LAGU anak-anak itu kadang unik, terutama liriknya. Saat Taman Kanak-Kanak dulu kita tidak begitu hirau dan memang tak banyak mengerti arti dan maksud lagunya itu apa. Cuma nyanyi dan setelah itu dapat bubur kacang hijau.
Tapi akhir-akhir ini isu tentang lagu anak kembali menjadi viral di jejaring sosial, apalagi dengan adanya fenomena lagu “Lelaki Kardus” yang mengundang kegaduhan banyak pihak. Mulai dari guru, orang tua, psikolog hingga banyak ABG (anak baru gede) yang tiba-tiba menjelma jadi pakar anak, bahkan kadang pakar apa saja di media sosial. Memang lagu “Lelaki Kardus” mengundang perhatian banyak pihak karena lirik yang dinyanyikan dan juga lagunya tidak sesuai jika dinyanyikan oleh anak berumur 12 tahun. Kehadiran #SaveLaguAnak juga kian menambah perhatian banyak orang terhadap lagu anak.
Berbarengan dengan itu banyak orang kembali mengingat-ingat lagu anak yang dikenal oleh hampir semua orang yang tentu saja pernah menjadi kanak-kanak. Saat dewasa, banyak yang menyadari bahwa lirik lagu anak-anak yang bahkan sudah sangat terkenal, berkaitan dengan kebiasaan-kebiasaan kita sebagai orang Indonesia.
Lagu “Naik Kereta Api”, misalnya. Dalam lirik lagu “Naik Kereta Api” ini terdapat penggalan lirik naik kereta api tut tut tut, siapa hendak turut, ke Bandung, Surabaya. Bolehlah naik dengan percuma.
Dari penggalan “bolehlah naik dengan percuma”, kita bisa langsung berpikir dan membayangkan hal-hal yang berbau diskon dan gratisan yang selalu diserbu orang. Dari lirik lagu itu bisalah disimpulkan bahwa dari kecil kita memang sudah disadarkan tentang enaknya budaya gratisan atau sekadar diskon. Ingin meminta dan mendapatkan sesuatu dengan banyak diskon bahkan cuma-cuma tanpa harus bersusah payah.
Dengan begitulah banyak orang yang mengatakan “Kalau bisa gratis kenapa harus bayar?”.
Kalau diambil dari perspektif yang berbeda, misalnya dari sudut pandang pemilik kereta terdapat lirik yang juga bisa berkaitan dengan ciri-ciri kita sebagai manusia. Liriknya: Ayo kawanku lekas naik, keretaku tak berhenti lama.
Lirik itu seperti menyindir orang jaman sekarang. Menolong setengah-setengah, tidak iklas. Di satu sisi dia menolong dengan menawarkan untuk segera naik, tapi di sisi lain dia ingin menolong dengan cara buru-buru. Artinya bantuan itu diberikan kepada “siapa cepat”, buka kepada “siapa yang benar-benar membutuhkan”
Dalam lagu anak-anak berbahasa Bali juga terdapat sejumlah lirik yang menyadarkan tentang kemanusiaan kita. Dalam lagu “Putri Cening Ayu” misalnya ada penggalan lirik: Meme luas malu, ke peken meblanja (Ibu pergi dulu, ke pasar berbelanja).
Kenapa meblanja (belanja)? Kenapa tidak ke peken medagang (berjualan)? He he he. Ternyata usut punya usut budaya konsumtif kita memang sudah ada dari dulu, dari jaman si meme hingga anak mengikuti budaya meme-nya.
Tidak mengherankan fenomena menjamurnya online shop sangat pesat. Kita dituntut untuk beli belanja beli dan beli. Tidak untuk berusaha menjadi pencipta pasar atau penjual. He he he… Ini hanya yang saya bayangkan. Baru seperti dan mungkin saja. Ya mungkin saja itu benar, atau sebaliknya. Tapi terlepas dari itu semua, ada cerita lucu dalam setiap lagu. Banyak belajar dari anak-anak, begitupun dari lirik lagu. (T)