DI Bali, selama berabad-abad, seni-seni yang berakar pada tradisi, terus lahir. Dan tentu saja sangat beragam. Jaman dulu seni tak hanya lahir dari tangan seniman karawitan seperti I Gde Manik. Seni juga lahir dari tangan para petani, seperti kesenian joged yang lahir di Buleleng. Malahan seni jegog di Jembrana, konon lahir dari tangan-tangan orang buangan Kerajaan Klungkung. Mereka membuat jegog hanya karena takut dihukum jika membuat kesenian gong sama seperti yang ditampilkan bagi kalangan bangsawan di Klungkung.
Dewasa ini seni-seni tradisi juga terus lahir dari tangan para seniman dan sarjana-sarjana seni. Beberapa seni tradisi juga dimodifikasi, hingga muncul seni-seni yang baru tanpa meninggalkan akar tradisi. Hampir setiap tahun penciptaan seni muncul di Bali.
Seni-seni itu biasanya bermuara pada Pesta Kesenian Bali (PKB), sebuah pesta kesenian akbar di Bali. Setiap seniman berlomba-lomba menciptakan karya, berharap karya mereka bisa dipentaskan pada panggung PKB. Tahun 2016 ini, pesta kesenian yang digagas oleh almarhum Ida Bagus Mantra itu telah menginjak usia ke-38.
Tahun ini beragam seni muncul. Seni tradisi, seni kolaborasi, maupun seni-seni inovatif hadir. Semuanya mendapat tempat untuk diapresiasi. Seluruhnya memiliki panggung dan penontonnya masing-masing.
Seni tradisi mendapat porsi paling banyak. Setiap sekaa tampil dengan identitas, gaya, dan garapannya masing-masing. Semuanya berusaha menonjolkan ciri khas mereka masing-masing. Berbagai pagelaran, memang berusaha menunjukkan identitasnya masing-masing. Setidaknya ada empat kelompok yang kemudian muncul. Seperti Bali Barat, Bali Selatan, Bali Utara, dan Bali Timur. Semuanya memiliki gaya dan ciri khas masing-masing.
Bali Barat misalnya masih mengandalkan pementasannya pada jegog. Pada panggung PKB, jegog ditampilkan bukan hanya sebagai sebuah seni tradisi yang terdiri atas tabuh dan tari. Jegog juga ditunjukkan sebagai sebuah seni yang bisa dan berhasil berkolaborasi dengan seni modern semacam tabuh perkusi. Bali Barat juga ingin menunjukkan bahwa jegog turut dicintai serta disukai warga negara asing.
Bali Timur berusaha menunjukkan identitasnya dengan menghadirkan sekaa penting. Sekaa ini sudah berusia cukup tua di Karangasem. Kesenian penting sempat mengakar dan merajai khasanah kesenian di Bumi Lahar. Seni penting kemudian hilang dan kini tidak banyak lagi yang menggelutinya. Padahal pada masa jayanya, penting menggantikan fungsi gong kebyar sebagai pengiring upacara.
Sementara Bali Utara berusaha menunjukkan identitasnya sebagai daerah kelahiran gong kebyar. Mereka kerap menampilkan gaya tabuh yang mengejutkan, sekaligus membuat jantungan. Bali Utara juga tampaknya alergi memakai gong gantung, dan memilih menggunakan gong pacek. Gong pacek memang jenis perangkat gong kebyar yang dilahirkan pertama kali. Bali Utara juga tampil dengan gayanya yang cuek dan enggan menggunakan bahasa Balisor singgih. Dalam setiap pementasan mereka lebih sering menggunakan bahasa Bali keseharian ataukepara.
Bali Selatan tetap menjaga pamornya sebagai daerah barometer seni. Sendratari, tabuh, rupa, pertunjukan, semua ditampilkan dengan apik oleh Bali Selatan. Terutama dalam pementasan parade gong kebyar. Mereka menunjukkan teknik dan gaya baru. Salah satunya teknik penari yang mendadak terbang begitu saja. Keragaman seni dari setiap daerah seolah sangat dihargai dan dijunjung tinggi dalam ajang PKB.
Namun tahun ini, ada beberapa hal yang sedikit mengganjal. Terutama setelah saya melihat dan membaca komentar beberapa kawan di media sosial. Salah satunya tentang tudingan upaya menyeragamkan seni secara halus, dengan dalih pakem dan uger-uger. Identitas kesenian setiap daerah berusaha dihilangkan. Selentingan dan tudingan itu selalu muncul dari tahun ke tahun, setidaknya selama satu dasa warsa terakhir. Tahun ini karena saya setiap hari bergelut dengan PKB, menonton satu pementasan ke pementasan lain, hal itu memang demikian terasa.
