APA kabar komik Indonesia? Bagaimana harimu saat ini? Masih dapatkah kujumpai serial pewayangan R.A Kosasih? Atau apa kabar aksi pahlawan “Si Buta dari Gua Hantu” yang sejak tahun 60-an tetap saja buta, meski zaman telah berganti melewati kacamata tiga dimensi?
Ribuan penemuan teknologi laser penyembuh tengah siap ditancapkan, memberi terang pada sudut gelap retina matamu. Namun tetap saja, gelap nasib komik Indonesia, tak kunjung bisa disembuhkan. Di antara berjibun komik asing (manga, manhwa, comic) yang mengapit pandangan setiap datang ke toko buku, masih juga terbesit keinginan buat bertanya, adakah komik karya anak Indonesia terselip di antaranya?
Jika enggan bilang tak ada, bolehlah, sebut saja minim. Hampir-hampir tak ada nama pengarang Indonesia yang tercantum dalam sekian rak yang tengah terpajang. Yah, apa mau dikata, boro-boro mau mengembangkan pasar, mau nerbitin aja sakitnya tuh sini, Broth. Lagi pula, toh tak ada untungnya juga menerbitkan karya anak bangsa. Sudah harga produksinya lebih tinggi, pangsa pasarnya pun tak mampu menandingi penjualan komik-komik asing.
Mungkin memang lebih untung bila mengisi produksi cetak dengan buku-buku motivasi atau kisah-kisah inspiratif dari artis-artis, kali ya. Selain memang banyak diminati, setidaknya memberikan harapan bagi mereka yang putus asa akan nasibnya sendiri untuk melangkah ke masa depan yang lebih cerah atau syukur-syukur, dapat menambah kepercayaan para narsister yang ingin bercita-cita menjadi artis dalam sekejap.
Di tengah keputusasaan yang melanda masyarakat, di tengah cita-cita jadi artis yang tak kunjung kesampaian, pula mengingat kelangenan saya akan komik karya anak bangsa inilah, betapa berterima kasihnya hati pada situs webtoon.com yang menyajikan komik dari seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Dari sekian banyak karya Indonesia yang dimuat, ada beberapa nomer komik yang cukup menarik perhatian saya. Tentunya, ini bisa jadi bacaan segar buat mengisi waktu senggang para galauwer, jomblower, mahasisawer dan pegawai honower yang tengah menunggu tes CPNS di seantero jagat.
“Tahilalats”, “Trickster”, dan “Nusantara Droid War”. Komik-komik ini bukan hanya berjuang pada persoalan popularitas atau pencapaian estetis saja. Yang tak kalah penting adalah usaha pengarang-pengarang tersebut dalam menempatkan posisi dan kedudukan karyanya diantara komik-komik lainnya.
“Tahilalats” karya Nurfadli Mursyid misalnya, mungkin bisa dikata yang paling unik bin mengejutkan. Pertama kali melihatnya, rasanya tak ada sesuatu yang menjanjikan di dalamnya. Gambar yang naïf, artwork yang tampak sekadarnya, ditambah pilihan bentuk komik strip yang dipakai oleh komikus Indonesia kebanyakan, tak membuat komik ini spesial di mata saya.
Namun, setelah memantapkan hati membaca episode demi episode, barulah rasanya, memang ada yang berbeda dari komik ini. Seolah-olah ada sesuatu daya tarik yang mengharuskan kita membaca terus setiap cerita yang disuguhkan.
Jika boleh dibandingkan, pilihan yang diambil dalam komik Tahilalats merupakan antitesa dari komik “Benny and Mice” karya Benny Rachmadi dan Muhammad “Mice” Misrad yang terbit tahun 1997-2009. Jika Benny and Mice bercerita dengan lugas, tepat, dan menohok, Tahilalats tambak begitu santai, tumpul, dan tak bertendensi membuat pembacanya tertawa ngakak, jumpalitan, sakit basang, pesu tai, pesu enceh sama sekali.
Benny and Mice barangkali bisa kita sebut ‘rajanya’ hiperrealis komik strip, yang merekam ekspresi dan ironi golongan dan kelas sosial masyarakat ibu kota. Sedang Tahilalats, begitu impresif dan kontemplatif.
Cobalah tengok episode 29 yang berjudul “Jomblo”. Seorang anak duduk sendiri di atas sofa. Seolah ada orang lain di sebelahnya, ia bertanya,”Kamu mau ga jadi pacarku?”. Pada panel selanjutnya, ibunya datang bersama sang ayah. Sambil menangis, sang ibu berkata, “Kasihan anak kita, Pah. Sekarang suka ngomong sendiri karena kelamaan jomblo”. Pada bagian akhir panel, gambar ibu yang tadinya memeluk ayah berganti jadi ibu memeluk tiang lampu.
Dari cerita di atas, kenaifan gambar dengan sengaja dipelihara oleh pengarang dalam rangka menciptakan gerak dan laku yang absurd, menyeberangi batas-batas logika yang tak mampu dicapai oleh bentuk-bentuk komik strip dan karikatur pada umumnya. Penggunaan dialog atau narasi sangat minim, karena gambarnya sendiri pun sudah lebih dari cukup untuk mengungkapkan gagasannya.
Sedangkan pesan cerita yang dibawa, seolah tak dibiarkan berhenti pada panel terakhir atau pada gelak tawa pembaca saja. Melainkan terus menyelam ke dalam pikiran sebagai sebuah teka-teki yang mesti dipecahkan. Bahkan, seringkali serupa puisi dengan berbagai kemungkinan interpretasi di dalamnya.
