- Judul: Petang di Taman
- Naskah: Iwan Simatupang.
- Produksi: UKM Teater Kampus Seribu Jendela Undiksha
- Sutradara: Gek Santi
- Pemain: Satria Aditya sebagai orang tua, Indra Putra sebagai lelaki paruh baya, Ritayanti sebagai pencita balon, Wahyu Gitari sebagai perempuan
- Penata Panggung: Jagaditha Ari, Eva Lidyantari
- Penata Musik: Arie Purnama
- Penata Lampu: Dwi Antari
.
Suara batuk menyentak — batuk yang bisa ditebak milik seorang kakek. Petikan gitar yang menghanyutkan. Lampu netral menembak dekorasi di tengah panggung. Lalu mulai terlihatlah sebuah kursi di atas panggung yang bisa kita bayangkan sebagai sebuah kursi taman.
Daun-daun kamboja kering berserakan di lantai panggung. Beberapa tumbuhan dalam pot plastik yang disandingkan dengan bunga-bunga palsu berwarna terang. Tulisan besar “Dilarang Memetik Bunga” menancap pada salah satu pot plastik.
Dan dua buah lampion dengan pencahayaan flash handphone. Begitu sederhana tapi cukup merubah sebuah tempat parker mejadi sebuah taman. Cahaya biru dari balik tumbuhan pot membuat efek yang bagus dilihat dari tempat penonton yang memandang lurus ke panggung.
Begitulah pementasa teater “Petang di Taman” karya Iwan Simatupang dibuka pada malam, Rabu, 3 Maret 2019, di ruang basement Kampus Bawah Undiksha Singaraja.
Pementasan itu adalah lanjutan dari Pelatihan Dasar Teater (PDT) UKM Teater Kampus Seribu Jendela.
Hari itu memang hari istimewa dengan rasa yang beraneka bagi angkatan Teater Kampus 2016, 2017 dan angkatan 2018 sebagai penggarap utama pementasan teater itu.
Persiapan dilakukan selama dua minggu setelah workshop mengenai dasar-dasar teater yang mereka dapatkan dalam PDT. Waktunya memang lumayan ketat untuk mempersiapkan sebuah pementasan pertama.
Saat itu ada dua naskah yang dibawakan yaitu; Petang Di Taman karya Iwan Simantupang dan Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi karya Gusmel Riyadh.
Pementasan ini bolehlah disebut sebagai sebuah presentasi seusai workshop Pelatihan Dasar Teater. Jadi, pementasan itu masih dalam rangkaian Pelatihan Dasar Teater. Usai pelatihan, pementasan memang dilakukan oleh angkatan baru pada tiap tahunnya.
Mereka akan menerapkan ilmu-ilmu atau pengetahuan-pengetahuan dasar dalam perteateran yang diperoleh saat workshop dalam penggarapan yang dilakukan. Kata beberapa kakak-kakak angkatan, tidak apa jikalau pementasannya tidak terlalu bagus dan mendapat banyak kritik. Itu malah akan sangat bagus dan membatu untuk kedepannya.
Tempat pementasan dipilih basement Kampus Bawah Undiksha dengan beberapa pertimbangan sederhana tentunya. Persiapkan penataan pangung sederhana adan persiapan pemain dilakukan dari pukul 13.00 WITA.
Saya mengunjungi mereka melakukan persiapan dan sampai di kampus saya tertegun melihat bagaimana mereka mempoles para pemain. Polesannya mungkin sudah setara dengan para MUA film Avenger haha.
Pementasan pertama Petang di Taman. Ada empat pemain dalam pemenatasan itu, yakni tiga lelaki (orang tua yang dimainkan oleh Satria Aditya, lelaki paruh baya oleh Indra Putra, dan pencita balon oleh Ritayani) dan satu wanita yang dimainkan Wahyu Gitari.
Nampaknya mereka kekurangan satu pemain lelaki. Tapi pengakalannya bagus dan berani untuk pementasan pertama. Si gadis pengganti salah satu pemain pria, yakni pecinta balon, menngunakan baju biru over size dan celana kodok guna mengakali buah dadanya. Dan penambahan topi untuk menutupi rambut panjang si gadis.
Pementasan memang dibuka dengan cukup tertata, dimulai dengan suara batuk, suara gitar, lampu dan kursi. Penata musik Arie Purnama, penata panggung Jagaditha Ari dan Eva Lidyantari, serta penata lampu Dwi Antari, tampaknya cukup membantu sutradara, Gek Santi, dalam menyukseskan pementasan itu sejak awal.
Setelah pementasan dibuka, pemain kemudian bergantian masuk panggung. Pangungnya yang terbilang sempit, karena terbatas oleh cahaya dan dekorasi. Tapi para pemain bagus dalam mengatur pola gerak mereka, dan pemposisian diri hingga tidah membloking satu sama lain.
Naskah ini berat, banyak simbol-simbol yang diletakan oleh penulis. Tapi pengalian naskah yang tidak dalam malah membuat pementasan mereka mudah untuk dicerna. Bahkan mereka tidak melakukan penggantian adegan. Lagi-lagi sedehana tapi nikmat ditonton.
Banyak adengan dimana pemain beradu argumen. Nada yang tinggi, bahkan dua suasana kacau yang bertemu dalam satu adegan. Seperti saat si orang tua meraung-raung sambil memanggil nama Mince, sementara perempuan dan lelaki paruh baya sedang bersitegang.
Suara mereka tidak saling ,menindih satu sama lain. Back sound memperjelas suasana pada tiap adengan sesuai dengan naskah. Petikan gitar terus mengiringi selama permainan berkangsung dipanggung. Efeknya permainan jadi lebih hidup, dan tidak membosankan.
Pencahayaan yang menggunakan tiga warna lampu. Peletakannya bagus sesuai dengan kebutuhan. Saat menembakan lampu warna merah kearah pemain, warna netral tetap mereka gunakan. Bagus, membuat panggung dan wajah pemain tidak menjadi remang, tetap jelas dilihat.
Ini adalah paragraf penutup pada tulisan saya ini hehe. Dalam sesi diskusi mereka mendapat beberapa kritik, yang menambah pengetahuan mereka. Seperti pengalian atau bedah naskah lebih mendalam. Bersyukur sekali rasanya mereka mendapat kritikan dari orang-orang yang sudah keren dan bergelut lama di teater.
Semoga bekal-bekal semacam itu makin banyak didapat. Membuat Teater Kampus jadi berbudaya. Haha. [T]
BACA JUGA: