10 May 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Catatan Pesta Kesenian Bali: Menolak Keseragaman

Eka PrasetyabyEka Prasetya
February 2, 2018
inOpini

????????????????????????????????????

164
SHARES

DI Bali, selama berabad-abad, seni-seni yang berakar pada tradisi, terus lahir. Dan tentu saja sangat beragam. Jaman dulu seni tak hanya lahir dari tangan seniman karawitan seperti I Gde Manik. Seni juga lahir dari tangan para petani, seperti kesenian joged yang lahir di Buleleng. Malahan seni jegog di Jembrana, konon lahir dari tangan-tangan orang buangan Kerajaan Klungkung. Mereka membuat jegog hanya karena takut dihukum jika membuat kesenian gong sama seperti yang ditampilkan bagi kalangan bangsawan di Klungkung.

Dewasa ini seni-seni tradisi juga terus lahir dari tangan para seniman dan sarjana-sarjana seni. Beberapa seni tradisi juga dimodifikasi, hingga muncul seni-seni yang baru tanpa meninggalkan akar tradisi. Hampir setiap tahun penciptaan seni muncul di Bali.

Seni-seni itu biasanya bermuara pada Pesta Kesenian Bali (PKB), sebuah pesta kesenian akbar di Bali. Setiap seniman berlomba-lomba menciptakan karya, berharap karya mereka bisa dipentaskan pada panggung PKB. Tahun 2016 ini, pesta kesenian yang digagas oleh almarhum Ida Bagus Mantra itu telah menginjak usia ke-38.

Tahun ini beragam seni muncul. Seni tradisi, seni kolaborasi, maupun seni-seni inovatif hadir. Semuanya mendapat tempat untuk diapresiasi. Seluruhnya memiliki panggung dan penontonnya masing-masing.

Seni tradisi mendapat porsi paling banyak. Setiap sekaa tampil dengan identitas, gaya, dan garapannya masing-masing. Semuanya berusaha menonjolkan ciri khas mereka masing-masing. Berbagai pagelaran, memang berusaha menunjukkan identitasnya masing-masing. Setidaknya ada empat kelompok yang kemudian muncul. Seperti Bali Barat, Bali Selatan, Bali Utara, dan Bali Timur. Semuanya memiliki gaya dan ciri khas masing-masing.

Bali Barat misalnya masih mengandalkan pementasannya pada jegog. Pada panggung PKB, jegog ditampilkan bukan hanya sebagai sebuah seni tradisi yang terdiri atas tabuh dan tari. Jegog juga ditunjukkan sebagai sebuah seni yang bisa dan berhasil berkolaborasi dengan seni modern semacam tabuh perkusi. Bali Barat juga ingin menunjukkan bahwa jegog turut dicintai serta disukai warga negara asing.

Bali Timur berusaha menunjukkan identitasnya dengan menghadirkan sekaa penting. Sekaa ini sudah berusia cukup tua di Karangasem. Kesenian penting sempat mengakar dan merajai khasanah kesenian di Bumi Lahar. Seni penting kemudian hilang dan kini tidak banyak lagi yang menggelutinya. Padahal pada masa jayanya, penting menggantikan fungsi gong kebyar sebagai pengiring upacara.

Sementara Bali Utara berusaha menunjukkan identitasnya sebagai daerah kelahiran gong kebyar. Mereka kerap menampilkan gaya tabuh yang mengejutkan, sekaligus membuat jantungan. Bali Utara juga tampaknya alergi memakai gong gantung, dan memilih menggunakan gong pacek. Gong pacek memang jenis perangkat gong kebyar yang dilahirkan pertama kali. Bali Utara juga tampil dengan gayanya yang cuek dan enggan menggunakan bahasa Balisor singgih. Dalam setiap pementasan mereka lebih sering menggunakan bahasa Bali keseharian ataukepara.

Bali Selatan tetap menjaga pamornya sebagai daerah barometer seni. Sendratari, tabuh, rupa, pertunjukan, semua ditampilkan dengan apik oleh Bali Selatan. Terutama dalam pementasan parade gong kebyar. Mereka menunjukkan teknik dan gaya baru. Salah satunya teknik penari yang mendadak terbang begitu saja. Keragaman seni dari setiap daerah seolah sangat dihargai dan dijunjung tinggi dalam ajang PKB.

Namun tahun ini, ada beberapa hal yang sedikit mengganjal. Terutama setelah saya melihat dan membaca komentar beberapa kawan di media sosial. Salah satunya tentang tudingan upaya menyeragamkan seni secara halus, dengan dalih pakem dan uger-uger. Identitas kesenian setiap daerah berusaha dihilangkan. Selentingan dan tudingan itu selalu muncul dari tahun ke tahun, setidaknya selama satu dasa warsa terakhir. Tahun ini karena saya setiap hari bergelut dengan PKB, menonton satu pementasan ke pementasan lain, hal itu memang demikian terasa.

