BULAN Desember 2016 lalu Federasi Teater Indonesia menganugerahkan penghargaan kepada tiga tokoh yang dianggap berjasa dalam perkembangan Teater Indonesia yakni penggerak teater Azwar Anaz, Pengusaha Ciputra, dan aktor Rudolf Puspa.
Dalam pemberitaan harian Kompas Selasa (27/12) penghargaan itu diberikan karena gairah dunia teater di Indonesia sedang meredup, agar menjadi stimulus berkelanjutan untuk membangunkan teater yang kini sedang hibernasi.
Dijelaskan pula Presiden Federasi Teater Indonesia Radhar Panca Dahana menguraikan gairah teater di Indonesia semakin merosot. Dunia berubah, menyamankan manusia dalam budaya konsumerisme, teknologi, hingga transportasi, sehingga orang-orang malas belajar teater yang tidak instan. Seniman dan kerja kesenian sulit digerakkan, di Ibu kota pun demikian, bukan karena fasilitas yang kurang memadai, tapi seniman dan pekerja seninya sulit diajak untuk berkarya.
Sementara Putu Wijaya (masih dalam berita yang sama) menjelaskan banyak kelompok teater yang gulung tikar karena tidak matang pada konsep pementasan. Semestinya dalam dunia teater memegang 3 pilar yakni pendidikan, pesan moral, dan kritik sosial.
Ketika membaca berita itu saya teringat pertama kali mengenal dunia teater di bangku SMP dan berlanjut hingga ke bangku SMA. Mulai dari latihan fisik, latihan vokal, latihan acting, latihan membaca naskah saya laksanakan berbulan-bulan, hanya untuk pementasan yang berdurasi 45 menit.
Jadwal latihan yang ketat, disiplin, suara serak dan mengantuk saat jam mata pelajaran menjadi hal biasa saya lakoni, bersama sejumlah kawan yang ikut berjibaku mewujudkan pementasan. Seperti pasukan di medan perang, tahan banting walau apapun menerjang.
Namun segala lelah terbayar karena euforia teater cabang drama modern waktu itu sungguh mempesona, dan membanggakan. Kebetulan saya sempat beberapa kali bermain sebagai peran utama. Bak seorang bintang superstar, banyak orang yang membicarakan kemampuan acting saya di atas panggung, apalagi ketika juara pemain terbaik sudah di tangan.
Sing ade nak malas be to, jek dunia terasa dalam genggaman tangan. Kude ngalih nak luh jek pasti bakat!
Sejumlah naskah pernah saya pentaskan bersama teater Lingkar SMPN 2 Denpasar dan Teater Angin SMAN 1 Denpasar. Terakhir (sekitar 8 tahun yang lalu) kami mementaskan Lautan Bernyanyi karya Putu Wijaya pada lomba Drama Modern tingkat Nasional di Semarang. Kami menyabet sejumlah penghargaan. Gilaaaa banget, berasa seniman teater kelas nasional.
Kami memutuskan berlomba ke Semarang, karena drama modern dalam PSR (Pekan Seni Remaja) SMA dihapuskan waktu itu. Entah kenapa cabang yang sangat bergengsi itu dicoret. Ada desus karena drama modern terlalu banyak memakan biaya, pula tersiar kabar banyak orang tua yang mengeluh anaknya latihan teater hingga larut malam, jarang pulang ke rumah, dan terlalu banyak mengambil dispensasi pelajaran di sekolah. Hingga berdampak pada nilai rapor yang kian hari mencemaskan, begitu katanya.
Mereka tidak tahu bagaimana perasaan menjadi bagian dari pementasan, apalagi setelah pementasan usai, ada haru, senang, dan kecewa bercampur jadi satu.
Pasca penghapusan Drama Modern dari cabang lomba, di Bali banyak pihak seperti himpunan mahasiswa, teater SMA, bahkan perusahaan swasta, berinisiatif untuk mengadakan lomba teater. Semisal drama pendek, musikalisasi puisi, pembacaan puisi dan monolog. Ini seperti oase di padang gurun bagi pencinta dunia teater, ada kesibukan dan hiruk pikuk yang sedikit tidaknya menggairahkan. Walaupun egonya tak setinggi dulu.
Kendati beberapa Teater SMA dan teater mahasiswa memiliki agenda tahunan untuk pementasan tunggal setelah cabang Drama Modern dihapus dari PSR, tidak mampu pula mengangkat pamor teater seperti dulu. Dalam pagelaran tersebut mereka biasanya menampilkan musikalisasi puisi, teaterisasi puisi, monolog, baca puisi, dan drama modern.
Namun drama modern nampaknya tidak mendapat tempat istimewa di hati penonton, karena dianggap kuno, kurang bermanfaat, dan hanya menghabiskan durasi acara secara keseluruhan.