Jadi jangan salahkan komik ini jika tuan dan puan begitu sulit menemukan kelucuannya, sebab seperti yang sering diungkapkan kebanyakan penggemar komik ini “kalau ente ga punya otak, tontonannya sinetron aja, ga usah baca ni komik. Ini komik cuma buat orang-orang yang punya imagine, daya logic, dan rasa humor tingkat Dewa aja, Gan.”
Komik lainnya adalah “Trictsker” karya Mas Hiro dan Kairnn. Meski saat ini baru sampai enam chapter, Tricktster telah berhasil mendapatkan begitu banyak penggemar.
Ceritanya sederhana, yakni seorang murid yang suka menyontek di kelas. Dikemas dalam bentuk ala detektif yang berisi trik-trik menyontek yang dipakai untuk mengelabui para guru di sekolah tersebut. Detil peristiwa menjadi tawaran penting dalam komik ini. Oleh karena itu, alurnya pun cenderung berjalan begitu lambat. Saking detilnya, boleh jadi bisa dipraktekan saja sekalian di kelas, siapa tahu memang beneran bisa, Gan.
Saya tak tahu pasti mau dibawa kemana arah komik ini. Apakah seperti lirik lagu Mau Dibawa Kemana dari Armada Band atau seperti wacana-wacana yang kerapkali dilemparkan Pak Mentri Pendidikan saat ini, yang tak jelas seperti apa kabar endingnya.
Dilihat dari cerita, struktur, dan wacana-wacana yang ditawarkan melalui dialog, saya berharap akan ada bergulatan ideologi tentang pendidikan antartokohnya sebagaimana yang berkembang pada manga (komik Jepang) dewasa ini. Yang tak lagi mempersoalkan tentang benar atau salah saja antartokohnya. Semuanya lebur.
Kadang semua jahat/baik, atau tak ada jahat dan baik sama sekali. Tak jarang juga berisi perenungan yang membawa pertanyaan tantang nilai-nilai filsafat di dalamnya. Semoga saja itu dapat ditemui dalam komik ini. Masalah gambar? Tak usah ditanya lagi, Gan. Kalian akan melihat Jepang versi Indonesia dalam komik ini. Maknyos!
Terakhir adalah“Nusantara Droid War” karya Vega Mandalika. Komik yang bercerita tentang game masa depan bernama Nusantara Droid War ini, berusaha memperkenalkan budaya Indonesia pada pembacanya. Droid yang menjadi alat permainan sendiri adalah makhluk-makhluk mitos yang dikenal di Indonesia.
Dalam komik ini, kita akan berjumpa dengan Nyi Blorong, Nyi Roro Kidul, Barong, Tuyul, dan sebagainya. Desain kostum dan penokohan mitos-mitos tersebut didekonstruksi sedemikian rupa sehingga dekat dengan era kekinian.
Genre komik semacam ini tampaknya memang sedang digemari oleh pengarang komik Indonesia. Seolah melanjutkan tradisi-tradisi komik Indonesia di era 60-an semisal R.A Kosasih (dengan komik Sri Asih), Ganes TH (Si Buta dari Gua Hantu), Hasmi (Gundala Putra Petir) yang menggali kearifan budaya lokal Indonesia untuk dijadikan bahan eksplorasi cerita. Intinya, kalau baca komik ini, dijamin deh pengetahuan kita bertambah, paling tidak satu strip dari sebelumnya.
Jika saja Nusantara Droid War diterbitkan atau dibuatkan versi animasinya, bisa dipastikan, dunia anak yang kini dikuasai oleh Ganteng-ganteng Serigala, Manusia Harimau, dan antek-anteknya akan dihajar habis dengan jurus I Yayat U Santi milik Kabasaran tokoh utama komik ini, yang sejatinya merupakan dekonstruksi dari tarian perang daerah Minahasa, Sulawesi Utara.
Tapi yah, itu kan ‘seandainya’. Entah kapan benar-benar terjadi tak ada yang tahu. Yang bisa kita lakukan saat ini barangkali hanya mengamati, seberapa jauh komikus-komikus muda Indonesia berjuang melawan ketidakpedulian negaranya sendiri.
Webtoon.com sendiri sebenarnya merupakan aplikasi buatan Korea yang membuka peluang bagi setiap komikus mempublikasikan karyanya. Ia tak pandang bulu. Mau komikus yang sudah mapan atau belum berbulu. Semua dapat tempat. Semua punya kesempatan.
Dalam konteks ini, situs webtoon.com telah memberikan aroma baru buat pecinta komik khususnya di Indonesia. Seperti menemukan pesan tlengis di tumpukan masakan penuh mentega yang menjemukan.
Bayangkan, saat lidah sudah teramat jenuh, sudah bosan dengan rasa mentega dan saos pabrik yang itu-itu saja. Tiba-tiba datang sepotong pesan tlengis dengan aroma kelapa, kayu bakar, dibalut harum keringat daun pisang yang dikukus di atas tungku serta rasa rindu pada kampung halaman. Alamak! Sugoi! Ike, ike kochirawa desuka deh, pokoknya. Begitu nikmatnya.
Begitu pula rasanya membaca komik karya anak Indonesia di situs ini. Lalu, pertanyaan selanjutnya adalah, mau sampai kapan kita akan ‘menjual barang’ di toko orang lain, Gan? Semoga tak selama PT. Freeport bercokol di Papua. Amin. (T)
Singaraja, 2016