IBU pertiwi mungkin gelisah dan menangis karena demokrasi selalu diwarnai dengan aksi yang penuh sensasi.
Kenapa aksi atau sensasi? Sapatutnya kita sebagai warga negara yang baik harus lebih memahami apa itu demokrasi yang sesungguhnya. Tidak hanya dimaknai secara sempit yaitu kebebasan berpendapat. Kita harus runcingkan permasalahan ini bersama.
Kebebasan berpendapat seperti apa? Kita tidak bisa menyelesaikan segala permasalahan negeri, terutama yang sangat lekat dengan SARA, hanya dengan aksi demonstrasi. Karena demokrasi secara luas sendiri ialah bagaimana dalam suatu pemerintahan kedaulatan berada di tangan rakyat dengan sistem perwakilan bisa lewat eksekutif, yudikatif, dan legislatif.
Jelas kita saksikan bersama ribuan orang turun ke jalan menuntut satu orang diproses secara hukum atas dugaan kasus penistaan agama. Menjadi dilema ketika ribuan orang tersebut harus meninggalkan pekerjaan, istri, anak-anaknya, yang seharusnya menjadi kewajibannya untuk dijaga. Aksi damai 4 November 2016 menjadi drama yang berseri dengan aksi damai 2 Desember 2016.
Seharusnya sebagai bangsa yang berideologi Pancasila dan menjunjung musyawarah, kasus ini bisa kita diskusikan bersama di meja rakyat dengan mediasi dan sejenisnya. Tidak bersuara lantang di jalan yang memunculkan kesan seakan demokrasi selalu berwajah demonstrasi.
Selain itu kita adalah bangsa yang besar yang multikultural serta masyarakat yang heterogen. Jangan hanya menyebar isu-isu negatif seperti perpecahan hingga makar serta tidak bersikap berlebihan ketika kata-kata NKRI digaungkan.
Lantas, soal aksi-aksi belakangan ini perlulah dipikirkan kembali dengan cermat. Apakah ada setting politik di belakangnya? Dan siapa di balik semuanya?
Jika kita lihat dari aspek ekonomi aksi-aksi semacam ini tentunya banyak menimbulkan kerugian seperti dilansir hariannindo 30 November 2016 16:48. Bahwa 100 pengusaha keluar dari Jakarta. Para pengusaha ini pergi ke daerah-daerah yang relatif lebih tenang dan tidak memiliki potensi kerusuhan. Tentunya roda perekonomian kita mengalami masalah sehingga tidak produktif dan cenderung membuat para investor berfikir dua kali jika ingin menanamkan modalnya.
Selain itu dilihat dari aspek sosiologisnya interaksi lintas budaya sebagai negara yang multikultur bisa dikatakan tidak berjalan dengan baik, dan secara sosial masyarakat Indonesia cenderung terprovokasi tanpa memperjelas titik permasalahannya.
Marilah jangan rusak negeri kita dengan isu-isu SARA yang rentan terjadinya konflik dan memecah belah satu kesatuan bangsa. Kita kawal proses hukum yang ada dengan lebih menekankan “Bhineka Tunggal Ika”. Suara rakyat tidak lagi dibungkam dan jangan juga digelembungkan politik penguasa yang haus kekuasaan.
Tetap jaga kesatuan negeri dengan berlandaskan ideologi Pancasila. Jangan hanya mencaci dan membenci tetapi harus lebih memberi sumbansi untuk kemajuan negeri. NKRI harga mati! (T)