Cerpen: Komang Astiari
AKU rindu kampung halaman. Aku rindu nenek. Kepergiannya masih menyakitkan bagiku, batinku belum mampu menerima dia sudah pergi, selamanya. Apakah Tuhan menggiring rohnya ke surga ataukah ke neraka?
Ingin sekali aku meminta, jika boleh, “Tuhan, nenek orang yang berhati murni, bersih, bawalah dia ketempat terindahMu”
Namun sayang, aku tidak pernah mengenal Tuhan. Siapa Dia? Apakah dia lelaki ataukah perempuan? Bersahaja atau kah penuh murka? Mereka sering menyebut Dia Maha Kuasa. Saat dia memiliki kehendak, satu jentikan jari akan mampu mengubah situasi apapun. tanpa meminta persetujuan kita.
Bagiku itu omong kosong. Jika memang Tuhan Maha Kuasa, tidakkkah Dia mau mengobati hatiku yang selalu dilanda sepi setiap kali aku rindu nenek? Kenapa Dia membiarkan saja aku terjebak dalam perasaan kehilangan bertahun tahun lamanya. Tidakkah sejengkalpun Dia menghapus lukaku. Sudah cukup dalam, sudah cukup lama.
Hujan turun mengguyur seisi jalanan. Waktu menunjukkan pukul 05.15 sore, jam pulang kantor selalu menimbulkan kemacetan dimana-mana. Dari sisi kanan aku mendengar umpatan anak muda, hujan brengsek katanya. Aku tertawa kecil, menggumam, apa salah hujan?
Manusia bisanya mengeluh, hujan salah panas salah. Kenapa tak kau salahkan saja penciptanya? Aku justru berteman dengan hujan, bukan dengan siapa yang menciptakannya, karena hujan itu nyata, bisa kurasakan melalui kulitku.
Diam-diam aku selalu menyambutnya. Aku bahagia saat dia datang. Aku bekerja di Rumah Sakit jiwa Bangli, sebuah kota kecil yang sejuk sebagai perawat yang setiap hari berhadapan dengan mereka yang berkelainan jiwa. Mereka memanggilku Wayan.
Aku terkenal sebagai si ulet, baik hati, polos. Setidaknya kepolosanku bisa dimanfaatkan oleh mereka. Aku tidak pernah peduli diperlakukan seperti apa, asalkan mereka bahagia, aku senang.
Pernah suatu waktu aku mampu membeli sebuah mobil, bekas. Tapi belum genap satu tahun, aku menjualnya kembali. Bosan. Memiliki mobil sama sekali tidak enak. Aku harus melalui kota dan jalanan dalam sebuah kotak. Kadang aku menjadi sesak nafas.
Orang-orang berkata, “Kamu sudah gila ya? Bekerja sebagai perawat di RSJ apa kamu jadi ikutan gila?”
Aku tertawa dan menjawab, “Tentu saja tidak. Apa salahnya naik motor ke sana ke mari? Uangnya bisa kusisihkan untuk menikah nanti.”
“Bahkan pacar saja tidak punya,” imbuh mereka. Aku hanya terdiam. Malas untuk melanjutkan.
***
Melekat dalam ingatanku kenangan-kenangan bersama nenek. Ketika aku masih berumur 7 tahun, jam 2 dini hari nenek akan membangunkan aku, menggoyangkan badanku bahkan ketika aku belum membuka mata, dia akan menggotongku ke dalam angkutan umum yang sudah penuh sesak. Ketika kubuka mata, tahu-tahu aku sudah ada didalamnya berjejal dengan banyak orang dewasa lengkap dengan barang barang dagangannya.
Nenekku penjual kue basah di pasar kumbasari. Pukul 3 dini hari dia akan menggelar dagangannya, kuenya jarang tersisa, barangkali karena kuenya enak. Pukul 6 kuenya akan habis terjual lalu aku akan membantunya membersihkan meja dagangan.
Saat tiba di gubuk nenek, aku akan terburu-buru menyiapkan tas, bersiap-siap pergi ke sekolah. Tidak mandi, apalagi menggosok gigi. Membasuh wajahpun asal asalan. Lalu aku ingat sekali teman-teman akan meledekku bau.
“Hiiiiyy si Wayan Bau datang. Si Wayan bau datang. Awas kena kuman.”
Temanku sedikit. Satu-satunya temanku barangkali hanya si Ketut. Si Ketut jarang bicara, dia bodoh, setidaknya itu yang sering dikatakan guru-guru di kelas. Walaupun jarang bicara setidaknya dialah satu satunya orang yang menerima aku si bau sebagai temannya.