Kualitas Pemain dan Penonton
Saya menganalisis secara garis besar, salah satu penyebab ke-badmood-an teater di Denpasar adalah kualitas pemain dan penontonnya. Penghapusan cabang drama modern di tingkap SMP itu membawa dampak yang signifikan, lho.
Sebab anak-anak SMP yang telah mengikuti ekstrakulikuler teater di sekolahnya, sudah barang tentu merasakan sensasi kenikmatan berteater, khususnya drama modern. Penggodokan bibit serta penanaman pemahaman dasar telah ia dapati, terlebih lagi jika anak tersebut aktor atau aktris tentu hal-hal paling fundamental telah ia kuasai. Kemudian saat melanjutkan sekolah SMA, jangan ditanya apa pilihan ekstrakulikulernya, pasti 100 persen, teater.
Di SMP seluruh pementasan selalu ada campur tangan pelatih atau guru pendamping, sementara di SMA kadar pelatih atau guru berkurang. Ini adalah momen ajang eksplorasi, mulai memilih naskah, audisi, latihan, dan pementasan. Tetek bengek dari A-Z mereka kerjakan. Sungguh proses pematangan diri yang mumpuni.
Kemudian lanjut ke bangku kuliah proses pematangan ini tetap berlangsung hingga tamat. Setelah tamat pun, mereka yang gandrung teater pasti kangen, dan membuat teater kecil nan militan, yang bergerak bergrilya tapi memiliki massa tersendiri.
Dapat saya simpulkan kualitas pemain teater di Denpasar telah dimulai sejak mereka SMP. Mereka yang sangat menikmati dunia teater dan prosesnya pasti merindu berteater, bukan tidak mungkin mereka inilah yang akan menjadi pentolan teater di Bali suatu saat nanti. Astungkara.
Kualitas pemain juga beriringan dengan kualitas penonton, jika pemain-pemainnya baik dan berkualitas tentu penonton pun menyegani pementasan tersebut. yang datang pun para penonton yang menikmati serta menghormati kesenian.
Dahulu pra penghapusan Drama Modern di PSR, saya jadi ingat kalau dulu jika mentas, teman-teman saya pasti mengajak fans fanatiknya, yakni keluarga inti serta keluarga sepupu mereka, kayang dadong ne milu mebalih cucune main teater. Betapa dasyatnya itu. Ini pun menghasilkan suasana yang kondusif dalam pementasan. Para pemain sangat merasa terhormat jika penontonnya menyimak dan mencermati jalannya pementasan.
Tapi sekarang, sering kita lihat pementasan teater anak SMA yang penontonnya asal datang. Penonton yang kebanyakan anak muda atau teman sekelas pemain, sibuk membuat lingkaran sendiri, sibuk bercengkrama sendiri dengan urusannya masing-masing. Sama sekali tidak memperhatikan pementasan yang berlangsung.
Pementasan teater mahasiswa pun demikian, para penonton yang memiliki kedekatan dengan salah satu pemain, selalu berteriak ala penonton sepak bola, meneriaki nama jeleknyalah, meneriaki nama ayahnyalah, meneriaki semangatlah, ini tentu mengganggu bagi mereka yang datang untuk serius menonton.
Penglingsir Teater , Teater Mahasiswa dan Pemerintah
Sebutan penglisir teater adalah mereka yang mumpuni dan sudah lama berproses di dunia teater. Bagi saya mereka ini adalah jebolan teater yang memiliki kelas tersendiri di Denpasar. Seperti jebolan teater Bumi miliknya pak Abu Bakar, jebolan teater 108 yang sempat boom namanya ketika saya SMA dulu, serta sejumlah teater lainnya yang geraknya seperti asap, menyelinap, tak diketahui. Hehehehe.
Saya mencermati beberapa jebolan teater ini sibuk mengurusi teater anak SD, SMP, dan SMA. Lebih dari satu sekolah pun ia garap pementasannya, apalagi jika ada lomba terkait teater. Mereka kebanjiran job mengajar, melatih, dan membuat pementasan.
“Ya kalau sepi tak apa, kalau ramai juga tak masalah,” kata seorang penglisir teater ketika saya menanyakan garapan anyarnya. Penglisir ini terkenal mengajar teater di sejumlah sekolah SMA di Denpasar. (off the record adane nah, nyeh cang nok, matiang ne cang nyanan, hehehe)
Saya melihat fenomena ini sebagai dua sisi yang berkaitan. Satu sisi positif para penglingsir ini mau mengajarkan ilmunya ke sejumlah sekolah, layaknya kutu loncat yang menyebarkan benih cara berteater yang baik. Ini juga membentuk pemahaman yang sama tentang teatar sejak dini, agar mereka nantinya tak memandang dunia teater sebagai kegiatan buang-buang waktu dan sia-sia.
