bupati saja. Ia duduk bersama istrinya di sebuah sofa, lalu orang-orang seakan “tangkil”, duduk di kursi yang disediakan, atau ada yang rela duduk di bawah.
Yang datang bukan hanya warga biasa yang menyatakan siap jadi pendukung dan tim sukses di desa masing-masing. Ada banyak orang mengaku sebagai pengurus partai di tingkat desa maupun kecamatan, sambil tidak lupa berjanji akan siap mengusung nama si tokoh untuk diajukan jadi calon bupati dalam rapat partai. Pulangnya, mereka bawa bekal untuk anak-istri.
Kepada wartawan, tokoh kita menyatakan optimis bisa jadi calon bupati. “Lihatlah dukungan datang mengalir ke saya. Saya tak perlu ke mana-mana cari dukungan, mereka datang sendiri atas kesadaran mereka ke rumah saya untuk mendukung saya,” katanya.
Kata-kata itu saya dengar seperti suara katak dari dalam tempurung. Keras, yakin, optimis, namun tak begitu jauh gemanya.
Buktinya, sampai masa penjaringan calon di masing-masing partai politik, sampai masa pendaftaran di KPU, sampai masa kampanye, dan tentu saja sampai waktu pencoblosan, nama tokoh kita tak terdengar. Sama sekali tak terdengar. Saya sendiri, sungguh mati, sampai saat ini lupa nama tokoh kita itu.
Berapa Jumlah Sekaa Balaganjur?
KISAH ini terjadi pada musim Pemilu Legislatif. Seorang calon anggota legislatif dari partai tertentu menyumbang seperangkat gambelan balaganjur di sebuah banjar. Harapannya, tentu saja, banjar dengan jumlah pemilih ratusan orang itu kompak memilihnya saat pencoblosan.
Nyatanya, usai pencoblosan, calon anggota legislatif yang menyumbang balaganjur itu kalah. Di banjar itu ia tak mendapat suara sesuai harapan. Marahlah si calon. Balaganjur yang sudah disumbangkan diambil lagi. Sumbangan dibatalkan.
Anak-anak muda banjar yang sedang senang-senangnya latihan balaganjur tentu saja sedih. Tak ada lagi perangkat gamelan yang bisa dipukul agar hari-hari mereka menjadi lebih semarak.
Saya yang sempat meliput kejadian itu iseng-iseng bertanya kepada seorang warga, kenapa calon itu sampai kalah di banjarnya padahal sudah berbaik hati menyumbang balaganjur? Jawaban yang saya dapat sungguh tak bisa dibilang serius dan benar-benar bikin geli.
“Ya, berapa sih jumlah orang yang bisa main balaganjur? Tak lebih dari 15 orang. Dua gupek (kendang), empat cengceng (simbal), satu gong, satu kempur, satu kemong, dua pongang, empat reong,” katanya.
“Terus apa hubungan jumlah pemain balaganjur dan pemilu?”
“Karena sumbangannya balaganjur, suara yang didapat ya sejumlah pemain balaganjur. Coba calon itu menyumbang perangkat gong kebyar, mungkin suaranya bertambah, karena pemainnya lebih banyak,” katanya sambil tertawa.
Yang Mencoblos itu Orang
SAYA sempat memuji upaya seorang politikus yang menggunakan cara pintar untuk memuluskan jalannya menjadi bupati. Ia melakukan pencitraan dan kampanye secara terencana dan terstruktur. Jauh sebelum gaung Pilkada ditabuh, ia sudah rajin jalan-jalan ke wilayah-wilayah subak di desa-desa terpencil.
Ia melakukan pendekatan secara kekeluargaan. Ia ngobrol dengan pengurus subak, petani dan warga desa, tentang apa-apa yang mereka butuhkan untuk meningkatkan hasil produksi sekaligus meningkatkan kesejahteraan mereka. Lalu, politikus kita ini membantu.
Ada bantuan bersifat personal, bantuan pribadi. Ada juga berupa bantuan lain, misalnya memfasilitasi subak agar pemerintah berkenan ikut membantu. Itu dilakukan dari hari ke hari, jauh-jauh hari sebelum gong Pilkada benar-benar berbunyi. Banyak subak yang sebelumnya tak punya irigasi yang memadai, atas upaya politikus kita itu, akhirnya subak memiliki saluran air yang bagus. Ada jalan subak yang dibeton dan dipadatkan. Atas bantuan sang politikus, ada subak yang memiliki balai subak bagus sehingga nyaman untuk rapat atau sekadar berteduh.
Dengan upaya itu, menjelang Pilkada, ia sudah menggenggam banyak pendukung, sebagian besar datang dari komunitas subak. Namun saat Pilkada ia kalah. Ia tak habis pikir.
Selidik punya selidik, banyak warga subak yang sebelumnya diyakini akan memilih dia ternyata memilih calon bupati lain akibat adanya “serangan fajar”. Sehari atau beberapa jam sebelum pencoblosan, para pemilih itu tiba-tiba mendapat pembagian uang tunai, jumlahnya mungkin tak terlalu banyak, Rp. 50.000 atau Rp. 100.000, namun jumlah itu sudah cukup membuat pemilih mengalihkan pilihannya.
Beberapa bulan setelah Pilkada, dalam sebuah liputan tentang pertanian, saya bertemu dengan seorang petani di sebuah desa. Tanpa sengaja ia cerita tentang politikus “baik hati” namun gagal itu.
“Kasihan Pak Anu (dia menyebut nama politikus itu), kalah oleh uang getah nangka,” katanya.
Getah nangka biasa digunakan untuk menyebut jumlah Rp. 50.000. Jumlah Rp. 50.000 dalam bahasa Bali disebut seket tali yang kerap disingkat jadi seket. Getah nangka dalam bahasa Bali biasa dijadikan engket (semacam lem alami). Engket dan seket secara bunyi terdengar mirip.
“Bagaimana ceritanya, Bli?” kata saya memasang wajah heran.
“Sumpah. Saya sendiri memilih dia! Tapi teman lain punya alasan lain,”
“Apa alasannya?”
“Mereka bilang: ‘Bapak itu kan membantu subak, bukan membantu orang. Yang mencoblos itu orang, bukan subak’!”
Saya tertawa dalam hati. Nyak asane… (T)