BANGKUNG mepalu adaang di Buleleng, jeg pasti rame! Asal gratisss! Iya, babi betina saling sruduk digelar di Buleleng, pasti ramai penontonnya. Apalagi Slank pentas gratisan. Kutik gumatat gumitit milu tuwun mabalih.
Nah, apalagi ketika Mami Sisca Sena bersama pasukan SMA 19 ala Warga’S (Waria dan Gay Singaraja) mengenakan seragam putih-abu-abu ikut gerak jalan di Hari Kemerdekaan, tentu saja, penontonnya berdecak wooww… Lalu terjadi pro-kontra, terjadi polemik. Ada yang tak suka dengan alasan pendidikan, moral, dan lain-lain. Ah, sing ngon, de ngae ngon… Jangan heran, jangan juga bikin heran.
Inilah Buleleng, Bung. Satu-satunya kabupaten yang memakai binatang buas sebagai lambang daerahnya. Itu pun binatang yang mungkin sulit mencarinya: Singa Bersayap, Singa si Raja Hutan yang sudah buas berimbuh bisa terbang. Bisa dibayangkan tingkat kebuasan dan kekuasaanya.
Tentu, bukan keputusan yang gegabah menggunakan “Singa Ambara Raja” sebagai maskot yang berdiri kokoh di tengah pusat pemerintahan. Walaupun konon, yang singa dicengkram itu dulu bukanlah jagung gembal seperti sekarang ini, melainkan potongan kepala menjangan (rusa) sebagai simbol perlawanan terhadap Majapahit dengan julukan “Singa Mandawa”.
Biarlah cerita yang konon ini digali oleh para pakar sejarah, karena tahun lahir Kota Singaraja pun hingga kini belum bisa dibuktikan kebenarannya.
Jadi, jangan heran. Sejak dulu kala Buleleng sudah biasa dengan hal-hal kontroversial. Perdebatan soal kasta yang kini dianggap sebagai isu seksi, dulu sudah dilakukan di Buleleng. Bukan perdebatan warung kopi, tapi perdebatan secara intelektual di majalah yang sudah terbit di Buleleng sekitar tahun 1920-an.
Dulu, Raja Panji Sakti mendapat hadiah gajah dari Raja Solo lengkap dengan pasukan perang termasuk pawang gajahnya. Pasukan perang itu diberikan tempat oleh sang raja di hutan (gayam), pintu masuk Denbukit yang kini disebut Desa Pegayaman. Para pawang gajah yang berasal dari Jawa diberikan tempat tinggal di Banjar Jawa.
Sedangkan tempat untuk memandikan gajah disebut wilayah Peguyangan (Banjar Peguyangan Kelurahan Astina) dan rumput untuk pakan gajah berada di wilayah Banjar Tegal (Tegalan/Kebun) dan sungai yang melintas di sana di sebut Banyuning.
De ngon, jangan heran. Nama wilayah itu kini lebih banyak dalam kondisi kebalikannya. Air yang mengalir di Banyuning sekarang tak lagi ning (jernih). Kelurahan Banjar Jawa justru dihuni oleh orang Bali, dan justru Kelurahan Banjar Bali yang didominasi orang luar Bali. Kelurahan Kampung Kajanan justru berada di ujung kelod. Wilayah Kampung Tinggi justru kerap kebanjiran. Dan Banjar Tegal tak lagi punya tegalan lantaran dikapling untuk perumahan.
Maka, jangan heran, de ngon, saat perayaan Kemerdekaan muncul pasukan Warga’S dengan seragam putih-abu-abu ala anak SMA ikut gerak jalan. Orang Buleleng sangat terbuka dan blakblakan. Welcome dengan pendatang dan perubahan, termasuk menerima keberadaan Warga’S.
Ketika Warga’S beraksi, banyak warga menonton, mengelu-elukan, justru karena selama ini mereka bergaul dengan intens dengan masyarakat, dan masyarakat tak pernah mengucilkan mereka. Bukan hanya bergaul biasa, Warga’S juga kerap ikut kegiatan sosial bersama masyarakat. Jadi, tak ada yang takut, tak ada yang perlu dicemaskan.
Jangan heran, de ngon, jika calon independen muncul dalan peta perpolitikan di Buleleng. Sejarah kelam perpolitikan Buleleng sudah mengajarkan secara tidak langsung bagaimana berpolitik yang baik dan sehat.
Jangan heran, de ngon. Namun, jangan sekali-sekali juga bikin heran, de ngae ngon, di Buleleng. Misalnya dengan tiba-tiba memamerkan kepintaran bicara soal moral anak muda dan filsafat serem-serem, atau soal pendidikan yang baik dan benar. Orang Buleleng sing taen ngon – tak akan pernah heran. (T)