HARI masih pagi. Jarum jam baru menunjukkan pukul 08.30. Namun entah mengapa, matahari bersinar begitu terik. Meski begitu, suasana di Lapangan Umum Desa Bebetin, terlihat riuh. Puluhan warga ramai-ramai datang ke lapangan desa, berlomba mencari tempat teduh di sekitar pepohonan.
Pagi itu, Sabtu, 19 November 2016, memang hari yang istimewa bagi warga yang tinggal di Desa Bebetin, Kecamatan Sawan, Buleleng. Mereka tengah menanti paradesampi gerumbungan, salah satu peninggalan budaya agraris di Bali Utara, yang masih lestari hingga kini.
Untuk parade itu, Sekaa (kelompok) Sampi Gerumbungan Baga Sabali menyiapkan empat pasang sapi (dalam Bahasa Bali disebutsampi). Sepasang diantaranya adalah pasangan sapi juara milik Bau Gede Subandi. Sepasang sapi itu keluar sebagai juara pada Festival Lovina yang digelar beberapa bulan sebelumnya.
Di bawah terik matahari yang semakin menyengat, para anggota sekaa sibuk merias sapi-sapi milik mereka agar terlihat cantik. Sapi-sapi ini memang biasa digunakan untuk membajak sawah. Namun untuk penampilan kali ini, sapi-sapi itu harus tampil secantik mungkin. Mereka akan direkam untuk program acara petualangan di salah satu televisi swasta yang bermarkas di Jakarta.
Dalam penampiilan kali ini, para anggota sekaa bukan hanya menyiapkanlampit(peralatan membajak sawah). Mereka juga harus menyiapkan sejumlah aksesoris lain, yang akan disematkan di tubuh sapi. Intinya, sapi-sapi itu harus tampil secantik mungkin di depan penonton, juga di depan kamera wartawan dan kru televisi.
Budayasampi gerumbunganmemang istimewa. Budaya ini adalah salah satu (dari dua) budaya agraris di Bali yang berkaitan dengan hewan pembajak sawah, entah itu sapi atau kerbau. Di Bali, ada budaya agraris lain yang disebutmakepung. Budaya ini dapat dengan mudah ditemui di Kabupaten Jembrana, Bali.
Sampi gerumbungan, sangat berbeda denganmakepung.Makepung, lebih menonjolkan soal kecepatan. Sementarasampi gerumbunganlebih mengutamakan soal kecantikan dan kemolekan. Tak perlu cepat untuk menjadi yang terbaik. Cukup menjadi cantik, molek, dan gemulai.
Sampi gerumbungantak ubahnya seperti menyaksikan model yang berjalan di atascat walk. Sepasang sapi berjalan tegak, molek, gemulai, seperti model. Mereka juga menggunakan aksesoris-aksesoris yang menambah kecantikan.
Tak diketahui secara pasti sejak kapan budayasampi gerumbunganada di Buleleng. Budaya ini diyakini lahir di Desa Bebetin sejak ratusan tahun silam. Saat ini penggiat yang berkecimpung di sekaasampi gerumbungan, adalah generasi kesepuluh yang menggeluti budaya ini. Artinya budaya ini sudah ada setidaknya 300 tahun silam.
Masyarakat meyakinisampi gerumbunganadalah budaya yang sangat sakral. Maka, sebelum parade dimulai, harus ada serangkaian ritual yang harus dilakukan. Sapi-sapi yang akan tampil juga harus dipercikitirta(air suci).
Dari cerita turun temurun yang diyakini masyarakat, budaya ini lahir dari sumpah salah seorang nenek moyang ratusan tahun silam. Alkisah salah seorang warga di Desa Bebetin, ratusan tahun silam mengubah lahan perkebunan miliknya menjadi lahan sawah. Kala itu ia berjanji kepada Yang Maha Kuasa, jika sawahnya berhasil panen raya, sapi yang digunakan membajak sawah akan melakukan atraksi pada awal masa tanam berikutnya.
Benar saja saat itu sawahnya mengalami panen raya. Padahal sawah itu dulunya adalah ladang dan baru pertama kalinya ditanami padi. Pada awal masa tanam berikutnya, nenek moyang menampilkansampi gerumbunganyang berjalan begitu moleknya. Sapi itu berjalan selaras. Selayaknya manusia yang tengah berjingkat. Serupa dengan model yang berjalan anggun di atas sepatu hak tinggi.
