AKU adalah ruh sebuah negeri. Negeri nun jauh di sana. Tubuhku bersandar pada pegunungan yang berbaris rapi. Di hadapan mataku terhampar laut utara yang begitu tenang. Mungkin karena letak tubuhku ini, benih-benih kopi begitu mudah tumbuh di atas tubuhku.
Ribuan tubuh Arabika ditancapkan dengan doa-doa di atas tubuhku. Doa-doa agar biji-biji kopi terbaik lahir dari tubuh-tubuh Arabika itu. Lalu, sesuai doa-doa para penghuniku, aku memelihara tubuh-tubuh Arabika itu sampai biji-biji kopi terbaik menggeliat ke permukaan udara. Biji-biji kopi itulah yang mampu menyalakan tungku api di dapur-dapur para penghuniku. Bahkan, biji-biji kopi itu mampu menyalakan tungku api di dalam tubuh mereka sendiri.
Para penghuniku adalah petani sekaligus saudagar kopi yang hebat. Mereka merawat tubuh-tubuh Arabika yang mereka tancapkan di atas tubuhku dengan sangat telaten. Ketika masa panen tiba, para penghuniku merayakan untaian buah kopi yang merekah merah.
Mereka memetik buah-buah kopi itu lalu mengulitinya sampai biji-biji kopi terlihat jelas. Para penghuniku menjual biji-biji kopi yang telah mereka olah menjadi bubuk kopi yang sangat nikmat. Selain menjual bubuk kopi yang nikmat itu, para penghuniku terkadang juga menjual beberapa potong tubuhku.
***
“AH, bulan Mei sudah tiba. Itu artinya panen kopi juga sudah tiba. Man, Apakah Kau sudah menyiapkan keranjang-keranjang untuk memetik kopi nanti? Dan, mesin pengupas kulit-kopi kita, apakah sudah kau bersihkan dari debu-debu yang menempel di sana? Lalu itu, tikar-tikar plastik yang ada di dapur, apakah masih bisa kita gunakan sebagai alas untuk menjemur kopi?” Pak Mekel bertanya kepada Nyoman Sadri, istrinya, sembari menandai penanggalan-penanggalan di kalender yang ia baca.
“Iya, Bli. Saya tahu. Tadi siang, sepulang dari kebun, saya sudah menyiapkan itu semua. Saya juga sudah membeli lagi beberapa lembar tikar karena tikar-tikar kita yang lama sudah mulai berlubang. Besok pagi kita sudah mulai bisa memetik buah-buah kopi itu.”
“Panen kopi di negeri kita tahun ini pasti melimpah lagi, Man. Para Dewa dan Ibu Bumi pasti sudah menerima persembahan kita dan juga mendengarkan doa kita.”
Tangan kanan Pak Mekel dan istrinya, masing-masing sudah digelayuti oleh sebuah keranjang berlapis karung beras. Sementara itu, pada leher mereka, melingkar selembar handuk kecil. Suami-istri ini, dan juga ratusan suami-istri lain di Negeri Kopi, siap memetik buah-buah kopi dari kebun mereka masing-masing.
Waktu pemetikan kopi baru berjalan kurang dari tiga minggu. Tetapi, ratusan kilogram biji kopi sudah menghiasi halaman rumah para penghuni Negeri Kopi. Panen kopi tahun ini sungguh luar biasa. Para penghuni Negeri Kopi tengah bergelimang dalam biji-biji kopi.
“Panen ini harus dirayakan. Ini adalah hasil dari jerih payah kita. Ayo kita adakan pesta!”
“Iya. Harus ada pesta besar-besaran!”
“Benar! Bila perlu pesta tujuh hari tujuh malam!”
“Iya. Benar. Bagaimana menurutmu, Pak Mekel?”
“Saya setuju saja. Panen kopi di negeri kita memang sangat melimpah. Tetapi, masa pemetikan kopi belum usai. Kita masih punya kurang lebih tiga bulan lagi untuk memetik buah-buah kopi itu. Kita juga tentu belum bisa menjual biji-biji kopi yang belum kering ini untuk mengadakan pesta. Saya kira, lebih baik kita mengadakan pesta ketika kita sudah mendapatkan hasil penjualan kopi di negeri kita ini,” Pak Mekel menanggapi usul para penghuni Negeri Kopi.
“Ah, tidak apa-apa. Para penghuni negeri ini tentu masih punya simpanan dari hasil panen tahun lalu. Kita gunakan itu dulu. Toh nanti simpanan itu akan tergantikan dengan simpanan yang lebih banyak. Bagaimana?”
“Iya. Saya setuju.”
“Saya juga. Kita akan mengadakan pesta!”
Para penghuni Negeri Kopi saling bersahutan mengamini usul salah satu sesama mereka. Pak Mekel pun tidak bisa membendung keinginan penghuni Negeri Kopi untuk mengadakan pesta.
Selama tujuh hari-tujuh malam, Negeri Kopi disesaki oleh pesta besar-besaran. Tiga ekor babi dan belasan ekor ayam disembelih untuk memenuhi kebutuhan pesta. Para ibu memasak bahan-bahan makanan itu. Para lelaki menyiapkan balai-balai dan juga menghias alun-alun Negeri Kopi.
