Selain DKI Jakarta, sebenarnya banyak daerah bersiap menggelar Pilkada serentak, Februari 2017, termasuk Buleleng, Bali, daerah kelahiran saya. Namun perhatian orang di Indonesia ini seakan tertuju ke DKI. Tentu saja, karena di DKI ada Ahok – sang fenomenal. Ahok membuat pemilihan Gubernur DKI seakan-akan setaraf dengan pemilihan presiden, sehingga seluruh rakyat Indonesia merasa terpanggil untuk terlibat: mendukung atau menolak.
Lebih heboh, pemilihan Gubernur DKI kemudian menyeret nama-nama pemimpin lain seperti Ridwan Kamil, Ganjar Pranowo dan Risma. Bahkan ada yang berupaya untuk mengadu pemimpin yang sudah sukses di daerahnya untuk melawan Ahok di ibukota RI. Kita kemudian mendengar teriakan, “Pemimpin baik jangan diadu!”, dan “Pemimpin baik harus disebarkan!”
Sejatinya semua itu adalah ungkapan kerinduan rakyat Indonesia di semua daerah, rindu akan hadirnya pemimpin yang memberi manfaat, memberi pelajaran buat kita. Misalnya pelajaran tentang bagaimana Ahok mengubah Jakarta. Bagaimana Ridwan Kamil mewarnai Bandung. Bagaimana Risma seperti ibu mengayomi Surabaya.
Lalu Bali? Mana Bali, mana Bali?
Mana pemimpin Bali yang mampu memberi perubahan yang baik buat masyarakatnya, mana pemimpin seperti Ahok yang memberi pelajaran bahwa pemimpin tidak mesti jaim, tidak mesti jaga gestur seakan pemimpin tidak boleh tersentuh debu, tidak boleh marah, atau tidak boleh mengucapkan kata-kata seperti orang kebanyakan. Di Bali, seorang pemimpin bahkan saat mau menghadap Ida Betara ketika odalan di sebuah pura, sepertinya Ida Betara yang harus maklum menunggu pejabat yang datang dengan iring-iringannya. Tidakkah mereka memiliki sensitifitas bahkan saat berada di ruang-ruang religi. Mana pemimpin seperti Ridwan Kamil yang begitu terbuka terhadap ruang-ruang komunikasi dalam membangun Bandung. Coba telisik pilihan kata, bahasa yang dipakai pada release “pengunduran ” dirinya dari kontestasi DKI Jakarta 1.
Dalam release itu jelas sekali Ridwan Kamil menunjukkan kemampuannya, selain lisan, juga komunikasi secara tertulis, sehingga pemikiran-pemikirannya bisa dipahami oleh berbagai golongan. Namun di saat yang sama pemimpin di Bali sibuk dan dengan bangganya menonjolkan kemampuan diri sendiri dari latar apa dia berasal, tanpa membuka ruang terbuka menampung keinginan masyarakat dari berbagai kalangan.
Padahal permasalahan Bali saat ini sangat besar, terutama terkait sumber daya dan sikap mental. Kalau melihat yang terjadi sekarang, rasanya dengan hanya melihat birokrasi PNS saja bisa diketahui betapa kacau sumber daya kita dan lebih kacau lagi pengaturannya. Di SD saya dulu, sekitar tahun 80-an memiliki setidaknya tujuh guru. Tapi di zaman sekarang tidaklah masuk di akal jika gurunya bisa makin sedikit. Sementara di tempat lain, di kantor pemerintahan misalnya, terdapat staf 50 orang PNS dan jumlah pegawai kontraknya sebanyak 54 orang. Ah, ngapain manusia sebanyak ini kumpul di satu kantor? Mungkin saat antar surat harus berlima sekalian.
Banyak yang berkilah soal ini. Misalnya, sekarang ada moratorium rekrutmen PNS, sehingga tak boleh merekrut guru atau PNS seenaknya. Padahal, masalahnya bukan pada rekrutmen PNS yang mengalami moratorium. Bukan. Ini masalah manajemen dan konsen seorang pemimpin. Minus tenaga pengajar kok pegawai kontrak berjubel pada bidang lain yang tidak begitu penting. Buru-buru bicara soal sekolah negeri gratis seperti Jakarta, sekolah negeri di pulau tercinta saya ini justru banyak pembayarannya lebih besar ketimbang sekolah swasta, “Anggaran kita kecil!” Itu dalih lagi. Bagaimana mau anggaran besar jika anggaran dihamburkan hanya untuk memberi bansos kepada orang bayar hutang ke leluhurnya. Bayar utang ke leluhur sesuai konsep Tri Rna kok dibiayai Negara? Lebih kacau lagi bansos diberikan untuk membongkar pura yang sejatinya masih bagus. Bahkan di beberapa kasus, pura dengan arsitektur bernilai sejarah justru diganti dengan ukiran bias melela (ukiran berbahan pasir laut) atau batu tabas hanya agar proyek berjalan terus. Kita di Bali terjebak dalam siklus buruk ini. Dan saat seperti inilah semestinya bisa hadir pemimpin yang menjadi panutan, yang mengajarkan kita dengan laku sehingga kita paham mana pantas mana tidak.
“The whole problem with the world is that fools and fanatic are always so certain of themselves and wiser people so full of doubts” demikian kata Bertrand Russel.
Bahkan saat ini, kita belum bisa jadi pemimpin karena masih belum bisa memilih pemimpin yang baik dan tidak peragu.
“Pilihan kita sedikit karena dikooptasi partai politik!” Hahaiii, giliran kita ikut berdalih.
Jangan suka berdalih. Kini, mari belajar mencetak pemimpin mulai dari diri sendiri, karena sejatinya pemimpin itu diciptakan. (T)