Namun di sisi lain mereka penglingsir ini lupa akan dirinya, yang juga harus mencapai suatu titik tertentu. Mereka seolah terlena dan nyaman di kelilingi anak-anak muda yang mengagumi sosoknya sebagai seorang pelatih atau guru.
Mereka lupa membuat pementasan untuk dirinya, mereka lupa bersaing dengan dunia luar atas nama teater, mereka lupa mengkritik dirinya sendiri sejauh mana melangkah, atau masih jalan di tempat, mereka lupa kenyamanan adalah tanda bahaya. Hahahahaha.
Selain penglingsir, teater mahasiswa semestinya lebih berani, lebih segar dalam mengeksplorasi ruang jelajah teater, untuk menghapus kalimat “Teater to monto-monto gen” .
Saya sempat menonton pementasan tunggal Teater Orok Noceng Universitas Udayana beberapa waktu lalu di Gedung Pramuka, Renon Denpasar. Mereka mementaskan musikalisasi puisi, monolog, dan pembacaan naskah drama. Secara keseluruhan memang berjalan lancar tanpa hambatan.
Dari sisi vokal, ekspresi, penghayatan, blocking, penataan lampu, penataan musik, semua nampak diperhitungan dengan seksama. Pementasan tersebut seperti pementasan yang saya nikmati 10 tahun lalu saat saya sedang gandrungnya menyetubuhi dunia teater. Senang bercampur hampa, senang karena ada geliat pementasan teater, namun juga hampa sebab tak ada tawaran baru dalam pementasan tersebut.
Kurang berani, masih berpakem dan berpacu dengan yang dahulu. Tak adakah dari mereka yang berpikir sedikit radikal untuk mengubah pementasan jadi lebih jenaka. Seperti teater Creamer-box dengan eksplorasi ruang tubuh serta mencacah teks naskahnya, atau Teater Garasi dengan eksplorasi pementasannya, dan Teater Koma dengan sentilan kritik sosialnya dan lain-lain.
Bahkan pementasan malam itu tak ada yang mengkritik keadaan sosial di Bali secara blak-blakan. Hanya tersirat, tugas penonton untuk mencernanya. Ya, kalau penontonya cerdas, kalau anak SMP atau SMA tentu perlu bimbingan.
Mahasiswa dengan kuasa agen of change-nya itu sepantasnya memberikan teladan kepada adik-adik atau penonton agar berpikir di luar batas kebiasaan serta mengkritisi apa yang salah di sekitarnya. Care teater Koma to lo, ping kude kaden sing dadi mentas karena tajamnya kritikan terhadap pemerintah. Bahkan saat mentaspun dijaga ketat jak intel, kleeee nyakcak gati.
Juga peran pemerintah yakni Dinas Kebudayaan Provinsi atau Kota sangat berpengaruh dalam keberlangsungan aktifitas teater. Sejumlah lomba dan parade dilaksanakan di bawah program tahunan pemerintah seperti Bali Mandara Mahalango. Saya dengar dana setiap pementasan pun tak main-main lho, mencapai puluhan juta.
Tahun 2015 sempat pula Dinas Kebudayaan Provinsi Bali mengadakan lomba teater se-Bali. Saya beruntung menyaksikan beberapa nomor pementasan, sungguh menarik karena banyak yang menonjolkan kritik sosial di Bali. Pula banyak aktor dan aktris yang bermain memukau, kualitas akting, serta penghayatan mereka di atas rata-rata.
Waktu itu saya berpikir ada angin segar yang berhembus untuk teater. Namun sayang tahun 2016 ini tidak diadakan lagi, mungkin 2017 kali yah. Berharap saja sih.
Tapi apakah para penggiat teater akan selalu tergantung pada gelontoran dana dari pemerintah? Jika tak ada dana yah tidak ada pementasan. atau apakah dunia teater kita hanya sebatas lomba? Lalu kapan dong mentas mandiri kayak Teater Koma? (Ngipi ci, Bro)
Operet Ambil Peluang
Di saat aktifitas teater di Denpasar sedang badmood, operet mengambil andil sepenuhnya. Layaknya perusahaan kapitalis, operet mampu menjaring seluruh penonton yang kehilangan panggung teater. Satu di antaranya Teater Kini Berseri yang saat ini sedang naik daun.
Kelompok itu bahkan mampu memproduksi pementasan operet secara mandiri, melalui penjualan tiket. Beberapa waktu lalu mereka sukses memainkan operet Made in China di Gedung Natya Mandala ISI Denpasar, selama 5 hari pementasan tiket yang di jual selalu habis. Gilaaaaa…!
