MENANTI MUSNAH
Aku hampir musnah terlempar api yang memercikku dengan riciknya pijar nyala. Kujalani Titian ilahi
Menelungkupkan pelaku dosa tak berdaya di hadapan tuhannya. Aku panjangkan seutas ayat-ayat
Karunia semesta tercatat dalam lembar-lembar kitab suci, agar lebih hancur sepi padaku, ke tubuhku
Pun telah kugonggongkan tanya, beriring dengan waktu terpatah saat tubuhku mulai terasa deru
Debu surga, mengibaskan nyala mataku memandang hari
Mulai putih warnanya, mulai hilang pendarnya
Surga diciptakan dari kasih sayang penghuni surga dan janji Tuhan. Tidak pernah sekali pun mengingkari
Adanya munajat yang kupanjatkan senantiasa, bergemuruh doa seiring jelang keberangkatan fajar
Barzakh selalu jalan dalam ruang, melepaskan lembar waktu
Bagi kita yang sudah semestinya percaya bahwa saat itu tiba, ketika
Fajar telah tumbuh di mata, bersama senja. Mengikut lepasnya daun-daun usia
Sebentar ada, sebentar jingga. Jingganya usia
2016
PADA USIA 17 TAHUN
Gigi-gigi senja menuding tujuh belas usiaku memanjat ketinggian hari telah berlalu lewat
Aku tak bisa lagi berpura ketika segenap jiwa telah tertumpah benih maut mengincar
Jalan membuka bentangnya, sewaktu aku memang menitikkan derap di atasnya
Untuk kemudian sayup dan berlalu dalam ruang paling kosong, putih surga terkucur wangi cahaya
Wajah almanak telah berhasil mencatat belasan usiaku menginjak tujuh belas
Biarkanlah aku memelas, ujarku. Tapi sosok senja masih mengincarku dengan cakar sepi merobek
Dingjnnya usia hampir larut, dalam genang air matamu. Kuputihkan suaraku agar samar, agar tak
Dengar padamu. Tapi yang kurasa dan kumiliki sekarang hanya sepi, suasana sepi yang mengutuk
Dengan liar dan jalang matanya
2016
PESAN KEPADA SEPI
Tak ada basa-basi dalam pertemuan malam ini, telah kucatat beberapa cermin penyimpan niat
Tak kunjung berani mengacung tentang pesan-pesannya sebelum melebur dalam sepi
Kesunyian terburuk ialah segala redup mata dalam membaca gugusan tanda akan sampai
Di ujung-ujung ubunan, di mana pun maut bagimu menyapa sama
Seakan tanpa kenal dengan nama-nama
Kau berkata padaku kemarin hari akan sepi kini, tidak bisa kita duga
Betapa lekas desirnya meraba mata dan pori-pori pada raga
Cemerlang pikirmu tidak bisa takjub padanya: lihatlah betapa jemputannya tanpa kenal nama
Tanpa tanya, “betulkah ini rumah anu?”
Kenalilah lebih awal tanda redup mata, sangat tiba-tiba ia menyeruput usiamu
Tanggal dari kehidupan, menitik lengang di suasana ruang tunggu
Ada pesan tertinggal samar di dinding-dinding waktu, tengoklah sekilas ratap
Pada yang masih tinggal belum lalu sama sekali
Maka di sebuah hari, kubasuh pesan yang basah oleh sedu peziarah
Dengan cahaya. Aku sangat berharap isinya akan baik tak berkabar buruk
Tertulis pesan itu dengan rapi dan penuh gurau menjelang pulang
Sebelum maut sampai pada jemputan
“Jika sepi tertanam pada tubuhku, telah kutahu sebelum itu akan begini adanya
Lengang kupilih tersebab ia tanpa lelah mengawas sabar dengan mata waktunya
Tanpa kupilah yang mana yang benar peduli, yang mana yang tak samar-samar bagi mata
Kusampaikan kalimat terakhir untuk sepi yang serba ajaib dan musykil
Adakah didengar kata-kata beruntun menebar raung di kamar, menjelang angin senja datang
Membawa sebuah keranda dari kejauhan. Sayup-sayup kau mulai menjauh, menjelma debar hening
Padaku hari ini, beberapa menit lagi’
2016