PADA 18 Agustus 2016, saya berkesempatan mengikuti seminar yang diadakan oleh Mutiara Harapan Islamic School, Tangerang. Seminar ini terasa istimewa bagi saya karena bertepatan dengan hari pertama pasca peringatan Hari Kemerdekaan tahun ini.
Saya kira menghadiri sebuah seminar dan mendapatkan perspektif baru adalah cara yang seru untuk mengisi kemerdekaan. Semakin seru lagi karena pembicaranya adalah Allan Schneitz, Koordinator National Dream School Project Finlandia.
Saya yakin teman-teman sudah tidak asing lagi dengan gaung sukses yang digemakan oleh sistem pendidikan di Finlandia. Dengan hadirnya koordinator project yang sukses ini, ada banyak hal yang saya pelajari dan ingin saya bagi dalam tulisan ini.
Tema seminar kala itu adalah “Finish Education Learners Preparation for 21st Century”. Bukan topik yang berat sebenarnya. Dalam World Economic Forum sudah sering ditampilkan Top 10 Skills yang menjadi kebutuhan dunia kerja terhadap output suatu sistem pendidikan.
Untuk memperjelasnya, dalam kesempatan ini saya tampilkan data 10 Keterampilan Teratas pada tahun 2015 dan 2020 untuk dibandingkan.
Dengan kedua daftar tersebut, dapat dicermati bahwa kualifikasi keterampilan yang dibutuhkan dapat berubah hanya dalam jangka waktu 5 tahun. Dunia berkembang secara terus menerus dan mau tidak mau setiap orang yang ingin bertahan dalam kultur globalisasi ini harus mampu beradaptasi terhadap perubahan yang ada. Ya, setiap orang. Dalam hal ini tidak hanya siswa tetapi juga guru dan tenaga kependidikan lainnya.
Namun, alih-alih menyiapkan siswa untuk menghadapi kompetisi pada abad 21, proses menyiapkan guru untuk tuntutan perubahan saja tidak kunjung selesai. Saya sempat bertanya kepada Mr.Allan mengenai program pengembangan profesi guru yang dimiliki Finlandia.
Dengan kondisi yang selalu berubah dan dinamis, saya penasaran bagaimana Finlandia menciptakan program pengembangan profesi untuk guru guna memenuhi kebutuhan abad 21.
Tidak sedikit teman-teman saya yang berprofesi sebagai guru membahas betapa mereka tidak punya cukup waktu untuk “menikmati hidup” dengan kewajiban serta tugas administratif yang dibebankan. Di luar dugaan, Allan menjelaskan bahwa prioritas Finlandia bukanlah membuat pelatihan atau seminar yang dahsyat untuk menciptakan guru-guru yang hebat.
“Building motivation for teachers to make changes starting from their environment is more important than equipping them with training. With inner motivation, they can learn and develop themselves”.
Seharusnya saya tidak terkejut dengan jawaban tersebut.
Memang benar. Dengan akses internet, guru bisa belajar secara mandiri mengembangkan diri melalui video-video inovasi metode pengajaran, jurnal, ataupun artikel pendidikan yang inspiratif. Terlebih lagi dengan perkembangan media sosial, komunitas profesi serta forum diskusi jumlahnya semakin banyak.
Bagi saya tidak berlebihan jika Allan menggarisbawahi bahwa core problem dari peningkatan kualitas guru adalah peningkatan motivasinya. Allan juga menambahkan bahwa kurikulum yang mereka miliki adalah kurikulum yang ditetapkan untuk periode 10 tahun.
Sangat frustrasi rasanya jika membandingkan diri dengan kurikulum di tanah air yang kerap berubah-ubah mengikuti pergantian aparaturnya.
Dalam penetapan kurikulum dan kerangka kerja, berbagai elemen profesi juga dilibatkan seperti politisi, ekonom, tentara, dan sebagainya. Hal itu membantu memperkecil gap antara apa yang diberikan di sekolah dengan output yang akan diserap dunia kerja di masyarakat.
Jangankan berkolaborasi antar sektor, di Indonesia, unsur politik sangat mendominasi arah kebijakan sektor-sektor lainnya.
Kondisi gawat darurat pendidikan saat ini jauh lebih penting dari tumpukan dokumen administratif dan revisi kebijakan tanpa henti. Kita butuh kerja nyata dalam peningkatan SDM dengan memberi ruang tumbuhnya motivasi dan kolaborasi. Sudah saatnya mencetak guru yang bukan hanya sekedar akademisi tetapi menginspirasi.
Transfer pengetahuan dan ikatan emosional antara guru dan siswa-siswanya harus dibangun beriringan. Penelitian mengenai stimulus kasih sayang terhadap fungsi Hippocampus yang terdapat pada otak manusia telah membuktikan bahwa anak yang diasuh dengan kasih sayang tumbuh jauh optimal dibandingkan anak-anak yang diasuh dengan kekerasan atau pembiaran.
Jika mempelajari kesuksesan Finlandia, saya teringat pada paradigma pendidikan yang diwariskan oleh Ki Hajar Dewantara. Sekolah seharusnya menjadi taman belajar yang menyenangkan bagi siswa (dan juga guru tentunya).
Finlandia tentu saja sebuah negara yang tak mengenal dengan baik siapa Ki Hajar Dewantara sebagaimana kita di Indonesia. Namun dengan dukungan sektor politik, ekonomi, dan ketahanan yang sinergis, Finlandia bisa disebut salah satu negara yang sukses mengembangkan pendidikan seperti ajaran tokoh pendidikan kita itu.
Terus, kita, di Indonesia, ajaran siapa sesungguhnya yang diterapkan? (T)