Keseragaman seni mulai muncul ketika seni tradisi semacam drama gong dan gong kebyar dipentaskan. Ramai-ramai sekaa menggunakan gaya halus, dekat dengan identitas palegongan. Khas gaya gong kebyar Bali Selatan. Tidak ada satu pun yang berani mendekati gaya dinamis dan keras, seperti yang biasa dimainkan di Bali Utara.

Pun saat drama gong dipentaskan di Kalangan Ayodya. Bali Barat dan Bali Timur, menjauhi bahasa keseharian. Mereka sangat menjaga tata bahasa, dan sebisa mungkin menggunakansor singgih. Namun saat Bali Utara tampil, mereka menggunakan bahasa keseharian atau kepara, malah cenderung kasar. Penonton tidak tersinggung, melainkan terhibur. Padahal tidak ada pakem yang mewajibkan drama gong membawakan sor singgih.

Puncak kegelisahan soal “keseragaman seni” justru muncul ketika saya menyaksikan Parade Lagu Pop Bali. Kebetulan malam itu yang pentas adalah duta kesenian dari Klungkung, Buleleng, dan Bangli. Kebetulan pula saat itu saya dapat kursi VIP, tepat di depan deretan para pengamat dan pejabat Dinas Kebudayaan.

Tidak ada komentar aneh saat duta Klungkung mengakhiri pementasan. Semua komentar yang sampai ke telinga saya, terasa wajar. Ketika Buleleng mengakhiri pementasan, terdengar celetukan dari deretan kursi di belakang saya, bahwa pementasan Buleleng tidak wajar. Disebutkan Buleleng tidak tampil “metegen”. Penjelasan secara harfiah, duta kesenian Buleleng tidak menampilkan penyanyi yang diangkat seluruh badannya, sebagaimana duta kesenian lainnya. Diangkat atau “metegen” seolah menjadi sebuah keharusan. Semuanya seolah harus tampil seragam.

Pola pikir menyeragamkan seni ini tentu sebuah pikiran berbahaya. Keseragaman seni membuat proses penciptaan seni tidak lagi kreatif. Memang harus ada uger-uger atau pakem yang harus diikuti, namun bukan berarti semua harus sama. Ada toleransi kreatif dalam proses penciptaan yang harus ditempuh.

Keseragaman seni juga berpengaruh pada pariwisata Bali. Semua orang paham dan maklum, bahwa wisatawan ramai-ramai datang ke Bali karena seni dan budaya. Banyak yang rela jauh-jauh datang ke Jembrana menyaksikan mekepung dan jegog. Tidak sedikit yang ingin ke Karangasem untuk menyaksikan perang pandan.

Bayangkan jika kesenian itu seragam. Bayangkan jika jegog dapat ditemukan dengan mudah di Bali Selatan, siapa yang ingin jauh-jauh ke Jembrana menonton jegog? Bila tabuh mandolin ada di seluruh Bali, apakah ada wisatawan yang mau menempuh perjalanan jauh nan melelahkan ke Pupuan? Tentu saja tidak.

Bagaimana jika seni rupa di Bali juga menjadi seragam? Apa ada turis yang mau jauh-jauh ke Ubud mencari barang kerajinan? Sementara produk kerajinan serupa bisa mereka dapatkan dengan mudah di Kuta.

Jika seni dan budaya sudah seragam, maka tidak perlu susah-susah membentuk sebuah sekolah seni. Dosen dan profesor tidak usah susah-susah melakukan penelitian soal asal usul seni budaya Bali. Wartawan tidak perlu repot meliput ragam budaya dan seni yang ada di Bali. Pemerintah juga tidak usah buang-buang anggaran menyelenggarakan pesta kesenian, karena seni dan budaya kita sudah seragam.

Jika memang ingin menyeragamkan seni dan harus mengikuti uger-uger dan pakem, maka hal itu harus disepakati terlebih dulu. Jika sudah sepakat, mari kembalikan perangkat gong kebyar seperti saat mereka dilahirkan seabad lalu, yakni berbentuk gong pacek. Karena gong gantung yang jamak digunakan di sebagian besar wilayah Bali, tidak sesuai pakem dan uger-uger

Jika tidak sepakat, maka biarkan seni berjalan seperti adanya. Biarkan seni menjadi beragam. Karena keragaman adalah keniscayaan. Karena keragaman memberikan nilai ekonomi lebih pada kehidupan kita di Bali. Tolak keseragaman seni! (T)

Tags: Pesta Kesenian BaliSeni
Previous Post

In Memoriam Wayan Tarma: Mati Drama Gong, Hidup Dolar

Next Post

Melihat Nasib Petani di Bali dalam Gemerlap Pembangunan

Eka Prasetya

Eka Prasetya

Menjadi wartawan sejak SMA. Suka menulis berita kisah di dunia olahraga dan kebudayaan. Tinggal di Singaraja, indekost di Denpasar

