BAGI orang Bali (Hindu) tentu saja tak ada masalah dengan perayaan Tahun Baru, meski sesungguhnya Hindu memiliki Tahun Baru sendiri yang dirayakan dengan Nyepi. Tak masalah juga Bali dikerubuti turis asing dan kebanyakan lokal, hingga sampai jalan-jalan macet, parkir objek wisata penuh sesak, dan hotel kehabisan kamar meski tarifnya sudah dinaikkan 100 persen.
“Pada setiap perayaan Tahun Baru, Pulau Bali ini kita kontrakkan saja,” kata seorang teman, sebut saja namanya Made Ada, beberapa hari menjelang Tahun Baru.
“Dikontrakkan? Maksudnya?” tanya saya.
“Iya, selama perayaan Tahun Baru biarkan orang-orang di luar Bali datang ke Bali, merubung di objek wisata, menyesaki hotel dan merayap di jalan-jalan besar. Kita yang orang Bali menyingkir saja!” ujarnya.
“Menyingkir?”
“Ya, kita jangan ikut-ikutan ke objek wisata, jangan ikut-ikutan memenuhi jalanan, dan jangan ikut-ikutan memenuhi kamar-kamar hotel!”
“Artinya, kita tak ikut merayakan Tahun Baru, seperti orang-orang yang melarang terompet, melarang pesta, melarang bakar ikan, melarang bakar jagung?”
“Bukan! Beh, kau tak paham maksudku!”
“Aku paham sedikit, tapi belum ngerti, he he he!”
“Justru kita, sebagai orang Bali, membiarkan orang-orang merayakan Tahun Baru di pulau kita, biarkan mereka bebas, kita sendiri tak usah mengganggu mereka. Sebagaimana orang yang mengontrak rumah kita, biarkan mereka nyaman tinggal di rumah kita, toh hanya sementara, jangan ikut menumpang tidur di dalam rumah yang sudah dikontrakkan!”
“Ide aneh.”
“Ya, aneh!”
“Jika kita menyingkir, siapa yang melayani para turis itu?”
“Semua sudah punya tugas. Semua punya pekerjaan. Yang bekerja di hotel ya tetap bekerja, yang jualan di objek wisata ya tetap jualan. Yang jadi sopir bus, ya, antarkan tamu dengan baik. Maksudnya, kita-kita ini, orang-orang yang dapat cipratan libur, ya, jangan ikut seperti turis di pulau sendiri. Biarkan turis tetap nyaman, karena objek-objek wisata dan jalanan sudah kita kontrakkan. Kita menyingkir!”
“Menyingkir ke mana?”
“Terserah, asalkan jangan menganggu turis dengan ikut-ikutan menjadi turis!”
Lama saya mencoba untuk memahami jalan pikiran Made Ada, teman saya itu. Sampai akhirnya saya benar-benar bertemu dengan sejumlah orang Bali yang sungguh-sungguh menyingkir dari keriuhan perayaan Tahun Baru.
Sabtu, 31 Desember 2016, sehari menjelang Tahun Baru 2017, saya bersama keluarga sembahyang ke Pura Segara Rupek, di ujung barat Buleleng, Pulau Bali. Pura itu terletak di tepi laut, di tengah hutan cukup lebat yang masuk dalam kawasan Taman Nasional Bali Barat.
Dari jalan raya Gilimanuk-Singaraja, dibutuhkan waktu sekitar 2-3 jam untuk mencapai lokasi pura, dengan melewati jalan gladag batu yang bergelombang. Belum lagi di tengah jalan dihadang kawanan kera yang mengiba minta makanan hingga membuat kita terhenti untuk melempar sekadar bekal buah-buahan.
Di Pura itu saya bertemu sejumlah orang. Mereka bukan sekadar bersembahyang, tapi mekemit (menginap) di Pura terpencil itu. Beberapa di antaranya bahkan sudah berada di Pura sejak Jumat 30 Desember, dan berencana untuk mepamit (pulang) setelah Tahun Baru 1 Januari 2017.
Saya dan keluarga tidak menginap di Pura itu. Petang dalam perjalanan pulang, saya berpapasan dengan banyak mobil menuju Pura. Di dalamnya terdapat sekeluarga atau mungkin kelompok sekawan. Mereka berpakaian adat putih poleng, putih-putih atau putih kuning.
Saya berani pastikan, mereka akan berada di Pura itu ketika malam saat orang lain merayakan penyambutan Tahun Baru dengan gegap-gempita. Beberapa mungkin mekemit dan pulang setelah tanggal 1 Januari, atau melanjutkan perjalanan ke sejumlah pura lain yang lebih terpencil.
Mungkin, sebagaimana dimaksud teman saya Made Ada, laku orang-orang itulah yang disebut menyingkir dari keriuhan Tahun Baru. Mereka “mencuri” momentum perayaan (yang bukan tradisi agama mereka) lalu digunakan untuk “merayakan” kedekatan mereka dengan Tuhan sesuai agama mereka.
Saya jamin, tempat “penyingkiran” bukan hanya Pura Segara Rupek. Banyak Pura lain di lokasi ekstrem juga digunakan sebagai tempat mekemit sekaligus berdoa demi keselamatan diri dan dunia. Semisal sejumlah Pura di puncak Lempuyang, atau Pura di lereng-lereng gurung kawasan Batukaru, atau Pura di tengah hutan di sekitar Tamblingan dan Buyan.
Laku menyingkir itu tampaknya bukan hanya terjadi saat perayaan Tahun Baru. Sejumlah pemangku yang sempat saya ajak ngobrol mengatakan, Pura-Pura yang jauh dari keramaian biasanya banyak didatangi umat Hindu saat hari-hari raya agama lain semisal Hari Natal, Idul Fitri dan Waisak. Mereka biasanya datang bersama keluarga, rombongan teman, atau rombongan sesama rekan kerja.
Laku ini bisa disebut sebagai toleransi bentuk lain. Saat Idul Fitri mereka tak ingin mengganggu umat Muslim sholat Id di lapangan terbuka. Saat Natal, mereka memberi ruang bagi umat Kristiani merayakannya dengan khusuk di gedung publik maupun di ruang terbuka. Mereka menyingkir, melakukan perjalanan suci atau tirtayatra ke Pura yang jauh dari pusat-pusat perayaan.
Itu mungkin salah satu tujuan kenapa saat hari raya agama tertentu, umat dari agama lain juga ikut diliburkan. Selain sebagai bentuk penghormatan terhadap umat dari agama lain, libur juga memberi kesempatan umat yang tak merayakannya untuk ikut mendekatkan diri dengan Tuhan sesuai agama masing-masing.
Ngomong-ngomong, usai perayaan Tahun Baru 2017, saya telepon Made Ada, teman saya itu. Saya tanya ke mana ia menyingkir saat Tahun Baru. Jawabannya sungguh tak enak.
“Kau nyindir ya. Kau tahu, aku tak perlu menyingkir. Rumahku sudah sangat terpencil, jauh dari peradaban kembang api, jalan ke desaku rusak berat, tak ada turis yang mau ke sini. Aku di rumah saja, sembahyang di Pura tepi sungai dekat rumahku. Bagaimana? Kau puas?”
Saya tutup telepon sambil tersenyum… (T)