KASAR itu kebebasan yang indah dan menghibur. Tak percaya? Dengarlah ungkapan-ungkapan kasar tak terduga dari karakter-karakter Bondres Dwi Mekar, Buleleng, (terkenal juga dengan nama Bondres Susi) ketika bermain di atas panggung.
Kata-kata kasar itu tak menyakiti, tak melukai, tak menyinggung rasa sentimen personal, apalagi sentimen suku dan ras. Karena justru kata-kata kasar itu sejatinya mengejek diri sendiri: diri sebagai manusia (termasuk sebagai manusia Bali) dengan berbagai perilaku dan karakter.
Benar, kata-kata jika diolah dengan karakter yang kuat membuat pendengar tiba-tiba shock, terguncang jiwa atau terguncang secara budaya. Orang yang terbiasa mendengar kalimat alus penuh unggah-ungguh-inggih, akan terguncang jiwa budayanya begitu mendengar Bondres Dwi Mekar yang bergelimang kata kasar apa adanya.
Kata bungut nanine (mulut kau), polone (kepalanya), dan sejenisnya diucapkan secara cair seperti buang air besar di sungai berair deras. Tapi mereka (para penonton) tertawa sesudah itu. Karena apa? Karena mereka sesungguhnya “merindukan” kemerdekaan – rasa lepas dari batas-batas yang menekannya dalam pergaulan sebagai manusia penuh norma.
Mereka senang ada seseorang yang mengejek seseorang yang lain dengan bahasa yang melampaui batas-batas kekasaran. Padahal mereka sendirilah si pengejek itu, atau merekalah korban ejekan itu. Panggung adalah perwakilan dari rasa merdeka.
Tampaknya dengan kredo semacam itulah Nyoman Durpa membangun Bondres Dwi Mekar sehingga grup kesenian itu berhasil mengguncang dunia seni pertunjukan di Bali, justru pada saat banyaknya jenis seni pertunjukan lain mati suri. Durpa berhasil memboyong “kemerdekaan berbahasa” orang-orang Buleleng ke dalam seni pertunjukan dan menjadi cara ampuh untuk menghidupkan karakter tokoh sekaligus karakter lawakan.
Tokoh Susi, yang kemudian menjadi ikon dalam bondres itu, bahkan menjadi ironi justru karena hanya tokoh itu yang berusaha menjadi “alus”. Susi dengan gaya cengengesan mengatakan “iyang” untuk menyebut “saya”, di tengah lontaran kata-kata “ake” dan awake” yang juga berarti “saya”. Jelas sekali, “iyang” itu menjadi sinisme, karena terkesan sebagai sindiran bagi orang yang berusaha untuk menghaluskan bahasa untuk dirinya dengan menyebut “iyang” sebagai bentuk gaya-gayaan dari kata “tiang”, “tiyang” atau “titiang”.
Bukan hanya bahasa. Durpa mengadopsi kemerdekaan berpakaian dalam seni bondres. Tak semua pemain menggunakan kain kamben, tapih, saput gede, udeng, dan awir sebagaimana kostum dalam seni petopengan. Sejumlah karakter dibebaskan menggunakan kostum modern seperti celana panjang, baju kemeja, topi koboi, atau long dress yang kerap digunakan karakter Susi. Semua “keliaran” itu tentu bisa disebut sebagai guncangan dalam seni pertunjukan.
Guncangan jiwa dalam olah-seni adalah kekuatan untuk menghibur, seperti juga ketakutan, kengerian dan keterkejutan saat menonton drama calonarang lengkap dengan bangke matah-nya, seperti juga kesedihan dan keterharuan saat menonton tragedi Jayaprana-Layonsari dalam seni arja yang mendayu-dayu. Dalam Bondres Dwi Mekar, bahasa dan kostum “apa adanya” adalah guncangan ampuh untuk menghibur orang-orang yang “tak terbebaskan” dari bahasa dan aturan penampilan. Itu bisa disebut katarsis.
Tapi guncangan yang dipertunjukkan Durpa pada Selasa, 15 November 2016, sekitar pukul 06.00 wita, memberi rasa kaget dan kesedihan yang senyata-nyatanya. Ketika banyak orang sedang menunggu jadwal pementasannya di berbagai daerah, ia menghembuskan napas terakhir di Rumah Sakit Kerta Usadha Singaraja. Bukan hanya penggemar Bondres Dwi Mekar yang berduka, namun juga duka bagi para pecinta kemerdekaan dalam berkesenian.
Seniman serba bisa itu memang sejak sepuluh tahun lalu berjuang mengatasi penyakit diabetes. Namun kepergiannya dipicu luka di jempol kaki kanannya yang kemudian diserang tetanus. Ia bukan hanya meninggalkan keluarganya yang berbahagia, tapi juga keluarga besarnya di Sanggar Dwi Mekar.
Nyoman Durpa kini benar-benar merdeka dari dunia yang dibangunnya dengan susah payah sejak ia SMA. Sanggar Dwi Mekar di kawasan Jalan Pulau Komodo Banyuning Singaraja yang dibangun sejak sekitar 26 tahun lalu, kini diserahkan kepada para pewaris di dunia seni pertunjukan. Salah satu warisannya, tentu saja kebebasannya dalam berkesenian.
Merdekalah, Guru, selamat berbahagia di surga …