FENOMENA The Great Pacific Garbage Patch menjadi bukti betapa kita sebagai manusia telah membunuh bumi dengan plastik. Miliaran ton sampah plastik terapung di laut, membuat jutaan hewan mati ‘tersedak plastik’. Tidak sedikit biota laut yang mengira plastik adalah makanan sehingga harus mati dan menjadi bangkai akibat tersedak plastik. Bahkan sampah ini diperkirakan berkali lipat lebih besar daripada benua Amerika. Sungguh luar biasa.
Frasa ‘tersedak plastik’ mungkin berlebihan namun jika ditelaah cocok untuk mengambarkan bagaimana keadaan bumi sekarang ini. Penggunaan plastik yang tidak terkontrol membuat berbagai sektor kehidupan menghasilkan limbah yang sangat sulit terurai ini. Mulai dari bayi sampai dengan orang dewasa pernah memakai plastik dan membuang limbahnyai. Pemakaian plastik yang tidak terhingga ini membuat bumi kian ‘tersedak’ dengan plastik dan kini, planet hijau ini sudah sangat sekarat.
Hasil riset Jenna R Jambeck dan kawan-kawan (publikasi di www.sciecemag.org 12 Februari 2015) yang diunduh dari www.iswa.org menyebutkan bahwa Indonesia berada di posisi kedua penyumbang sampah plastik ke laut setelah Tiongkok, disusul Filipina, Vietman, dan Sri Langka. Prestasi yang sangat unik.
Hasil yang sangat mencengangkan juga diungkap oleh Greeneretaion, organisasi non pemerintah ini menyebutkan bahwa satu orang Indonesia rata-rata bisa menghabiskan 700 kantong plastik pertahun. Dengan kata lain, untuk satu orang Indonesia saja, ratusan lembar plastik terpakai yang pada akhirnya menjadi limbah yang membahayakan kehidupan.
Pada tataran ini kita yang katanya makhluk paling cerdas telah melakukan pembunuhan. Pada tahap ini pula kita mulai membinasakan kehidupan. Pada level ini pula kita telah menrusak tatanan kehidupan. Tudingan ini tentu tidaklah keterlaluan mengingat limbah plastik sangat sulit terurai. Tak heran jika fenomena ini dibiarkan, umur bumi dan umur kehidupan tidak akan lama lagi bertahan.
Tentu tak perlu dipikirkan lagi ini ulah siapa, karena secara akal sehat hanya manusialah yang mampu menciptakan plastik dan memakainya. Dan, hanya kita juga yang menjadi produsen tunggal limbah platik. Dengan kata lain, manusialah yang telah membunuh jutaan biota laut dan makhluk tak berdosa lain dengan merusak ekosistem akibat tak hentinya menghasilkan limbah plastik.
MULAI Minggu 21 Februari 2016 pemerintah menerapkan peraturan untuk tidak lagi mengratiskan kantong plastik di pusat perbelanjaan. Setiap pengguna kantong plastik harus membayar minimal Rp 200 untuk setiap satu kantongnya. Hal ini dilakukan sebagai bentuk pencegahan terhadap meledaknya limbah plastik yang kian menumpuk. Namun, apakah langkah ini mampu menghentikan ribuan ton limbah setiap harinya?
Tentu saja kita mengapresiasi setiap langkah untuk mengurangi limbah plastik namun secara ekonomi membayar Rp 200 untuk setiap kantong plastik hanya akan membebani ekonomi rakyat dan menambah aset beberapa perusahaan besar. Karena kenyataannya konsumen tidak mempedulikan 200 rupiah itu dan tetap saja limbah plastik semakin banyak dengan tambahan catatan pengusaha makin kaya.
Mungkin ada pernyataan yang mengatakan bahwa hasil penjualan tersebut akan dipakai untuk pengolahan limbah plastik. Tapi, berapa persen? Kita tahu, banyak yang tidak jujur di negeri ini. Bisa saja 200 rupiah itu berpindah kantong dan memperkaya beberapa pihak dan bukan digunakan sebagamana mestinya. Ironis sekali.
Birokrasi pemerintahan kita selalu bertele-tele pada persoalan sampingan dan tidak langsung ke inti persoalan. Logika berpikirnya begini, jika ingin mengurangi limbah plastik maka penggunaan plastik harus dikurangi. Nah, menggurangi penggunaan plastik bukan dengan menjual plastik ke masyarakat dengan harapan tak ada pembeli akan tetapi penurunan konsumsi plastik dapat dilakukan dengan cara menciptakan pengganti plastik yang murah dan tentu saja ramah lingkungan sehingga tidak menjadi limbah.
Ketika pengganti platik muncul dengan teknologi ramah lingkungan maka sektor penghasil plastik harus dikurangi secara berkala agar tidak muncul gelombang PHK. Tarik para pekerja ke sektor prokdusi pengganti plastik yang ramah lingkungan tersebut. Terdengar mudah tapi pada dasarnya sangat sulit namun, untuk kepentingan yang lebih penting hal ini bukanlah hal yang mustahil. Demi menyelamatkan bumi demi menyelamatkan kehidupan.
Persoalan plastik bukan masalah sepele. Ini merupakan fenomena kehancuran alam yang harus segera ditangani. Fenomena ini dipercaya atau tidak dapat memusnahkan kehidupan di bumi. Semakin lama sampah semakin menumpuk dan pada akhirnya bumi tertimbun plastik. Dan pada skenario terburuk, bumi juga akan tersedak plastik.
Selain daripada penangana oleh pemerintah kita selaku manusia dan produsen limbah plastik juga harus paham dengan fenomena ini. Sedini mungkin kita harus menjaga agar sampah plastik tak lagi terapung di laut. Kita juga harus mulai memberikan energi terhadap sampah di sekitar kita yang kiat menggunug. Membuang sampah ke kali atau ke sungai sudah harus kita tinggalkan. Jangan sampai mencari praktis malah menimbulkan dampak yang besar.
Kita harus konsen terhadap persoalan sampah ini. jika tidak maka fenomena ini akan terus membesar. Plastik akan membawa bencana besar bagi kehidupan. Jika plastik terus dikonsumsi dan limbah plastik terus diproduksi dan limbah itu dibuang ke laut. Maka, laut biru yang bersih akan jadi catatan indah dalam cerita sejarah manusia. Karena dalam hitungan tahun laut akan menjadi tumpukan sampah dan sampah akan menutupi laut. Dan pada akhirnya laut biru yang jernih hanya akan jadi cerita sejarah atau cerita fiksi masa lalu. (T)