“Berbanggalah menjadi seorang guru. Sebab di tangan para Guru, Pamong, dan Tenaga Kependidikan, masa depan bangsa kita menjadi taruhan.” (Prof. Dr. Muhajirin Effendy, MAP; 2016)
KUTIPAN pidato Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI yang dibacakan 25 November secara serentak di upacara yang diselenggarakan di sekolah-sekolah dalam rangka peringatan hari Guru Nasional dan HUT ke-71 PGRI, tahun 2016 ini memberikan kita sebuah kesan “menyeramkan” terhadap peran guru di republik ini.
Di tangan para guru inilah nasib bangsa dipertaruhkan. Kata “pertaruhan” sendiri membawa makna adanya peluang untuk gagal dan berhasil.
Lalu seberapa besarkah peluang kita (guru Indonesia) untuk berhasil dalam pertaruhan ini? Pertaruhan nasib bangsa untuk menjadi bangsa yang maju, atau tetap seperti saat ini-negara berkembang. Mampukah kita?
Pidato menteri yang dibacakan pada Hari Guru itu menyadarkan kita, kita (bangsa Indonesia) dalam keadaan “gawat darurat”! Nasib bangsa ini ada dalam “situasi genting”! Bagaimana tidak? Nasib bangsa kita dipertaruhkan di tangan orang-orang “nomor sekian” di bangsa ini. Bukan di tangan orang-orang terbaik.
Terlalu menohok juga jika hal itu disampaikan. Akan banyak yang merasa tersinggung. Akan ada yang baper. Bahkan bisa saja ada yang menganggap pernyataan ini sebagai sebuah penistaan profesi. Namun, mari pelan-pelan kita renungkan. Kita (para guru) memang merupakan orang “nomor sekian”.
Mari awali perenungan ini dengan sebuah pertanyaan;
Seberapa banyakkah siswa-siswa terpandai di suatu sekolah yang bercita-cita menjadi guru?
Tidak banyak. Siswa-siswa terbaik, bercita-cita sebagai dokter, sebagai insinyur teknik, peneliti, ekonum, atau ahli hukum. Yang memiliki fisik dan otak yang bagus bercita-cita sebagai polisi atau tentara. Lalu siapa yang bercita-cita sebagai guru?
Siapakah kita dulu?
Orang nomor sekian di kelas.
Apakah kita memang bercita-cita sebagai guru?
Tak banyak yang iya. Sebagian besar dari kita adalah orang-orang yang tidak berhasil masuk kedokteran. Orang-orang yang gagal seleksi Akpol, atau Akmil. Yang tidak lulus STAN, STIS, IPDN, dan sebagainya. Atau orang-orang yang dipaksa orang tuanya, pun orang-orang yang merasa tidak mampu di jurusan lain.
Mungkin juga kita adalah orang-orang yang memiliki niat sendiri menjadi guru semat-mata atas iming-iming mendapatkan tunjangan sertifikasi. Itulah kita. yang kemudian berbondong-bondong mencari universitas keguruan. Menyedihkan, memang.
Lalu, di universitaspun, kita (yang saat ini menjadi guru) adalah hasil seleksi alam. karena yang terbaik di kampus, telah menjadi dosen, atau setidaknya asisten dosen. Sisanya adalah kita, yang hari ini mengenakan seragam PGRI, dan di upacara pada Hari Guru berteriak “Kami bangga menjadi guru profesional!!!”
Teriakan itulah yang seharusnya kita dengungkan. Kita adalah guru profesional. Sebuah pepatah tradisional Bali “Suba kadung maceleban”, mengajarkan kita untuk selalu allout, dalam melakukan segala hal. Hari ini kita telah menjadi guru. Kita berdiri, mengenakan seragam batik putih-hitam bertuliskan PGRI-Persatuan Guru Republik Indonesia.
Guru adalah sebuah profesi. Berbuatlah semaksimal mungkin terhadap profesi ini. Berjuanglah untuk semakin profesional. Jangan selalu menjadi orang “nomor sekian”. Saat ini kita harus menjadi orang terbaik. Profesi guru harus menjadi profesi terbaik. Jiwa ini yang harus kita kobarkan.
Maka, tak peduli siapa kita pada masa lalu. Entah orang ketiga, orang keempat, atau orang kesekian, hari ini kita adalah seorang guru. Pilihan menjadi seorang guru telah menempa kita untuk menjadi orang-orang terbaik. Guru Indonesia. Guru Profesional.
Sepantasnya dengan bangga kita menjawab tantangan Bapak Menteri untuk mengemban pertaruhan nasib bangsa. Kita akan buktikan 15 tahun mendatang, bangsa kita akan bersinar. Pertaruhan ini akan berhasil kita menangkan.
Selamat Hari Guru, rekan-rekan sejawat!
Selamat menjadi semakin profesional! (T)
Salam,
Dari meja kerja di sebuah ruang guru,
25 November 2016