Udara dingin pegunungan tidak menghalangi mereka. Semua penghuni Negeri Kopi tumpah ruah di alun-alun negeri. Mereka menyantap makanan yang telah mereka buat. Kemudian, mereka bercengkrama, bernyanyi, meminum tuak, menonton pertunjukan, dan bermain ceki.
“Ayo kita nikmati pesta ini! Panen kopi kita sedang melimpah. Kita bisa mendapatkan penghasilan yang jauh lebih besar daripada yang kita habiskan untuk pesta ini.”
“Jangan takut mengeluarkan uang kita di sini!”
“Ah, tuak ini begitu nikmat. Di mana kau mendapatkannya?”
“Jangan melamun seperti itu, Pak Mekel! Apa yang sedang kau pikirkan? Jangan hanya memikirkan kebun kopimu! Nikmati saja pesta ini!”
Suara para penghuni Negeri Kopi terdengar bergemuruh memenuhi udara. Mereka terlalu sibuk berpesta. Mereka seperti segerombolan lebah yang baru saja menghisap nektar bunga. Lebah-lebah itu beramai-ramai kembali ke sarang dan melupakan bunga yang telah memberi mereka nektar. Ya, para penghuni Negeri Kopi melupakan kebun mereka. Mereka melupakan pohon-pohon kopi yang memberi mereka kehidupan.
Dua hari setelah pesta besar-besaran itu usai, para penghuni Negeri Kopi mulai menggeliat lagi. Para ibu membersihkan perabotan yang digunakan ketika pesta berlangsung. Para lelaki, dengan langkah gontai, kembali ke kebun menengok pohon-pohon kopi mereka.
Suasana pesta masih mempengaruhi raga dan pikiran para penghuni Negeri Kopi. Langkah mereka begitu berat. Mereka merasa sangat terpaksa pergi ke kebun. Meskipun semua berjalan seperti biasanya, suasana Negeri Kopi menjadi begitu senyap. Yang terdengar hanyalah suara kumbang, sampai salah satu penghuni berteriak dari arah kebunnya.
“Tolong! Tolong! Pohon-pohon kopi di kebunku dipenuhi ribuan semut merah,” Ia berkata terbata-bata sambil berusaha mengusir semut yang menggerayangi kakinya, “gerombolan semut itu mengencingi daun-daun kopi dan juga buah-buah kopi yang masih muda”
Pak Mekel mendengar hal itu. Ia, bersama beberapa penghuni Negeri Kopi yang lain, mendatangi kebun penghuni itu.
“Duh, semut telah membuat daun-daun dan buah kopi ini menghitam. Ini masalah penting. Tidak lama lagi, buah-buah kopi ini akan berjatuhan ke tanah,” Pak Mekel berkata dengan raut wajah yang cemas sambil memeriksa pohon-pohon kopi yang ada kebun itu.
“Pak Mekel, Aku menemukan puluhan penggerek batang di pohon ini!”
“Di pohon ini ada lebih banyak semut merah, Pak Mekel!”
“Aku juga menemukan banyak penggerek batang di sini!”
“Semut merah juga banyak sekali di sini!”
“Di sini juga!”
Para penghuni Negeri Kopi yang berada di kebun itu saling bersahutan menyampaikan temuan mereka. Hampir tidak ada pohon kopi yang lolos dari kedua hama itu. Ratusan pohon kopi di kebun seluas hampir satu hektar itu, kini terancam mati.
“Ini tidak bisa dibiarkan. Sebelum hama ini meluas ke kebun-kebun yang lain, kita harus segera membasminya!” Pak Mekel memberikan arahan kepada para penghuni Negeri Kopi.
Para penghuni Negeri Kopi berbondong-bondong membasmi hama-hama itu. Mereka membuat sundih, kumpulan daun kelapa tua yang salah satu ujungnya dibakar. Ada juga penghuni yang membawa obor dan pestisida.
Semut merah dan penggerek batang berhasil dikendalikan. Bangkai-bangkai kedua hama itu berjatuhan memenuhi kebun. Para penghuni Negeri Kopi yang kelelahan setelah membasmi hama di kebun itu, berkumpul di gubuk yang terdapat di tengah-tengah kebun.
“Masih ada harapan agar pohon-pohon kopi ini tetap hidup. Tapi kau tidak bisa terlalu berharap pada hasil pemetikan kopi selanjutnya. Buah-buah kopi-mu sudah tidak bisa diharapkan lagi. Kau hanya bisa menunggu dan berharap pohon-pohon kopi ini segera sembuh dan berbuah lagi,” Pak Mekel mencoba menenangkan pemilik kebun itu.
Suasana kebun sedikit riuh. Para penghuni Negeri Kopi bercakap-cakap sambil menduga-duga penyebab kemunculan hama yang muncul secara masal ini. Keriuhan muncul selama beberapa menit, sampai pemilik kebun mengatakan sesuatu.