Keseragaman seni mulai muncul ketika seni tradisi semacam drama gong dan gong kebyar dipentaskan. Ramai-ramai sekaa menggunakan gaya halus, dekat dengan identitas palegongan. Khas gaya gong kebyar Bali Selatan. Tidak ada satu pun yang berani mendekati gaya dinamis dan keras, seperti yang biasa dimainkan di Bali Utara.
Pun saat drama gong dipentaskan di Kalangan Ayodya. Bali Barat dan Bali Timur, menjauhi bahasa keseharian. Mereka sangat menjaga tata bahasa, dan sebisa mungkin menggunakansor singgih. Namun saat Bali Utara tampil, mereka menggunakan bahasa keseharian atau kepara, malah cenderung kasar. Penonton tidak tersinggung, melainkan terhibur. Padahal tidak ada pakem yang mewajibkan drama gong membawakan sor singgih.
Puncak kegelisahan soal “keseragaman seni” justru muncul ketika saya menyaksikan Parade Lagu Pop Bali. Kebetulan malam itu yang pentas adalah duta kesenian dari Klungkung, Buleleng, dan Bangli. Kebetulan pula saat itu saya dapat kursi VIP, tepat di depan deretan para pengamat dan pejabat Dinas Kebudayaan.
Tidak ada komentar aneh saat duta Klungkung mengakhiri pementasan. Semua komentar yang sampai ke telinga saya, terasa wajar. Ketika Buleleng mengakhiri pementasan, terdengar celetukan dari deretan kursi di belakang saya, bahwa pementasan Buleleng tidak wajar. Disebutkan Buleleng tidak tampil “metegen”. Penjelasan secara harfiah, duta kesenian Buleleng tidak menampilkan penyanyi yang diangkat seluruh badannya, sebagaimana duta kesenian lainnya. Diangkat atau “metegen” seolah menjadi sebuah keharusan. Semuanya seolah harus tampil seragam.
Pola pikir menyeragamkan seni ini tentu sebuah pikiran berbahaya. Keseragaman seni membuat proses penciptaan seni tidak lagi kreatif. Memang harus ada uger-uger atau pakem yang harus diikuti, namun bukan berarti semua harus sama. Ada toleransi kreatif dalam proses penciptaan yang harus ditempuh.
Keseragaman seni juga berpengaruh pada pariwisata Bali. Semua orang paham dan maklum, bahwa wisatawan ramai-ramai datang ke Bali karena seni dan budaya. Banyak yang rela jauh-jauh datang ke Jembrana menyaksikan mekepung dan jegog. Tidak sedikit yang ingin ke Karangasem untuk menyaksikan perang pandan.
Bayangkan jika kesenian itu seragam. Bayangkan jika jegog dapat ditemukan dengan mudah di Bali Selatan, siapa yang ingin jauh-jauh ke Jembrana menonton jegog? Bila tabuh mandolin ada di seluruh Bali, apakah ada wisatawan yang mau menempuh perjalanan jauh nan melelahkan ke Pupuan? Tentu saja tidak.
Bagaimana jika seni rupa di Bali juga menjadi seragam? Apa ada turis yang mau jauh-jauh ke Ubud mencari barang kerajinan? Sementara produk kerajinan serupa bisa mereka dapatkan dengan mudah di Kuta.
Jika seni dan budaya sudah seragam, maka tidak perlu susah-susah membentuk sebuah sekolah seni. Dosen dan profesor tidak usah susah-susah melakukan penelitian soal asal usul seni budaya Bali. Wartawan tidak perlu repot meliput ragam budaya dan seni yang ada di Bali. Pemerintah juga tidak usah buang-buang anggaran menyelenggarakan pesta kesenian, karena seni dan budaya kita sudah seragam.
Jika memang ingin menyeragamkan seni dan harus mengikuti uger-uger dan pakem, maka hal itu harus disepakati terlebih dulu. Jika sudah sepakat, mari kembalikan perangkat gong kebyar seperti saat mereka dilahirkan seabad lalu, yakni berbentuk gong pacek. Karena gong gantung yang jamak digunakan di sebagian besar wilayah Bali, tidak sesuai pakem dan uger-uger
Jika tidak sepakat, maka biarkan seni berjalan seperti adanya. Biarkan seni menjadi beragam. Karena keragaman adalah keniscayaan. Karena keragaman memberikan nilai ekonomi lebih pada kehidupan kita di Bali. Tolak keseragaman seni! (T)