Awalnya sepasang sapi yang digunakan membajak sawah, hanya berjalan berjingkat dengan peralatan membajak serta seorang pembajak sawah yang mengendarai alat bajak. Seiring berjalannya waktu, berbagai aksesoris menghiasi pasangan sapi yang akan pentas saatsampi gerumbungandihadirkan. Aksesoris itu bagaikan perhiasan yang mempercantik sapi-sapi yang akan tampil.
Perhiasan itu berupauga,batang kayu yang biasa dipasang di leher sapi.Ugajuga menjadi bagian utama untuk menjaga sapi tetap berjalan berpasangan. Biasanya padaugajuga terdapat beberapa perhiasan yang diberi namapenanggu, potataukober, sertapenyelah.
Bagianpenanggubiasanya berupa ukiran berbentuk Singa Ambara Raja yang notabene lambang Kabupaten Buleleng,potataukoberadalah bendera, sementarapenyelahberupa ukiran khas Buleleng atau pada era kekinian juga digunakan ukiran berbentuk lambang Garuda Pancasila. Namun bagianpenanggudanpenyelahbisa juga menggunakan ukiran sosok pewayangan.
Ada pularumbingyang dikenakan pada tubuh sapi.Rumbingfungsinya seperti mahkota. Belum lagibadongyang fungsinya seperti bandana yang dikenakan pada leher, jugakeronconganyang dipasangan pada bagian leher. Ada jugakerincinganyang dipasang pada kaki sapi.
Saat berjalan, sapi-sapi itu akan berjalan berjingkat dengan tubuh yang montok nan molek, kepala yang tengadah seolah menunjukkan lehernya yang jenjang, serta ekornya yang tegak menunjukkan bagian belakang tubuh mereka. Saat berjalan, sebisa mungkin langkahnya selaras agar terlihat indah. Langkah yang selaras juga membuat suarakeroncongandankerincinganmenjadi selaras, yang semakin menambah keindahan.
“Di situ letak keindahannya.Sampi gerumbunganini memang beda denganmakepungatau karapan sapi. Cepat itu tidak penting. Yang utama itu keindahan,” ucap Bau Gede Subandi, Kelian (ketua) Sekaa Sampi Gerumbungan Baga Sabali.
Biasanya sapi-sapi yang akan tampil pada paradesampi gerumbungan, adalah sapi-sapi pilihan. Mereka dianggap bibit sapi unggul yang andal dalam membajak sawah. Sapi itu dipersiapkan sejak usia dua tahun, dan sudah siap tampil pada acara parade pada usia empat tahun.
Tak ada latihan khusus. Mereka cukup dilatih berjalan beriringan saat membajak sawah. Sapi-sapi itu juga tak butuh makanan khusus. Cukup diberi rumput atau jerami. Tak butuh vitamin khusus. Cukup latihan yang intens agar bisa tampil dengan baik.
Jika menjadi juara, sapi-sapi itu harganya cukup mahal. Bisa mencapa Rp 50 juta sepasang. Padahal sapi Bali dewasa, harganya hanya Rp 12 juta-16 juta per ekor. “Itu juga kalau ada yang butuh. Kalaunggakada yang butuh, ujung-ujungnya harga tertinggi di (pasar hewan) Bringkit,” imbuh Subandi seraya tertawa.
Di tanah kelahirannya,sampi gerumbunganditampilkan sekurang-kurangnya empat kali dalam setahun. Dua kali ditampilkan pada awal musim tanam padi dengan diawali prosesimepiuningdi Pura Dalem Desa Pakraman Bebetin. Dua kesempatan lainnya ialah saat hari raya Galungan sebagai simbol kemenangan kebajikan melawan keburukan.
Sampi gerumbunganadalah bukti bahwa Bali pernah menjadi tanah agraris dengan berbagai budayanya yang adi luhung. Kenapa disebut “pernah”? Karena harus diakui kini Bali mengalami semacam kebingungan identitas, apakah masih layak disebut sebagai tanah agraris di tengah merosotnya lahan sawah dan tergerusnya sumber-sumber pangan maraknya laihfungsi lahan.
Apakah Bali tetap layak disebut tanah agraris ketika masyarakatnya tak lagi bermimpi soal panen raya dan pesta gembira di tengah sawah, melainkan bermimpi tentang hidup mewah di tengah hotel megah dan gelimang dolar? Jika pun masyarakat masih melestarikan tradisi sampi gerumbungan, itu lebih sebagai sebuah kenangan bahwa tradisi itu pernah hidup dan tetap dipertahankan hingga kini.
Untuk itu, baik benar jika mendengar ungkapan Gede Subandi: “Bali seharusnya tidak mengemis pada pariwisata, apalagi mau diubah menjadi industri pariwisata. Semestinya hal-hal agraris ini yang dipertahankan.”. (T)