Predikatku di sekolah cukup bagus, ada dua. Predikat siswa paling bau dan predikat anak haram. Mereka akan menyebutku anak haram saat sekolah mengundang orang tua untuk rapat wali kelas, aku tidak datang dengan siapa siapa.
“Nenek bodoh, Yan, mana mungkin ikut rapat,” kata nenek tiap kali aku menyodorkan surat undangan dari sekolah.
Pernah suatu kali aku menguping dari balik ruang guru mereka sedang menggosipkan aku si anak haram. Lahir dari ayah yang tidak jelas. Pergi ke sekolah adalah ibarat pergi ke neraka, siksaan demi siksaan yang datang bertubi-tubi menghantamku tepat di titik terlemahku, membuatku seringkali tidak berdaya.
Aku lebih sering berteman dengan sepi, mojok di sudut sekolah dibalik semak-semak dan menangis sesenggukan. Tidak ada yang tahu. Bahkan nenek sekalipun. Ibuku seorang penari joged bungbung yang diundang dari satu daerah ke daerah lain. Dia sangat digandrungi terutama oleh laki laki hidung belang lantaran goyangannya yang mampu menghibur dan memenuhi nafsu mereka.
Nenek pernah berkata bahwa tarian joged adalah tari pergaulan yang mampu membangkitkan kebersamaan. Namun beberapa orang mulai menyalahgunakan fungsi tarian itu sebagai tarian tidak beretiket. Aku rasa ibu adalah salah satunya.
Seusai menari dia akan dibuntuti beberapa lelaki yang memintanya untuk melayaninya, bersedia membayarnya dengan harga berapapun. Aku tidak tahu apakah ibu menerima tawaran lelaki itu atau tidak, yang kuingat ibu biasaya terdiam, lalu menggenggam tanganku dan berlalu dari lelaki lelaki yang menjijikkan itu.
Lalu aku? Siapa ayahku akupun tidak pernah mengetahuinya. Nenek berkata ayah meninggal saat aku masih bayi. Namun kata guru-guruku ayah bukannya meninggal, tapi tidak jelas yang mana, tidak ada satupun lelaki yang sudi mengakui aku sebagai anak.
Hatiku semakin bertambah sakit, tiap malam saat nenek tertidur pulas aku menggambar sesosok pria yang kuanggap sebagai Bapak. Lalu menangis sepuasnya.
Saat usiaku 10 tahun ibuku pergi entah kemana lalu aku melanjutkan hidup bersama nenek di tengah gubuk yang hampir roboh dan bekerja sangat keras bersama-sama. Saat musim hujan tiba, gubuk nenek tidak kuat menahann air. Air menetes di mana mana. Seisi rumah becek dan aku akan melihat nenek menangis sambil meminta maaf padaku.
“Kenapa meminta maaf nek? Bukan nenek yang menciptakan hujan.”
Nenek akan tersenyum mendengar kata kataku. Berbeda dengannya aku justru bersuka ria ketika hujan datang. Hujan itu meneduhkan. Membuat seisi rumah menjadi sejuk. Suasana setelah hujan yang semakin membuatku jatuh cinta. Suara kodok, suara binatang malam lalu bau dedaunan membuatku seolah berada di lingkaran kebahagiaan. Aku mencintai hujan. Aku mencintai nenek.
Nenek tidak pernah memakai baju yang bagus dan bersih dia selalu terlihat lusuh dan juga bau. Tapi aku tidak pernah mempedulikannya. Dia adalah wanita tercantik yang pernah aku kenal. Aku melihat ke dalam dalam hati nenek. Saat makan dia akan mengutamakan aku. Bahkan laba hasil berjualan kue basahnya sering dipakainya untuk membelikanku mainan meskipun aku tidak membutuhkannya.
Bagiku permainan paling indah adalah bermain dibawah guyuran hujan. Aku pernah berimajinasi bisa berteman dengan kodok, dengan kunang kunang. Pernah sesekali aku membaca buku pangeran kodok di perpustakaan sekolah. Sepulang dari sekolah aku akan berburu kodok menangkapnya lalu menciumnya, kodok itu, tentu saja menolak, padahal aku berharap dia berubah menjadi manusia, setidaknya bisa kujadikan teman saat aku menangis atau saat bermain dengan hujan.
