PADA suatu masa, tak terlalu lama, di negeri ini pernah ada penggemar cicak dan ada penggemar buaya, ada juga yang suka melihat ribut-ribut antara keduanya. Tapi saya sendiri lebih gemar pada pantun jenaka empat baris. Tokoh utamanya seekor ayam dan orang tuli. Walaupun tidak melata dan tidak merayap seperti halnya cicak dan buaya, tokoh yang hadir dalam pantun jenaka kita kali ini sesungguhnya juga bersoal tentang cicak dan buaya. Maaf, maksud saya tentang perseteruan KPK vs musuhnya.
Perseteruan KPK dan musuh-musuhnya itu memang cerita agak lama. Saya ajak memikirkan kembali, karena sesungguhnya musuh-musuh KPK masih tetap ada. Dan siapa berani menjamin mereka tak akan berseteru lagi. Karena sesungguhnya, hingga kini, belum ada ramuan mujarab, untuk menghentikan konflik KPK dan musuh-musuhnya.
Dari ranah pantun, kita punya solusinya. Kalau di panggung media massa konflik KPK vs musuh-musuhnya itu berpusat pada perseteruan dua subjek (cicak dan buaya-buaya), maka dalam pantun kita ini lain lagi. Selain soal konflik, ada lagi satu karakter utama, yang muncul secara unik dalam sebuah perseteruan. Namanya tidur. Beginilah tuturannya:
Ditutuah buluah botuang badotak-dotak
Ayam bakukuak di bawah dapuar
Sangek baruantuang urang pokak
Mariam babunyi enyo tatiduar
Ditutuh buluh, betung nan berdetak
Ayam berkukuk di bawah dapur
Sungguh beruntung orang pekak
Meriam berbunyi ia tertidur
Pantun di atas, dari khazanah Melayu Kuantan Singingi, Riau. Kalau ditinjau kronologi baris demi barisnya, tampaknya itu ada kaitan dengan proses membuat meriam bambu. Ada kemungkinan pantun ini sudah dihapal orang semenjak meriam bambu menjadi permainan anak negeri di negeri-negeri Melayu. Kapan? Persisnya saya tak tahu. Tapi kalau meriam bambu adalah tiruan mini dari meriam baja, maka kemungkinan pantun itu sudah dikenal sejak Selat Malaka masih dijaga dengan “meriam lada secupak” atau semasa kesultanan-kesultanan Melayu di Sumatera dan Malaka masih jaya.
Meriam adalah sebuah simbol tekhnologi perang masa lampau yang tekhnik membuatnya diajarkan oleh orang Turki kepada orang Melayu di kisaran abad 16 masehi. Hanya saja dalam pantun kelakar ini benda alutsista tersebut rupanya telah beralih peran – dari senjata serbu – menjadi sekadaran sampiran untuk mengantar pendengar kepada sebuah model keberuntungan . Yakni, tatiduar (tertidur). Mengapa tidur dikatakan sebuah keberuntungan?
Terlebih dahulu perlu kita ingat pelajaran bahasa Indonesia Sekolah Dasar, bahwa pantun adalah bahasa kias dengan pola-pola yang khusus. Orang dahulu berpantun karena percaya manusia punya kemampuan untuk menafsirkan segala sesuatu melalui bahasa pantun atau bahasa kias. Atas dasar itu, tafsir atas sebuah pantun adalah sah hukumnya, karena memang pantun diciptakan untuk ditafsirkan. Apakah tafsiran kita mengena ataukah tidak, terserah orang menilai saja.
Yang jelas, keberuntungan orang pekak dalam pantun di atas merupakan suatu kiasan atas pentingnya melakukan “jeda alamiah” sebagai siasat untuk mengatasi suasana bising yang digambarkan melalui simbol-simbol suara betung ditutuh dan ayam berkukuk. Dalam kaitannya dengan heboh KPK vs musuh-musuhnya, kebisingan itu dapat dibaca sebagai bah wacana yang muncul sepanjang konflik tersebut dan masih menjadi tagline populer di media massa.
Penjelasannya sederhana: tiap-tiap yang dihebohkan oleh media massa secara berjamaah, patut dicurigai! Itu saran profesor linguistik dari Institut Teknologi Massachusetts asal Philadelpia, Avram Noam Chomsky. Dalam bukunya “Media Control: The Spectacular Achievements of Propaganda” yang terbit 1997, Chomsky menjabarkan genealogi media massa sebagai bagian dari upaya kelas penguasa tertentu untuk mengendalikan masyarakat manusia melalui penguasaan atas informasi. Kelangsungan hidup sebuah media massa menurutnya lagi, terletak pada keberhasilan upaya cuci otak atas publik pembaca yang pada masa kontemporer ini banyak sekali bergantung pada media massa.
Maka di mana-mana media massa diciptakan memang dengan tujuan yang tak jauh berbeda: alat cuci otak. Karena itu, beriman kepada media massa sebagai ratu adil yang mewakili perasaan-perasaan terdalam kita, menurut teori kritik media adalah keliru fatal. Media massa di zaman modern ini adalah contoh komunitas yang malas tapi berbiaya besar. Wacana yang mereka produksi umumnya berasal dari suplay informasi yang didistribusikan melalui jaringan media. Kebanyakan, informasi itu bukan tentang apa yang kita alami dan rasakan. Tetapi diciptakan untuk membentuk apa yang akan kita rasakan dan katakan.
Dalam kaitannya dengan heboh konflik KPK vs musuh-musuhnya, soalnya terutama bukan pada cicak dan buaya-buaya itu. Tapi kekuasaan bahasa yang memproduksi istilah cicak dan buaya, yang kemudian mengendalikan pembacanya agar percaya saja pada kejadian yang diberitakan di seputar cicak vs buaya-buaya itu.
Kronologinya jelas, istilah cicak dan buaya, berikut kejadian-kejadian yang menyertainya tidak berasal dari masyarakat luas. Tapi dari media massa. Sebagaimana diakui oleh Goenawan Mohamad, dalam sebuah catatan pinggirnya, populernya istilah cicak dan buaya pada dasarnya adalah kemenangan bahasa atas realitas. Dalam pandangan tulisan ini, situasi yang ingin dicapai dari proses produksi perseteruan antara keduanya adalah pengendalian opini publik.
Pada hari ini, terima maupun tidak terima, pengendalian opini itu telah berhasil. Kalau ada yang paling dimenangkan dalam perseteruan cicak vs buaya itu adalah bahasa itu sendiri – yang salurannya adalah media massa mainstream – salah satu alat pemodal untuk menguasai memori masyarakat. Dengan kata lain, pemilik modal atau mereka yang mempunyai akses kuas kepada modal itulah yang paling menikmati proses ini. Cicak itu sendiri merugi, buaya itu juga tidak untung, negara kalah, hukum juga menderita. Apakah rakyat jelata serupa kita perlu ikut-ikutan menderita akibat produksi bahasa yang seperti itu?
Kalau membaca pesan dari pantun orang Kuantan di atas, jawabnya adalah tidak. Terbaca pada pantun di atas, solusinya bisa diperoleh dengan memulai sebuah “tidur alamiah”. Sebuah jeda tekstual, yang mungkin akan membantu kita terbebas dari permainan wacana yang belum tentu kita pahami dan perlukan. Bagaimana menurut Anda? (T)
Jakarta, 2016