JUDUL tulisan ini merupakan tema diskusi Kupang Pesta Monolog yang coba menggali daya vital teater dan perannya dalam kehidupan konkret (aktual). Bahwa teater sebagai seni paling kompleks memiliki daya gedor yang sejak zaman purba diyakini menjadi alat transformasi manusia dan masyarakat. Dan kerja besar teater, dalam segala keterbatasan, mulai tumbuh dan menapak lewat sajian 7 karya pertunjukan di Aula F-Square Jl. Shoping Center Fatululi Kupang, Jumat-Sabtu, 11-12 Maret 2016.
Teater (monolog) sebagai sebuah proses kreatif ditentukan oleh rekam jejak seniman kreator dalam mencerap realitas. Yang sudah jauh berjalan tentu menyimpan khazanah pengalaman, kepekaan dan kemampuan menghadirkan karya yang bernas bertenaga termasuk bagaimana membaca, mengolah persoalan, memberinya bobot refleksi dan menyajikannya dalam totalitas komunikasi pertunjukan. Sehingga yang dihadirkan bukan sekedar cerita tentang tekanan hidup, kegilaan, carut-marut, kesakitan, luka-luka sosial dan kemanusiaan melainkan lebih dari itu memperlihatkan sesungguhnya wajah buruk, penyakit, luka, borok dan nanah kehidupan.
Abdy Keraf misalnya melalui Monologia Tubuh Yang Palsu menularkan sejenis rasa frustrasi terhadap aneka bentuk basa-basi kesantunan, menghina kemunafikan dan segala omong kosong kepalsuan dengan mempertahankan tensi emosi yang monoton datar demi menggiring penonton pada kondisi ketegangan. Abdy dengan stamina yang agak terkuras coba menebarkan cekaman psikologis demi penciptaan kondisi dramatik pentas.
Target serupa walau dengan tempo dan irama yang lebih lamban dan berat, coba diraih oleh aktor Galuh Tulus Utama lewat Hati Yang Meracau karya Edgar Alan Poe. Ketakutan dan halusinasi dibaurkan Galuh lewat sekian jerit dan gemetar ceracau demi memberi efek psikologis dari kompleks realitas skizofrenik. Mata ayah oleh tokoh anak menjelmah seperti mata burung pemangsa yang mengancam. Kehidupan jadi demikian ringkih dan kikuk oleh obyektifkasi mata kekuasaan yang represif dan berdaya membunuh.
Eka Putra Ngalu dari teater KAHE Maumere yang membiarkan teksnya tumbuh liar dalam “Laki-Laki” memperlihatkan pribadi yang tidak sungguh-sungguh ‘menjadi’. Tokoh laki-laki terperangkap dalam ruang hidup yang serba tanggung. Ketegangan antara mimpi dan kenyataan, mitologi dan realitas faktual membuatnya menjadi figur yang ambigu bahkan mati ketika tak mampu mewujudkan mimpi-mimpinya.
Sajian “Kronik Perempuan” yang dibawakan oleh Dian Santji Muskanan dan “Perempuan Biasa” oleh Linda Tangie menyoal keperempuanan yang tersaruk dalam beban kultur dan stigma khas budaya patriarkhi. Lanny Koroh sebagai sutradara menyuntikkan kegelisahan dan pembacaan ulang identitas dan eksistensi kaumnya untuk dibuahi dalam pergulatan kreatif kedua aktor tersebut. Walau gagasan, pengolahan batin dan emosi belum menubuh dalam totalitas penampilan aktor namun ada satu hal menarik bahwa Lanny menjadikan teater sebagai media untuk menegaskan otoritas individualnya terhadap dominasi medan sosial kebudayaan (patriarkat).
Sementara pentas “Kesurupan” Teater Price yang disutradarai Jhon Tubani merupakan pentas yang terlampau jujur menyajikan kekalapan dalam meraih tambatan makna dan orientasi hidup generasi muda saat ini. Tradisi yang jadi kiblat hari kemarin telampau koyak untuk diraih. Alih-alih memberi harapan, masa kini dan masa depan jadi lebih membingungkan. Realitas lantas dipersepsi sebagai alam kesurupan. Tempat mimpi, ketakutan, kegilaan dibiarkan bertumpuk bagai timbunan barang rongsokan.
“Rekonstruksi Tubuh Dalam Harmonisasi” yang dibawakan oleh Nona Jokaho dan Carolus Djama menjadi teks yang tidak luruh-padu antara gerak dan musik. Penghadiran laki-laki dan perempuan sebagai pasangan hidup seturut kodrat alam akhirnya tidak menggumpal kuat pesan dan maknanya. Gagasan yang tidak menemukan bentuk matang perwujudan pentas akibat dipaksakan untuk hadir sebelum diracik dan dimasak matang dalam dapur persenyawaan proses penciptaan.
TUJUH karya di Kupang Pesta Monolog 2016 dalam ‘kementahan’, keterbatasan dan kekurangannya, mencuatkan carut-marut realitas politik, ekonomi, sosial, budaya di dunia keseharian yang tampak lebih kaya dan mencengangkan oleh kekuatan dramatik teater. Gagasan disemai dan dihidupkan lewat tubuh, pikiran dan batin aktor sehingga memiliki getar, daya dan aura. Menebarkan cekaman dan daya gedor tertentu.
Realitas sosial yang dihidupkan mendapat bentuk, isi dan nyawa dalam subyek aktor merupakan kekuatan perubahan yang lebih mendalam karena berakar pada pemahaman dan penghayatan diri aktor. Dengan demikian kegelisahan lebih mengakar dan menagih untuk ditularkan dalam jaring komunikasi kerja kreativitas teater.
Gagasan dan model perubahan teater efektif dan masif karena berposes ke dalam dan menebar keluar dalam multi-ungkap bahasanya, selain di ditopang oleh kekuatannya sebagai tontonan langsung. Dengan mengambil peran/karakter tokoh tertentu, subyek aktor, meminjam Constantin Stanislavsky, “menghidupkan pengalaman personalnya yang memiliki kesamaan dengan kondisi/situasi sang tokoh”.
Pada titik ini, problem sosial, ketimpangan ekonomi, penelantaran budaya, praktek buruk kehidupan politik, kejahatan korupsi, kolusi dan nepotisme, watak korup para penyelenggara pemerintahan menjadi medan subur pergulatan teater demi mempreteli dan memperlihatkan penyakit mental, sosial dan kemanusiaan yang mendera kehidupan kita.
Kiranya apa yang telah dimulai oleh Ragil Sukriwul, Dominggus Elcid Li dan para pecinta teater di Kupang dapat dipandang sebagai geliat kebudayaan yang berarti di tengah absennya event teater di bumi NTT. Perlu didukung demi perubahan NTT ke arah yang lebih baik dan bermartabat. (T)