JIKA malam-malam lewat di Jalan Raya Singaraja-Denpasar, tepatnya di kawasan Desa Perean, Tabanan, pada akhir November hingga Desember ini, terutama sekitar pukul 19.00 hingga lewat tengah malam, jangan mengira di situ ada pasar malam. Suasananya sedikit mirip pasar malam: parkir penuh tepi jalan, pecalang lalu-lalang atur parkir, dan di sebuah tempat tampak keramaian dengan lampu sorot yang tajam.
Jangan salah. Keramaian itu adalah sebuah event penting bagi orang-orang kampung. Biasa disebut turnamen voli semi open. Atau biasa juga disebut liga voli antarkampung alias liga voli tarkam.
Jangan salah juga. Penonton turnamen itu bisa mencapai jumlah lebih dari seribu orang. Penontonnya bisa datang dari berbagai wilayah, seperti Tabanan, Mengwi Badung, Kuta, Gianyar bahkan Klungkung.
Liga voli tarkam adalah ajang adu gengsi, ajang pencarian bakat, ajang pencarian penghasilan tambahan bagi pemain pro, ajang penggalian dana bagi desa penyelenggara, dan tentu bisa menjadi ajang politik pejabat daerah. Liga voli ini sudah ngetrend sejak sekitar sepuluh tahun lalu, dan hingga kini sudah bisa dianggap sebagai “gaya hidup” warga kampung, atau warga pinggiran kota.
Di sejumlah wilayah desa-desa di Tabanan dan Badung yang lokasinya berdekatan, seperti Perean, Marga, Mengwi, Banjar Sayan, Luwus, dan Kukuh, turnamen ini digelar secara bergantian. Demikian juga di desa-desa di kawasan Gianyar dan Klungkung, juga Buleleng. Penontonnya selalu ramai.
Sehari sebelum turnamen dibuka di Desa Perean itu, Sabtu 26 November, penonton sangat ramai menyaksikan final Citta Dharma Cup di Banjar Ole, Desa Marga Dauh Puri, Tabanan. Dari Marga, besoknya warga penggemar voli berbondong ke Perean.
Di antara olahraga modern, tampaknya hanya bola voli yang masih hidup dengan subur di kampung-kampung, di luar stadion modern milik pemerintah. Hanya bola voli yang masih bisa ditonton di turnamen antarkampung, di luar ajang Porda, PON, Olimpiade atau Liga Profesional.
Tingginya kegemaran warga menonton voli, tentu diamnfaatkan dengan baik oleh lembaga-lembaga desa untuk menggali dana dengan mengadakan turnamen semi open. Penggalian dana ini cukup efektif. Daripada menggelar tajen dengan “tingkat kewaspadaan” yang tinggi, tentu menggelar turnamen voli menjadi lebih menarik.
Meskipun dalam pelaksanaanya turnamen voli tetap tidak bisa lepas dari adu taruhan antarpenonton, namun hal itu bukan karena voli-nya, melainkan karena “bertaruh” sudah jadi hobi yang mengakar di sejumlah warga desa. “Tak ada ayam, voli pun jadi”, mungkin begitu kata bebotoh.
Citta Dharma Cup
Sebagai gambaran, baru saja berakhir Citta Dharma Cup. Final berlangsung pada malam Minggu, 26 November. Tim Gamsek dari Selemadeg sebagai juara satu setelah di final mengalahkan tim Porsec dari Banjar Cau, Marga, Tabanan.
Gamsec yang diperkuat oleh Lindung sebagai toser, dan Gus Ekik dan Eka sebagai spiker. dan Mereka adalah pemain Pon Bali. Toser Lindung adalah pemain proliga dan sempat bergabung di tim-tim kuat di Jakarta. Jadi tak diragukan lagi Gamsek layak sebagai juara. Apalagi pemain lokal Gamsec seperti Kodok, Yuda, Ean Candra juga tidak kalah lihai dalam memainkan bola-bola pendek umpan dari Toser Lindung,.
Porsec sebagai juara dua juga tim kuat dan sudah sering menjuarai liga-liga kampung. Pemain lokal mereka sudah terasah betul karena sudah sering bersanding dengan pemain-pemain pro. Dalam turnamen ini mereka menggandeng toser Bonces, Gung Dodi dan Edy Kumara sebagai spiker yang merupakan pemain Pon Junior Bali.
