KETIKA tubuh meragang nyawa, dalam perukan persada. Tinggal nafas yang masih tersisa. Kau pekikkan merdeka. Bait lagu Puji Bagi Pahlawan ciptaan Basuki itu mengalun dalam sunyi. Lantunan suara merdu dari R.H. Soetomo, membuat lagu itu semakin mudah dinikmati.
Jumat (24/6) malam, R.H. Soetomo tampil prima. Pria yang kini usianya telah menginjak kepala tujuh itu masih konsisten menyanyikan lagu keroncong. Tampil di Gedung Ksirarnawa, Taman Budaya Bali, pria yang juga dikenal dengan nama Tom Soeta Wikarta itu memanjakan pengunjung Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-38, dengan membawakan tak kurang dari 31 lagu keroncong.
Malam itu Soetomo tampil bersama The Indonesian Keroncong Centre. Ia memilih lagu-lagu keroncong yang bertemakan perjuangan, persatuan, dan kedamaian tanah air Indonesia. Sebut saja lagu berjudul Sepuluh November, Panglima Sudirman, Trikora, serta Rayuan Pulau Kelapa. Ada pula lagu barat berjudul Oh Carol yang dipopulerkan Neil Sedaka.
Putra angkat dari sang maestro keroncong, mendiang Gesang Marto Hartono itu ingin membuktikan bahwa keroncong tidak mati. Meski penonton datang dan pergi, berlalu lalang, Soetomo bersama sebelas orang musisi lainnya tetap asyik menyanyikan langgam-langgam keroncong. Tak peduli ada banyak pengunjung Gedung Ksirarnawa yang terkantuk-kantuk mendengarkan keroncong.
Bagi Soetomo, keroncong adalah identitas dirinya sekaligus identitas Indoneisa. Maklum saja, keroncong adalah warisan bangsa Indonesia yang mulai terangkai sejak Belanda baru menduduki Indonesia. Keroncong terus berkembang dan mengadopsi alat musik barat seperti cello, flute, dan biola. Namun tak pernah melepaskan unsur ke-nusantara-an di dalamnya.
Lagu Bengawan Solo misalnya. Lagu yang mengangkat kearifan lokal di Jawa Tengah itu menceritakan keagungan sungai tersebut. Lagu ciptaan mendiang Gesang itu membuat lagu keroncong makin dikenal di saentero dunia, sekaligus menjadi ikon lagu keroncong hingga kini.
“Keroncong itu mengedepankan kehalusan suara dan norma-norma Indonesia asli. Keroncong harus dirasakan, diresapi, dinikmati. Tidak mungkin ada yang menyamai musik ini,” ucap Soetomo selepas pentas.
Empat puluh enam tahun menggeluti keroncong, bukan waktu yang singkat bagi Soetomo untuk mengenal musik itu. Apalagi ia sudah diangkat sebagai anak oleh sang maestro keroncong. Tak heran jika kemudian ia memilih melestarikan keroncong sebagai warisan budaya tanah air.
Rasa keprihatinan pada memudarnya musik keroncong, membuat ia mengambil langkah idealis dengan mendirikan The Indonesia Keroncong Centre – sebuah lembaga nirlaba yang fokus pada pelestarian keroncong. Tawaran suntikan dana dari beberapa lembaga asing, ia tolak. Ia khawatir suntikan dana itu berdampak pada upaya-upaya klaim musik keroncong sebagai budaya negara serumpun, di kemudian hari.
Lembaga itu terus berusaha menularkan virus keroncong pada masyarakat, utamanya kaum muda. Meski dengan pendapatan serta sumber dana yang terbatas.
Pun ketika mereka mengisi panggung pada ajang Pesta Kesenian Bali, mereka tak mendapatkan suntikan dana dari lembaga asing. The Indonesia Keroncong Centre datang ke Bali dengan biaya swadaya. Belakangan mereka baru mendapatkan sokongan dana dari lembaga Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Jika bukan karena misi pelestarian, Soetomo dkk barangkali tidak akan sampai ke Bali.
Kedatangannya ke Bali sekaligus ingin menyampaikan pada masyarakat di Pulau Dewata, bahwa keroncong layak dinikmati dan layak digeluti. Soetomo bahkan memboyong tujuh orang pemain musik yang kini masih berstatus sebagai siswa sekolah menengah kesenian di Jogjakarta dan Solo, untuk tampil.
“Keroncong bisa digeluti siapa saja, asal ada kemauan dan kecintaan. Anak-anak SMK ini bisa, dan mereka menikmati,” imbuhnya.
Soetomo sekaligus ingin menunjukkan pada khalayak, bahwa sudah sepantasnya kalangan muda mencintai musik tanah air seperti keroncong. Tak lagi memandangnya sebelah mata, atau menganggapnya sebagai kesenian usang yang tak pantas lagi dinikmati. Padahal musik ini mempromosikan keindahan nusantara, melestarikan budaya Indonesia, sekaligus mengobarkan semangat kecintaan pada tanah air, secara tak langsung. Keindahannya sebagai musik nusantara, tak tergantikan. Begitulah sebenarnya keroncong. (T)