SAYA bukan pedanda, orang pintar, tukang penasehat, atau orang spiritual yang mampu menyembuhkan setiap gulana. Tapi nyatanya sering sekali kawan-kawan melampiaskan ceritanya kepada saya. Mulai dari senang, gembira setengah riang, sedih, pilu, putus cinta bahkan pengalaman pribadi yang tak masuk akal. Tapi menarik sebagai bahan untuk mengenal siapa diri kita beserta hal-hal yang tak selesai di sekitarannya.
***
Satu hari pada hari Minggu di bulan November, Sedan Accord Maestro melaju lamban menyusur liku jalan aspal menuju daerah Petitenget, Kuta Utara, Badung. Kami bertiga, berencana makan siang sekaligus melepas kangen dengan beberapa kawan di daerah tersebut.
Saya duduk di kursi belakang, Mahir menjadi kopilot , dan Omot jadi pilot setia kami, jika hendak berpergian seperti ini. Omot lelaki kamera (photographer), tinggi, agak gempal, dan cenderung pendiam, tapi pendapatnya selalu jadi bahan pertimbangan.
Mahir, perempuan, cantik, berkacamata, tingginya cukuplah untuk menjadi model baju distro yang saat ini lagi ngehits di Denpasar, bekerja di salah satu bidang pariwisata, dan paling penting dia baru saja menandaskan Novel Midah Si Manis Bergigi Emas, karya Pramoedya Ananta Toer.
Itu suangar bro. Perempuan pembaca selalu menarik hati saya, entahlah, pesona auranya berbeda dari kebanyakan perempuan yang sukanya foto selfi berlatar belakang dinding restoran.
Beberapa waktu lalu usai menamatkan novel Midah, Mahir mengontak saya melalui whatshap dan mengemukakan pendapat pribadinya. Seperti pemimpin orasi, intinya ia menyuarakan keputusan Midah tidak masuk akal. Membiarkan dirinya sendiri mengurus anak, sementara si suami pergi meninggalkannya. Itu adalah bentuk penindasan terhadap perempuan, kenapa ada orang seperti Midah yang tak berdaya, tak berkekuatan untuk melawan, akhirnya ikhlas kepada yang di atas. Hidup macam apa itu.
Usai membaca orasi panjangnya, saya cekikikan dalam hati. Mahir tak menyadari sebulan ini ia juga sedang ditindas, tapi penindasan dalam bentuk halus. Ditindas hatinya oleh seorang lelaki yang setelah sebulan melaksanakan jurus PDKT, kemudian hilang. Persis seperti awatara penyelamat bumi, setelah menyelesaikan tugasnya, lalu kembali kedunianya. Nasbedag.
Atau seperti anak SD yang bermain di bawah pohon beringin lalu diajak oleh wong samar ke dunia lain. Hilang ya benar-benar hilang dan absurd.
***
“Lalu bagaimana lelaki mu itu?” tanya saya membuka obrolan. Saat itu sedan kami melaju perlahan berdesak ruang bersama kendaraan lain. Maklum Minggu. Bali selalu begini.
“Aku sudah selesai kontak, kadang rindu juga sih. Aku telah menemukan jawabannya di akun Path pribadinya. Seminggu setelah hilang kontak ia mengunggah meme, isinya tentang ia trauma jatuh cinta lagi dan belum siap membuka hati,” jawabnya cepat bahkan terkesan ala kadarnya.
“Kamu tak mengontaknya? Menanyakan perihal sikapnya, tiba-tiba hilang begitu,” desakku dengan nada serius.
“Ngapain harus tanya, bukankah sudah jelas, unggahannya itu sudah menjawab semuanya.”
“Percuma kamu baca Midah karya Bung Pram yang tersohor itu , ya kamu itu Midah, sama-sama ditindas.”
“Maksud? Berikan penjelasan atas kalimatmu itu!” ucapnya dengan nada tinggi, tanda sejumlah darah menggumpal dan memekat di kepala sahabatku itu.
Percakapan kami memanas, sepanas terik matahari yang kian menyengat. AC mobil kalah.
***
Di lingkungan saya, lelaki dewasa dianggap wajar bergonta-ganti pasangan dalam memilih pedamping hidupnya, bahkan ketika telah berkeluarga jika kedapatan berselingkuh, lelaki selalu diupayakan untuk benar. Sementara perempuan sekali selingkuh langsung dipulangkan ke rumah orang tuanya. Kemudian secara otomatis dua kata terpatri di jidatnya, barang bangke. Dianggap perempuan tidak baik-baik. Sial.
Lelaki memiliki seribu jurus kungfu dalam menaklukkan setiap perempuan. Mengandalkan (menghalalkan) segala cara untuk mendapatkan perhatian sang pujaan hati. Kehadiran aplikasi chating di smartphone juga menjamurkan fenomena ini.
Kasus sahabat saya Mahir, juga sedikit tidaknya ulah aplikasi maya itu. Ngobrol saban hari, bertegur saban hari, menanyakan apa sudah makan setiap hari, menanyakan baju apa yang dipakai, warna celana apa yang dipakai, bahkan berbagai pertanyaan lainnya. Yaaaaa lewat layar yang dia genggam serta antek-antek pendukungnya itu.