Pada perebutan posisi tiga dan empat ada tim Bamba dari Banjar Baru dan tim Sri Awandira dari Banjar Kelaci, yang keduanya mewakili Kecamatan Marga. Bamba diperkuat Pandim, Tison, Wira dan Opo. Sri Awandira diperkuat Ledin, Dolar dan Kalipo. Mereka adalah pemain-pemain yang berhasil menghibur warga desa dengan kelincahan mereka di lapangan.
Semi Open
Yang membuat turnamen voli tarkam selalu menarik karena yang tampil bukan hanya pemian lokal yang beredar di desa-desa, melainkan juga pemain professional. Jadi, jangan heran, banyak warga pelosok desa hapal nama-nama pemain profesional yang biasa berlaga pada event besar.
Sistem pertandingan yang digunakan dalam liga kampung ini antara lain lokal, semi open tournamen, dan open tournamen. Pada sistem lokal semua pemainnya harus lokal alias sebunan, minimal pemain lokal dalam skup satu desa tergantung kesepakatan.
Kalau semi open, sebuah klub bisa menggunakan tiga orang pemain lokal dan tiga pemain sewaan baik itu pemain Porda, Porprov, Prapon, bahkan pemain Proliga Nasional sekalipun tergantung tebal tipis kantong klub. Jika open tournament, keenam pemain boleh didatangkan dari luar atau boleh pemain sewaan tanpa menggunakan pemain lokal sama sekali.
Dari ketiga sistem itu, yang paling populer adalah semi open tournament. Karena dalam sistem ini masih ada unsur lokal alias sebunan yang disandingkan dengan pemain pro. Dengan begitu, yang menonton selalu ramai, karena penontonnya masih punya kebanggaan membela nama desa karena pemainnya masih ada yang berasal dari desa sendiri.
Merupakan kepuasan dan pengalaman tersendiri buat pemain-pemain di desa bisa berbagi lapangan dengan pemain-pemain proliga. Bagi pemain-pemain pro, sistem ini juga menguntungkan mereka karena bisa mendapatkan hasil tambahan dari uang sewa. Apalagi bayaran pemain pro bisa mencapai Rp 500 ribu hingga 1 juta per malam atau setiap kali berlaga.
Bagi penyelenggara, sistem ini juga sangat menguntungkan. Jumlah tim yang berlaga dalam satu liga kampung ini adalah 32 tim. Dengan sistem double knock out atau kalah dua kali akan langsung keluar, sehingga liga ini bergulir satu bulan penuh sampai di laga puncak. Dengan begitu akan ada kurang lebih 30 kali pertandingan dengan harga tiket Rp 10 ribu di penyisihan dan harganya terus naik sampai Rp 35.000 di babak semifinal dan final. Kalau penonton selalu ramai, penyelenggara bisa mengumpulkan dana hingga Rp 200 juta dari penjualan tiket langsung.
Selain tiket langsung panitia juga menyediakan tiket terusan seharga Rp 200 ribu dan bisa dibawa selama liga bergulir. Penyebaran tiket terusan dilakukan sebelum liga dimulai dan menyasar kalangan berduit, penggemar voli, pejabat daerah, dan juga anggota dewan. Adapun penjualan tiket ini bisa digunakan sebagai modal awal dalam penyelengaraan turnamen dan juga bisa dianggarkan sebagai hadiah.
Selain sebagai hiburan bagi warga desa, turnamen voli antarkampung bisa dianggap sebagai partisipasi warga secara aktif untuk mengembangkan olahraga voli tanpa harus melibatkan secara langsung peran pemerintah. Di sisi lain, masyarakat juga membiasakan diri melakukan swadaya dengan menggali dana sendiri tanpa harus terus-terusan minta bansos pada tokoh-tokoh politik di legislatif dan ekskutif.
Dalam hal ini, bolehlah negara dianggap berhutang pada turnamen voli antarkampung. Selain ikut membantu negara mengembangkan olahraga dengan caranya sendiri, turnamen antarkampung ini juga mendidik warga untuk mandiri: menggelar ajang olahraga sendiri, menonton sendiri, bayar tiket sendiri. (T)