Next Post

Melihat Nasib Petani di Bali dalam Gemerlap Pembangunan

Please login to join discussion

ADVERTISEMENT

POPULER

  • Refleksi Semangat Juang Bung Tomo dan Kepemimpinan Masa Kini

    Apakah Menulis Masih Relevan di Era Kecerdasan Buatan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tulak Tunggul Kembali ke Jantung Imajinasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ulun Pangkung Menjadi Favorit: Penilaian Sensorik, Afektif, atau Intelektual?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • ”Married by Accident” Bukan Pernikahan Manis Cinderella

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Duel Sengit Covid-19 vs COVID-19 – [Tentang Bahasa]

    11 shares
    Share 11 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

“Pseudotourism”: Pepesan Kosong dalam Pariwisata

by Chusmeru
May 10, 2025
0
Efek “Frugal Living” dalam Pariwisata

KEBIJAKAN libur panjang (long weekend) yang diterapkan pemerintah selalu diprediksi dapat menggairahkan industri pariwisata Tanah Air. Hari-hari besar keagamaan dan...

Read more

Mendaki Bukit Tapak, Menemukan Makam Wali Pitu di Puncak

by Arix Wahyudhi Jana Putra
May 9, 2025
0
Mendaki Bukit Tapak, Menemukan Makam Wali Pitu di Puncak

GERIMIS pagi itu menyambut kami. Dari Kampus Undiksha Singaraja sebagai titik kumpul, saya dan sahabat saya, Prayoga, berangkat dengan semangat...

Read more

Kreativitas dan Imajinasi: Dua Modal Utama Seorang Seniman

by Pitrus Puspito
May 9, 2025
0
Kreativitas dan Imajinasi: Dua Modal Utama Seorang Seniman

DALAM sebuah seminar yang diadakan Komunitas Salihara (2013) yang bertema “Seni Sebagai Peristiwa” memberi saya pemahaman mengenai dunia seni secara...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

May 8, 2025
Mosphit Skena Segera Tiba, yang Ngaku-Ngaku Anak Skena Wajib Hadir!

Mosphit Skena Segera Tiba, yang Ngaku-Ngaku Anak Skena Wajib Hadir!

May 7, 2025
Bimo Seno dan Dolog Gelar Pertandingan Tenis Lapangan di Denpasar

Bimo Seno dan Dolog Gelar Pertandingan Tenis Lapangan di Denpasar

April 27, 2025
Kebersamaan di Desa Wanagiri dalam Aksi Sosial Multisektor Paras.IDN dalam PASSION Vol.2 Bali

Kebersamaan di Desa Wanagiri dalam Aksi Sosial Multisektor Paras.IDN dalam PASSION Vol.2 Bali

April 23, 2025
Menghidupkan Warisan Leluhur, I Gusti Anom Gumanti Pimpin Tradisi Ngelawar di Banjar Temacun Kuta

Menghidupkan Warisan Leluhur, I Gusti Anom Gumanti Pimpin Tradisi Ngelawar di Banjar Temacun Kuta

April 22, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
Fenomena Alam dari 34 Karya Perupa Jago Tarung Yogyakarta di Santrian Art Gallery
Pameran

Fenomena Alam dari 34 Karya Perupa Jago Tarung Yogyakarta di Santrian Art Gallery

INI yang beda dari pameran-pemaran sebelumnya. Santrian Art Gallery memamerkan 34 karya seni rupa dan 2 karya tiga dimensi pada...

by Nyoman Budarsana
May 10, 2025
“Jalan Suara”, Musikalisasi Puisi Yayasan Kesenian Sadewa Bali dan Komunitas Disabilitas Tunanetra
Panggung

“Jalan Suara”, Musikalisasi Puisi Yayasan Kesenian Sadewa Bali dan Komunitas Disabilitas Tunanetra

SEPERTI biasa, Heri Windi Anggara, pemusik yang selama ini tekun mengembangkan seni musikalisasi puisi atau musik puisi, tak pernah ragu...

by Nyoman Budarsana
May 6, 2025
Mengenang Perupa I Gusti Made Peredi dan Karya-karyanya yang Membingkai Zaman
Khas

Mengenang Perupa I Gusti Made Peredi dan Karya-karyanya yang Membingkai Zaman

TAK salah jika Pemerintah Kota Denpasar dan Pemerintah Provinsi Bali menganugerahkan penghargaan kepada Almarhum I Gusti Made Peredi, salah satu...

by Nyoman Budarsana
May 6, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Selendang Putih Bertuliskan Mantra | Cerpen I Wayan Kuntara

Selendang Putih Bertuliskan Mantra | Cerpen I Wayan Kuntara

May 10, 2025
Puisi-puisi Pramita Shade | Peranjakan Dua Puluhan

Puisi-puisi Pramita Shade | Peranjakan Dua Puluhan

May 10, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [14]: Ayam Kampus Bersimbah Darah

May 8, 2025
Perempuan di Mata Mak Kaeh | Cerpen Khairul A. El Maliky

Perempuan di Mata Mak Kaeh | Cerpen Khairul A. El Maliky

May 4, 2025
Puisi-puisi Gimien Artekjursi | Tentang Harimau Jawa

Puisi-puisi Gimien Artekjursi | Tentang Harimau Jawa

May 4, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co