Dulu zaman ayah saya dewasa, memilah perempuan haruslah berhati-hati. Karena PDKT-an dilakukan secara gamblang, terang-terangan tidak memakai kaca riben sedikit pun. Ayah harus datang ke rumah perempuan idamannya untuk sekadar menanyakan apa kabar, apa sudah makan atau apa-apa lainnya.
Saat proses PDKT-an itu, bukan tidak mungkin ayah saya bertemu dengan keluarga inti, paman, bibi, keluarga dekat bahkan tetangga si perempuan. Naaah looo kalau sudah sejauh itu, dan tidak jadi pacaran. Dije kel jang muane, lek atine Bro (di mana mau diletakkan wajahnya, malu, Bro). Jadi ada konsep malu, takut dan was-was ketika memulai mendekati perempuan.
360 derajat berbeda dengan sekarang. Mendekati perempuan tidak ada konsep ketakutan, malu atau semacamnya. Konsep yang tertanam, coba dulu di-chating, ketemuan di luar (tidak harus menjemput ke rumah) kalau tidak cocok ya cari yang lain.
Mungkin konsep kedua ini nyantol di kepala lelaki yang melukai hati sahabat saya. Mencari keinstanan tanpa melirik dan mempertimbangkan hal paling penting, perasaan. Eaaaaaa. Ibarat sebuah kamar, lelaki itu datang menjamah sudut ruang, mencoba kasur, menelisik isi lemari, menggunakan cermin rias, tidur di lantai sekenanya, Setelah bosan lalu pergi.
Hati perempuan tidak seperti rumah bordil. Bisa di bayar, dipakai, lalu ditinggalkan.
***
Sementara Mahir juga membuat saya gregetan. Sahabat saya itu sungguh ikhlas, lebih parah lagi, ia mempertimbangkan jika lelaki itu kembali, hatinya terbuka lapang dan menerimanya dengan senang hati. Lihatlah begitu lemahnya Mahir. Kesal atas perlakuan lelaki itu tapi munafik tak ingin kehilangan.
Mahir tidak berani melawan, tidak berani bersikap, tidak berani hidup, tidak berani masuk menemu malam. Lalu apa gunanya hidup.
Benar kata Amhad Tohari, perempuan adalah bubu yang bila sudah dipasang hanya bisa menunggu ikan masuk. Selamanya bubu tak akan mengejar ikan atau memaksanya masuk ke dalam. Begitu pasrahnya begitu nrimonya.
Jadi perempuan itu diam saja, lelakilah yang bersusah mencari dan memasuki setiap bubu. Jika bubu dimisalkan hati. Betapa tak sakit hatinya itu perempuan, jika ikan hanya keluar dan masuk sekenanya.
Tapi bubu punya sistem perangkap, mengurung ikan yang masuk. Sistem inilah yang mestinya diperkuat oleh perempuan. Perluas pergaulan, ambil resiko, tidak bergantung pada lelaki, jadi perempuan mandiri dan sekali lagi membaca buku. Dan tentunya ini akan menentukan sikap perempuan atas berbagai hal yang merintangnya.
Mahir harus melawan, bukan orasi di jalan, bukan beradu fisik, bukan pula menyewa algojo untuk menghajar si lelaki, tapi hal yang lebih matang di usianya, bentuk sikap. Ini era lelaki dan perempuan memiliki hak bicara yang setara.. Mahir seolah lupa bangsa kita punya Ibu Kartini, lupa juga punya Ibu Susi dengan keberaniannya menumpas para pencuri di wilayah perairan Indonesia.
Salah satunya, ya, menulis. Menuliskan amarah dengan tatanan kalimat yang baik, saya lebih suka seseorang mengatakan marahnya secara gamlang dibanding melampiaskannya dalam bentuk anarki. Menulis adalah kematangan diri, tanggung jawab umur, tanggung jawab gelar, tanggung jawab atas kehendak hidup ini.
“Tulislah kekesalanmu, dalam bentuk surat. Bukan untuk mempertanyakan sikapnya tapi bentuk pernyataan atas yang ia lakukan, kalau saya ketemu perempuan seperti itu. langsung saya ajak nikah dah” ujar saya sekenanya
“Tapi, apa yang harus kutulis, kampret kamu membuatku berfikir,” jawabnya dengan nada kesal.
***
Tidak dipungkiri saya juga pernah menyakiti hati seorang perempuan, pengalaman selalu mengajarkan yang terbaik. Tapi bukan untuk mengulanginya namun memperbaiki langkah ke depan. Penindasan sering terjadi di sekitar kita, bahkan hal terkecil sekalipun, masalah hati.
Sedan Accord kami belum juga sampai di tempat tujuan. Saya takjub melihat riuh rendah papan iklan yang bertebaran di jalanan, iklan restoran, hotel, kedai kopi, jasa pariwisata, jasa spa, jasa penyewaan motor dan iklan lainnya, dinamika kota yang menarik. Tiba tiba saya terperanjat dan menyadari, saya juga dalam pusaran rantai jajahan yang tak terasa.
“Kleeeeee, saya juga sedang dijajah,” igau saya, sambil tersenyum kecil melihat sepasang bule di seberang jalan berpegangan sambil melambaikan tangan meminta taxi berhenti. (supir taxinya nak Bali, ada banten di dasbord mobilnya). (T)