Menjadi guru tak pernah mudah. Guru dititipkan tugas oleh Negara untuk mendidik manusia, bersama keluarga dan masyarakat tentunya. Artinya, di sekolah, guru memiliki tanggung jawab bukan hanya mengembangkan otak, tapi juga akhlak.
Memikul tanggung jawab macam itu sepertinya bukan urusan yang mudah. Apalagi harus berhadapan dengan generasi yang, menurut teori generasi, “susah diatur”. Segala daya dan upaya harus dilakukan untuk setidaknya mengarahkan siswa tentang mana yang boleh dan tak boleh dilakukan.
Saat sedang mengarahkan dan saat itu juga yang diarahkan tak suka, perlawanan atau ketidakterimaan tentu saja datang. Bukan hanya dari siswa, bahkan juga dari orang tuanya, yang dalam beberapa kasus yang terungkap di media berujung dengan urusan kepolisian. Itu semakinmenambah rumit persoalan mendidik ini.
Belum lagi karena faktor lain, misalnya, kemajuan teknologi dan informasi, yang disadari atau tidak telah memberikan kontribusi terhadap sikap siswa. Rasa segan dan patuh kepada guru menguap karena guru, sepertinya, tidak lagi dipandang sebagai sumber ilmu utama. Artinya, tanpa mengikutiperkataan guru-pun siswa sudah bisa mendapatkan sesuatu yang mungkin saja lebih banyak daripada yang dimiliki gurunya. Jadi, sederhananya, siswa tidak lagi menemukan alasan mutlak untuk selalu mengikuti perkataan guru.
Semuanya menjadi semakin rumit karenadalam persoalan mendidik ini sekolah, keluarga, dan masyarakat sepertinya belum bersinergi. Sehingga, tugas mendidik terkesan dititikberatkan hanya pada guru di sekolah. Padahal, meski dengan durasi delapan jam di sekolah, setelah dipotong waktu siswa beristirahat, mayoritas waktu siswa dalam satu hari masih ada di keluarga dan masyarakat.
Menjadi guru tak pernah mudah. Paradigma pendidikan saat ini juga menugaskan guru untuk menyediakan lingkungan belajar yang mampu mengembangkan potensi yang ada di dalam diri siswa. Tujuannya adalah mereka berdaya dari sudut pandang sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Kira-kira begitu intisari yang tertuang di dalam kurikulum pendidikan.
Faktanya, memasuki ruang kelas dan bertemu dengan puluhan manusia yang memiliki isi kepala dan gaya belajar yang beraneka rupa bukanlah perkara biasa-biasa saja. Ditambah harus menyediakan lingkungan belajar yang mampu mengembangkan potensi di setiap isi kepala itu membuat urusannya semakin tidak biasa-biasa saja. Belum lagi karena durasi pembelajaran yang terbatas dan materi yang begitu rapat dan merayap, dan semuanya harus diselesaikan.
Menelisik titik temu antara potensi siswa, durasi, dan materi pembelajaranuntuk menyediakan lingkungan belajar yang tepat adalah sesuatu yang membingungkan. Banyak hal yang harus dipertimbangkan, disiapkan. Mempertimbangkan segala macam situasi, menyiapkan segalabentuk keperluan administrasi. Dari Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), Lembar Kerja Siswa (LKS), hingga soal evaluasi ditambah rubrik penilaiannya.
Di kelas, tak jarang praktik pembelajaran justru menunjukkan hal yang tak serupa dengan rencana yang telah disiapkan. Kendati sudah diupayakan sekuat tenaga untuk mengakomodir semua potensi dan gaya belajar siswa, tetap saja akan ada siswa yang merasa tak sesuai dengannya. Itu akan berdampak pada proses belajarnya yang menjadi tak optimal.
Olehnya, selain telah menyusun siasat pembelajaran yang matang, guru dituntut tetap memiliki rencana B. Bahkan C, D, E, F, Dst (dan seterusnya) agar pembelajaran tetap berjalan dengan baik saat seketika situasi menjadi tak sesuai dengan rencana awal. Agar siswa tetap mau dan nyaman belajar.Guru juga diharuskan memiliki kesiapan respon terhadap situasi tak terduga.Karena, hari ini, apa saja bisa terjadi di ruang kelas, bahkan situasi yang sebelumnya dianggap tak mungkin sekalipun.
Hal ini mungkin tak banyak diketahui oleh pihak lain di luar lingkaran keguruan. Orang di luar sana boleh saja berpikir bahwa menjadi guru itu mudah. Guru hanya perlu masuk ke dalam kelas, berceramah, dan memberikan tugas kepada siswanya. Setelahnya, dapat ditinggal ke luar lalu masuk lagi menjelang jam pelajaran usai. Pendapat semacam itu memang ada benarnya, karena, harus berani diakui, ada oknum guru semacam itu. Tetapi, bukan begitu benarnya.
Menjadi guru tak pernah mudah. Ada perbedaan yang dialami saat berkomunikasi secara langsung dan tidak langsung dengan manusia. Misalnya, ada orang yang begitu garang di media sosial tetapi saat harus berbicara langsung secara personal ataupun di depan umum mendadak menjadi pribadi kalem. Atau, ada orang yang begitu cerewet saat berkomunikasi melalui WhatAppdan seketika pendiam saat berbincang langsung.
Itu karena berkomunikasi secara langsung dengan manusia membutuhkan sentuhan emosional.Sentuhan itu akan memperkuat pesan yang ingin disampaikan lewat lisan, juga mengurangi risiko ketersinggungan dan kesalahpahaman. Misalnya dengan kontak mata, gestur, mimik, hingga intonasi suara. Sayangnya, itu tak mudah bagi semua orang, setidaknya apabila berkaca pada dua kasus di awal.
Dalam hal ini, guru ada di posisi itu, setiap hari harus berhadapan dan berkomunikasi langsung dengan manusia, siswanya. Konsekuensinya, sentuhan emosional menjadi syarat yang agaknya mutlak. Artinya, di ruang kelas, guru harus memastikan bahwa ada kontak mata yang baik, ada gestur yang enak dipandang, ada mimiknya yang nyaman dilihat, dan tentunya ada pilihan-pilihan kata yang sesuai dengan keadaan siswa.
Tujuannya adalah pesan yang ingin disampaikan guru menyentuh tidak hanya ke otak, tapi juga ke perasaan siswa. Pesan yang sampai di otak dan perasaan akan memunculkan internalisasi di dalam diri. Dan, memang itulah esensi pembelajaran, internalisasi, setidaknya menurut teori belajar konstruktivisme. Sehingga, pada akhirnya tujuan pembelajaran akan tercapai.
Upaya melakukan itu tentu menghadapi berbagai tantangan, satu yang paling dekat adalah tantangan dari diri guru itu sendiri. Memberikan sentuhan emosional yang baik setiap hari dan berulang tentu merupakan perkara yang berat di tengah tidak adanya jaminan bahwa setiap hari guru ada dalam keadaan emosional yang stabil.
Hal itu karena sebelum memberi sentuhan emosional yang baik kepada orang lain, si pemberi harus memastikan dirinya dalam kondisi emosional yang baik pula. Dalam hal ini, guru seperti harus atau sering bersandiwara, dengan ataupun tanpa masalah emosional pada dirinya, di hadapan siswa, guru harus selalu tampak baik-baik saja. Ini berat. [T]