Ini pengalaman ketika saya mengajar di sebuah sekolah dasar di Alor, NTT, sebagai guru dalam program SM3T (Sarjana Mendidik di daerah Terluar, Terdepan dan Tertinggal).
SEPERTI biasa jika listrik menyala, saya siap dengan laptop dan beberapa alat-alat yag berhubungan dengan listrik seperti HP yang tiap hari mesti di-charge dan tentunya kamera saya yang tiap hari saya gunakan untuk merekam beragam kejadian di Alor ini mulai dari pendidikan, budaya, serta keindahan alam yang tersembunyi dari pulau ini.
Pagi-pagi saya sudah ada di sekolah dan tidak ada satupun murid yang saya lihat berpakaian sekolah. Jam menunjukkan pukul 06.10 pagi. Pagi yang sangat terang. Rupanya itu bukan waktu yang tepat untuk ke Sekolah karena terlalu sepi. Tapi yang saya lihat adalah beberapa kelompok warga yang terlihat sedang mempersiapkan bulan keluarga yaitu lomba memasak masakan tradisional khas Alor.
Beberapa menit saat hari makin terang, beberapa siswa saya lihat sedang menuju ke kelas masing-masing dan segera membersihkan ruangan kelas mereka. Tentunya jika saya mengambil laptop ini, maka saya tidak hanya menulis laporan tahunan saja atau sekedar melihat BSE (Buku Sekolah Elektronik) atau sekedar melihat RPP untuk persiapan besok pagi. Bukan itu saja. Namun menuliskan cerita yang saya dapatkan hari ini.
Ada yang berbeda dengan pendidikan di Alor. Saya kira dunia sudah tampak modern. Di sini semua yang berbau modern memang sedikit. Maka saya simpulkan ketika melihat kejadian tadi, pendidikan di Alor memang tidak ada yang berubah dari pendidikan kuno yang dulu sempat saya dapatkan. Saya masih ingat ketika hendak mendapatkan pelajaran Matematika di SD, jantung saya sudah terasa berdenyut kencang.
Guru Matematika di SD saya memang terkesan horor walaupun wajahnya tidaklah mirip dengan kuntilanak atau sundel bolong yang saya lihat di TV. Namun, ketika dia masuk, maka anak-anak tidak dapat berkata apa-apa selain diam karena saking takut dengan guru ini. Kami kerap dipukul, dijitak, dicubit, dan diberi omongan-omangan kasar pada saat itu.
Saya yakin, itu bukan pendidikan yang baik dan benar. Itulah yang menyebabkan pelajaran Matematika ditakuti oleh siswanya. Sebenarnya, kesan Matematika itu sulit adalah ketika guru tidak pandai menyampaikan pelajaran sehingga anak menjadi tidak mengerti. Maka kebanyakan siswa terlihat bodoh ketika mereka ‘sukses’ memperoleh nilai 0 (nol) besar.
Sejenak, tinggalkan dulu cerita itu.
Tadi pagi sekelompok siswa ternyata tidak mandi karena alasan dingin. Dan diantara dari mereka tidak menggunakan sepatu dan juga kaos kaki. Mereka dihukum. Dicubit telinganya satu-persatu oleh Ibu Guru.
Sebuah pemandangan yang baru sekali saya lihat. Sebelumnya memang saya pernah memperhatikan guru melakukan kekerasan kepada siswanya, namun itu karena alasan si anak memang sangat sulit untuk diatur. Di SD Negeri Kapila, anak-anak masih tergolong lugu jika dibandingkan dengan anak-anak yang pernah saya ajar di Bali.
Mereka masih tampak polos namun cara mendidik guru memang seharusnya diperbaiki. Saya tidak tega untuk menerapkan kekerasan kepada siswa sekalipun mereka nakal. Biasanya saya hanya menghukum mereka dengan cara menyuruh mereka menulis: “SAYA TIDAK AKAN NAKAL LAGI” di bukunya sebanyak sepuluh halaman.
Atau hanya mengandalkan mulut saya untuk mengomel kepada siswa sehingga besok mereka tidak mengulangi perbuatan itu lagi. Banyak yang segan, ketika saya menerapkan hal itu kepada siswa. Namun, dengan itu saya juga tidak menutup diri untuk bergaul dan berbaur dengan mereka karena mereka sebenarnya anak-anak yang unik.
Setelah kejadian itu tadi, siswa masuk ke kelas masing-masing dan mempersiapkan diri untuk belajar. Dan seperti biasa saya masuk ke kelas lima. Saya memberi pengumuman kepada siswa agar ketika mereka hendak ke sekolah, mereka sudah rapi dan mandi walaupun jika mereka mandi badannya masih terlihat kumal dan tampak tidak kena air. Karena itu kewajiban siswa, jadi saya mengajarkan mereka untuk disiplin. Dan mereka menerimanya.
Saya lanjut mengajarkan pelajaran matematika saat itu, tentang bilangan bulat. Dan tampaknya banyak yang suka dengan cara saya mengajarkan pelajaran yang banyak ditakuti itu. Yaitu dengan memberikan permainan. Satu yang paling berkesan ketika saya hendak beranjak meninggalkan kelas itu. Saya bercakap dengan mereka:
– Senang belajar Matematika?
SENANG….
– Kalian senang diajar oleh Bapak?
SENANG…
– Kenapa kalian senang?
KARENA BAPA TIDAK PUKUL….
Saya tersenyum melihat keluguan anak-anak itu…