Aku sudah terlalu bosan bermain dengan kesepian. Aku mencintai nenek. Dia membesarkanku dengan ketulusan. Aku lulus SMA dengan predikat terbaik. Saat itu aku merasa bahagia setidaknnya predikat bau dan anak haram yang menempel pada diriku bertahun tahun lamanya berhasil kubuktikan dengan predikat siswa terbaik, nilai tertinggi.
Sepulang sekolah aku kegirangan masuk ke dalam gubuk nenek. Namun sayang justru di saat-saat berbahagiaku justru hari di mana nenek tidak bisa melihat. Nenek buta. Bagaimana nenek bisa melihat nilai dan piagamku jika nenek buta? Aku menangis sejadi jadinya. Memeluknya yang wajahnya mulai nampak sangat lelah di usianya yang ke-70 tahun. Belakangan aku menemukan penyebab kebutaan nenek. Nenek mengidap diabetes.
“Tugasmu belajar Yan, tapi nenek selalu membebanimu dengan pekerjaan-pekerjaan berat. Kamu tidak pantas memikul beban yang lebih berat lagi,” ucapnya tabah.
Sesekali nenek akan terdiam di kamar merenung, asyik dengan pikirannya. Namun kadang sepulang bekerja aku menemukannya menangis dan berteriak teriak. Tiga bulan setelah kejadian itu, nenek mati gantung diri.
Sesak dalam dadaku meledak ledak. Tidak ada lagi nenek, aku tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini. Nampaknya nenek tidak tahan dengan kondisinya. Tiap malam nenek menangis menyesali apa yang terjadi padanya, menyesali telah membuatku repot merawatnya yang penyakitan.
Sementara setamat sekolah, aku hanya bekerja sebagai buruh angkut di pasar, penghasilanku pas pasan, kadang kami harus berhutang untuk membelikan nenek obat. Hari hari setelah nenek meninggal aku menenggelamkan diriku dalam banyak kegiatan, pekerjaan. Aku bekerja 16 jam sehari, berusaha lari dari rasa sedih dan sesal.
Saat malam tiba aku masih sering menangisi kepergiannya. Nenek sangat berharga bagiku.aku bahkan tidak mengenal siapa ayah dan ibuku, tapi nenek, dia adalah hidupku. Tuhan telah merampasnya, entah di bawa kemana nenek setelah mati. Jika Tuhan Maha Kuasa, kenapa Dia tidak menghapus rasa sedih kehilangan yang aku rasakan bertahun lamanya.
Aku jengah, hidupku harus berubah. Sedikit demi sedikit, aku berhasil mengumpulkan uang untuk kuliah keperawatan. Aku ingin membantu mereka yang sakit, setidaknya dengan begitu, aku bisa mengenang masa-masa ketika merawat nenek sakit. Setelah lulus banyak perusahaan kudatangi berharap menerima ku sebagai pegawainya hingga pada suatu hari sebuah rumah sakit jiwa menerima aku menjadi perawat junior.
***
Mereka berlari menghindari hujan. Aku justru menerobos hujan dengan suka cita. Aku mencintai hujan. Hujan mengingatkanku pada nenek, pada gubuk nya yang penuh kasih. Hujan membuatku merasa dekat dengan nenek, membuatku mampu merasakan kembali dekapannya.
Sesampainya di kantor, mereka memandangiku dan berkomentar, “Hai, Wayan, kenapa kamu basah begitu?”
“Aku sedikit bermain-main,” kataku sambil tertawa kecil menghindari percakapan yang lebih panjang.
Aku tidak langsung masuk ke dalam ruang perawat. Ada satu kamar pasien yang selalu aku datangi setiap kali tiba di kantor. Aku mencintai pasien itu meskipun rasa cintaku tidak sebesar rasa cintaku pada nenek.
Belakangan aku mengetahui bahwa ternyata pasien yang masih terlihat cantik di usianya yang setengah abad itu adalah ibuku. Kami akan berbincang lama sekali sebelum kembali bekerja. Bercerita tentang nenek, tentang hari hariku, tentang gadisku.
Seseorang mengetuk pintu dan masuk ke dalam ruangan kami tanpa meminta ijin memecah obrolanku dengan ibuku. “Wayan, jangan kabur lagi, ya. Lain kali kami tidak akan lagi menghalangi kamu bermain di bawah hujan.”
Aku baru menyadari ternyata badanku yang tanpa busana dan celanaku yang compang-camping ini benar-benar basah sekali. (T)