“Aku akan menjual kebun ini. Sudah tidak ada harapan lagi. Kalau toh pohon-pohon kopi ini tetap hidup, ia tidak akan bisa menghasilkan biji-biji kopi terbaik lagi. Lebih baik aku jual saja kebun ini lalu aku akan merantau ke kota dan membangun usaha di sana. Seperti yang sudah dilakukan oleh beberapa penghuni negeri ini. Tentu aku akan jauh lebih sukses di sana.”
Suasana kebun menjadi semakin riuh. Ada yang meng-amini, ada yang menyayangkan keputusan pemilik kebun itu. Ada pula yang masih sibuk membicarakan dan mencari-cari musabab kedatangan hama-hama itu.
“Ah, sekarang aku tahu penyebab kedatangan hama-hama itu,” salah seorang penghuni tiba-tiba berkata, “ini pasti karena kita sudah meninggalkan kebun terlalu lama. Karena pesta tujuh hari berturut-turut!”
“Iya, benar. Itu pasti penyebabnya.”
“Aku juga yakin. Itu pasti penyebabnya.”
“Iya!”
“Benar!”
“Itulah penyebabnya!” Penghuni yang lain menyatakan rasa setuju mereka.
“Jadi kau mengatakan hama-hama itu datang karena ulahku?” Penghuni yang mengusulkan pesta beberapa hari yang lalu begitu meradang mendengar kata-kata itu.
“Aku tidak mengatakan kau yang menyebabkan ini semua. Aku hanya mengatakan, hama-hama ini datang karena kita meninggalkan kebun terlalu lama untuk berpesta!”
“Ah, sama saja! Itu artinya kau menyalahkan aku karena aku yang mengusulkan pesta itu!”
“Kenapa Kau yang tersinggung? Sudah aku katakan, aku tidak menyalahkanmu!”
“Aahh! Aku tidak percaya! Aku tidak terima dengan kata-katamu! Ccccuiiuiiiihhhhh….!!”
“Hei, Kenapa kau meludahiku?”
“Aku tidak meludahimu. Kau yang diam di tempat yang tidak seharusnya!”
“Ah, kau memang brengsek!”
Pak Mekel mencoba melerai pertengkaran itu. Tapi sia-sia saja. Suasana kebun menjadi semakin tidak terkendali. Para penghuni Negeri Kopi terlibat adu mulut. Perkelahian fisik pun tidak dapat dihindari. Mereka saling pukul. Tidak hanya itu. Obor dan sundih yang tadinya digunakan untuk membasmi hama, sekarang digunakan sebagai senjata untuk melawan sesama mereka.
Para penghuni Negeri Kopi menjadi begitu beringas. Mereka juga membakar dan membabat kebun-kebun kopi lainnya. Mereka tidak peduli. Entah setan apa yang sudah merasuki diri mereka!
Kebun-kebun kopi itu menjadi porak-poranda. Daun, bunga, dan ranting-ranjing kopi berserakan. Pohon-pohon kopi yang masih muda, bahkan patah sampai ke pangkal batangnya. Para penghuni Negeri Kopi berjatuhan menahan sakit. Tubuh mereka terluka. Wajah mereka lebam. Kaki dan tangan mereka patah. Mereka sama sekali tidak sadar dengan apa yang telah mereka lakukan.
Tidak lama kemudian, bunyi sirine polisi dan ambulans saling bersahutan memenuhi Negeri Kopi. Sisa-sisa aroma perkelahian, bercampur dengan bau pohon kopi yang terbakar. Para perempuan dan anak-anak akhirnya berani ke luar rumah. Mereka menolong suami, ayah, atau saudara laki-laki mereka yang terluka.
Para penghuni Negeri Kopi, kini hanya bisa menangisi tubuh-tubuh keluarga mereka yang terluka. Mereka hanya bisa menangisi kebun kopi mereka. Mereka menangisi pohon-pohon kopi yang telah tiada. Menangisi biji-biji kopi yang mati muda. Menangisi penyesalan mereka.
Di salah satu sudut kebun, seorang lelaki berjongkok memeluk kakinya. Tubuhnya begitu gemetar. Wajahnya dibenamkan ke dalam lipatan kakinya, tetapi ia sama sekali tidak menangis. Sayup-sayup terdengar sebuah kata bergetar dari mulutnya.
“Ampura… Ampura… Ampura…”
***
PENYESALAN, kadangkala menjadi pertanda bahwa semua sudah terlambat. Mereka begitu cepat lupa. Para penghuniku begitu cepat lupa bahwa aku adalah diri mereka dalam wujud yang lain. Mereka hanya ingat menancapkan tubuh-tubuh Arabika di atas tubuhku tanpa tahu seberapa besar luka yang telah mereka tancapkan. Bahkan, mereka tidak tahu, luka-lukaku adalah luka-luka mereka sendiri.
Begitulah. Akhirnya aku memutuskan meninggalkan tubuhku, Negeri Kopi. Aku meninggalkan tubuh-tubuh Arabika yang telah tiada. Aku meninggalkan tubuhku yang juga sudah tidak bernyawa. (T)
dari Utara ke Selatan, September-Desember 2013