Dan terakhir mereka mementaskan Rama lan Shinta di panggung Denpasar Festival 2016, penonton membludak untuk menikmati banyolan-banyolan khas Kini Berseri, ganti telah isin basange kedek pokokne.
Kenapa demikian dahsyatnya?
Analisis saya karena operet produksi Kini Berseri selalu memberi ruang segar, banyolan terkini, mengkritisi keadaan saat ini. Mereka tak muluk-muluk memainkan naskah-naskah klasik, alih-alih memainkan naskah secara utuh, mereka pasti memberikan sentuhan plesetan yang kocak dan jenaka.
Saat teater serius hadir membosankan dan begitu-begitu saja, operet sebagai Perahu Nuh penyelamat yang membawa penontonnya tertawa terpingkal-pingkal. Laaah, tentu saja para penonton yang masih muda itu berbondong-bondong menonton Kini Berseri.
Ada yang bilang Kini Berseri tak bisa disamakan dengan pementasan teater konvensional sebab cara penyajiannya tak sama, dan memiliki target penonton berbeda. Ya sah sah saja.
Yang paling penting Kini Berseri mampu hadir unjuk gigi, dari keuntungan penjualan tiket dapat memberi kesejahteraan para pemainnya serta membuat pementasan berkelanjutan.
Ini bukan masalah berebut penonton, antara Kini Berseri yang hore-hore dengan teater dengan pementasan yang membuat berpikir penontonnya. Bukan. Tapi yang saya tekankan adalah bagaimana Kini Berseri mampu pentas secara berkelanjutan dan menjadi kokoh mandiri dengan caranya sendiri. Bukankah patut dicontoh itu, sehingga garapan teater serius tidak hanya menunggu gelontoran dana doang.
Publikasi
Selain pihak-pihak itu, publikasi juga menjadi pilar penting di setiap pementasan. Sering kali penggiat teater tidak memperhatikan publikasi dengan cermat. Bahkan ada pementasan yang posternya baru jadi satu minggu sebelum pementasan.
Sudah seharusnya teater memiliki akun Facebook, Instagram, atau Path. Dan konsisten menjaga dan merawat postingan. Seperti Teater Garasi, Teater Pappermoon Puppet, Teater Keliling Indonesia, yang postingan Instagram-nya hampir setiap hari. Tidak hanya menginfokan pementasan, saja, juga hal-hal di luar keteateran tapi masih berhubungan.
Beberapa bulan akhir 2016, saya banyak kecolongan pementasan bagus karena publikasi yang tak luas. Penyebaran berita hanya sebatas lingkaran pertemanan teater tanpa memikirkan masyarakat luas. Tentu ini memerlukan kerja sama media semisal koran, radio, dan media sosial.
Contohnya saat pementasan Creamer-box Bandung yang diadakan di Tukad Abu, saya diberitahu 2 jam sebelum pementasan dimulai. Padahal selama seminggu sebelumnya saya berselancar di dunia internet mencari sejumlah event untuk mengisi waktu luang.
Nah hal seperti inilah yang perlu dicermati bersama. Walau teater terkesan gerakan militan tapi jangan menutup diri dengan kemajuan teknologi, bahkan proses latihan pun menjadi bahan woro-woro untuk memancing calon penonton.
***
Di luar Denpasar tentu ada teater militan yang bergerak sendiri, seperti di Negara ada mas Nanoq da Kansas atau di Buleleng ada pak Putu Satria Kusuma yang sering mengadakan pementasan teater.
Terus terang saat mengerjakan tulisan ini, saya sedang dalam proses mengutak-ngatik naskah puisi mas Andy dari Bengkel Mime Teater, Yogjakarta. Saya ingin mementaskan puisi dengan variasi bentuk pementasan baru. Saya melihat membaca puisi bisa dilakukan kapan saja, di mana saja, tinggal cari puisi yang diinginkan di google, lalu baca.
Saya tak ingin begitu, saya hendak mementaskan puisi, mencari nilai tafsir, dan mencoba menafsirkan makna kata menjadi sebuah adegan, tidak hanya sekadar membaca saja.
Agar saya tidak dikatakan omong doang dan sok mengkritik ini dan itu, jadi saya buktikan dengan pementasan kecil ini. Pementasan akan dilaksanakan di Jati Jagat Puisi Bali, Renon Denpasar, Minggu 15 Januari 2017. Selain pentas puisi, ada pula pementasan pantomime, bincang buku, serta workshop pantomim. Sekalian promosi bedik dini sing engken kan, pang bek ne teke. Hahahah..
NB: Tulisan ini bersifat subjektif, lho Kawan-kawan, dari sudut pandang saya. Pun tak ada teori dalam ulasan ini. Jadi masih bisa dibincangkan, bisa dicaci, bisa juga disebarkan. (T)