POLITIK mungkin sesuatu yang asing bagi saya terutama mengenai politik praktis. Memang sedikit paham, secara garis besar politik didefinisikan sebagai “ilmu mempengaruhi”. Sebagai anak bahasa (mahasiswa jurusan bahasa), saya juga mengenal politic in language in use yaitu politik yang bekerja ketika kita berbicara atau membangun percakapan dengan orang lain.
Berbohong adalah salah satu contoh politic in language in use. Kenapa? Karena berbohong adalah bagian dari mempengaruhi dan berstrategi dalam menggunakan bahasa sehingga pembicara akan menerima dan terpengaruh terhadap apa yang diwacanakan oleh si pembicara.
Tapi politik mungkin tak sesederhana itu. Politik itu luas, bukan hanya politik praktis, bukan hanya bicara soal “mencoblos ini” atau “mencoblos itu” dalam pemilihan kepala daerah atau pemilihan presiden.
Sebagai seorang yang tidak terlalu aktif dalam seluk-beluk politik praktis, hanya sebagai penonton yang tak punya dasar ilmu mendalam tentang politik praktis, bagi saya politik praktis memang kelihatan begitu menarik. Menarik ini didefinisikan sebagai sesuatu yang lucu, unik, konyol, dan tragis. Varian-varian itulah yang membuat politik terkesan menarik bagi saya.
Mulai dengan lucu, kisah-kisah orang orang yang bergabung ke politik praktis banyak yang lucu. Misalnya pindah-pindah aliran disaat tidak dipilih di rumah yang telah membesarkan namanya. Pindah-pindah kubu ketika di kubu sebelumnya tak mendapatkan apa yang diinginkan.
Pindah-pindah partai politik menjadi sesuatu yang biasa. Maka jadi biasa pula ketika menghadapi yang dulu teman, kini menjadi lawang. Yang dulu lawan, kini berangkulan bersama. Bagi saya, itu lucu.
Mungkin selera humor saya rendah sehingga hal semacam itu dianggap lucu. Tapi tak apa-apa, karena itu memang lucu. Bahkan sangat lucu. Betapa lucunya meninggalkan “keluarga” yang membesarkannya, lalu enyah dari rumah, hanya gara-gara tak mendapatkan “mandat tertinggi” di keluarga itu. Lalu, di luar, sibuk sendiri menjelek-jelekkan keluarga lama.
Unik. Cara mereka berkampanye dan menyuarakan pendapat ya tergolong unik. Blusukan adalah trend kampanye baru dibandingkan dengan berkonvoi-konvoi menghabiskan banyak baju dan uang operasional partai.
Blusukan jauh lebih irit, tokoh politik yang hendak mendapatkan mandat dan simpati rakyat, tinggal datang ke kantong-kantong rakyat. Berkeliling-berkeling tanpa harus ada loud speaker dan mobil-mobil besar untuk mengawal prosesi kampanye. Memang kreatif mereka mencari inovasi terbaru guna teknis kampanye yang lebih modern dan efisien.
Lanjut dengan konyol. Mungkin ini bagian yang menarik bagi saya untuk mengulas kekonyolan ini. Ketika produk politik praktis ini menghasilkan suprastruktur politik yang berkompeten dan punya integritas serta profesionalisme tinggi, banyak orang (terutama lawan politik) menyerangnya.
“Mereka” digulingkan! Hello, mau kalian apa? Mau dibawa ke mana negara ini jika orang-orang yang punya kualitas disingkirkan? Luar biasa sekali, sungguh konyol. Seakan-akan sesuatu “yang berkualitas” dianggap ancaman bagi negara.
Setelah ditelaah lebih dalam dengan analisa teori yang terbatas, buku, serta cerita dan dongeng Indonesia kuno, hal-hal semacam itu bisa disebut sebagai bagian dari konspirasi. Ya, konspirasi politik yang bisa dikatakan begitu brutal.
Kemungkinan kondisi ini terjadi karena ketakutan jasmani dan rohani yang terlalu kuat di kalangan conspirator. Mereka takut jika posisi mereka akan tergangu oleh-oleh orang yang punya integritas tinggi untuk bangsa dan negara terus lahir dari waktu ke waktu. Sungguh ini sangat-sangat konyol, siapa yang akan memperbaiki bangsa ini jika mereka yang sudah menunjukkan kredibilitas justru disingkirkan.
Sehingga pada ujungnya hal ini dikatakan tragis. Ya tragis, karena ujung-ujung orang yang punya kualitas dipenjarakan dengan kasus-kasus yang terbilang tidak sebanding dengan apa yang telah mereka buat terhadap bangsa mereka. Sungguh sangat tragis, usaha mereka yang begitu keras membangun negeri agar bisa lebih baik dan sudah bisa mewujudkannya walau belum sempurna akhirnya berujung dijebloskan ke rumah tanpa jendela.
Kisah ini seakan mengingatkan kita dengan tokoh-tokoh pejuang bangsa zaman dulu yang mesti masuk bui karena perlawanan yang mereka suarakan. Bedanya, zaman dulu mereka dibui oleh musuh yang jelas, semacam penjajah, pemberontak bangsa, atau rezim yang dianggap diktator.
Namun kini, musuh adalah kelompok-kelompok yang tak begitu jelas, abstrak namun punya kekuatan politik. Musuh abstrak ini mungkin juga berkonspirasi dengan petinggi dan mantan pengelola kekuasaan yang terserang post power syndrome dan ingin berkuasa kembali secara langsung maupun tak langsung.
Jika ini terus terjadi, di mana pelajaran dan kuliah politik dan demokrasi bagi mahasiswa dan generasi muda seperti saya? Kami seperti mendapatkan semacam kuliah tak penting tentang politik yang tak pernah kami pahami dengan teoritis maupun dengan praktis.
Kami jadi melihat politik, apalagi politik yang dikaitkan dengan agama dan nafsu berkuasa, sebagai sebuah laku manusia yang mungkin akan kami tiru di kemudian hari. Lalu, bagaimana kami bisa menyusun strategi bagus untuk ikut berjuang, suatu saat nanti, demi kemajuan bangsa. Demi kemajuan demokrasi, demi tegaknya Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika. (T)