25 November 2018 adalah hari pertama diselenggarakanya workshop tari Butoh bersama Katsura Kan, yang kebetulan adalah salah satu maestro Butoh dari Kyoto, Jepang. Katsura sebut sebagai pembelajaran “Listen with the Body”, Katsura akan mengajak berlatih untuk memahami “tingkah laku misterius” yang tersembunyi dalam kehidupan sehari-hari, lalu menciptakan koreografi dan laku performatif yang menarik di sana. Workshop ini diselenggarakan oleh Kalanari Theatre Movement bertempat di Omahkebon Nitiprayan, Jogjakarta.
Di hari pertama latihan, di sini saya sebelumnya harus mengenalkan diri terlebih dahulu. Guna mempermudah sang maestro menyesuaikan dan mengetahui kompoisi tubuh yang saya punya, tergantung latar belakangnya.
Setelah itu saya dan beberapa peserta workshop lainya diberikan suatu arahan, untuk mengikuti intruksi dari Katsura. Dia memberikan satu koreo dengan enam belas gerakan, kemudian tiap peserta harus menghapal itu.
Setelah menghapal, satu-persatu peserta diberikan kesempatan menampilkan koreo itu. Tapi dengan tempo berbeda dari satu perseta dengan peserta lainya. Menarik sekali latihan ini, ketika tiap peserta tampil dengan tempo mereka sendiri untuk enam belas gerakan tadi. Ada dengan tempo sedang, ada yang cepat, lambat, dan ada yang lambat kemudian semakin cepat.
Di sana saya merasakan perbedaan ketika salah satu peserta tampil, kemudian yang lain mengikuti. Saya semakin sadar dan paham maksud Katsura bahwa setiap orang memang mempunyai beberapa perbedaan, tergantung latar belakang mereka masing-masing.
Katsura juga sempat memberitahu, bahwa tari butoh di tahun 90-an memang diciptakan hampir sebagian besar gerakanya adalah improvisasi. Tetapi improvisasi yang bagaimana maksudnya? Kemudian dia menjelaskan tentang improvisasi, baginya improvisasi sebenarnya adalah sangat membebaskan tubuh bergerak, tanpa ada perlawanan dan tujuan tertentu.
Lalu bagaimana bisa sampai terjadi pada beberapa tarian Butoh yang terkoreografi jika seperti ini? Sebentar, ada yang terlewatkan. Sebelum sampai pada tujuan tersebut, akhirnya Katsura kembali memberikan satu pengarahan. Yang saya sebut mungkin namanya pemanasan atau peregangan otot, sekaligus memanjakan tubuh yang sangat jarang saya sadari dan lakukan pada pemanasan biasanya.
Gerakanya sangat sederhana hampir sama seperti pemansan atau peregangan otot ketika mendapat pelajaran olahraga dahulu di sekolah, hanya ada beberapa tambahan dan perbedaan. Bedanaya adalah, ada beberapa gerakan Katsura sesekali memijat-mijat beberapa bagian yang selesai diregangkan.
Di sini saya merasakan hal berbeda dari pemanasan dan peregangan otot yang biasa saya lakukan sebelumnya, ada sensasi lain ketika diregangkan kemudia di pijat. Gerakannya kecil saja dan pelan, tetap dengan hitungan sebagaimana pemanasan saat pelajaran olahraga dulu di sekolah. Tapi setelah dipijat saya dapat merasakan bagaimana otot-otot itu mengalir dan bekerja, dan terasa nyaman. Saya menyebutnya gerakan ini adalah memanjakan tubuh.
Setelah selesai pemanasan yang saya sebut sebagai memanjakan tubuh itu, kemudian kami diajarkan berjalan dengan natural atau berjalan dengan keseharian. Sangat susah ternyata, walaupun terlihat begitu gampang dan Katsura pun bilang begitu.
Lalu kami diintruksikan untuk mencari pasangan, dengan tujuan salah satu dari pasangan tersebut menjadikan natural untuk teman pasanganya secara bergantian mengarahkan dan memberi contoh, pokoknya senatural mungkin untuk pasangan itu sendiri. Setelah kami semua selesai pada pasangan kami sendiri, dan yakin bahwa yang kami lakukan adalah yang paling natural. Disini terjadi penemuan menarik, bahkan akhirnya timbul beberapa perbedaan cara berjalan dari tiap peserta.
Walaupun aslinya yang saya rasakan malah justru tidak nyaman dan tidak natural setelah di ubah dan di arahkan oleh teman pasangan sendiri. Tetapi bagi teman saya itu adalah yang paling natural berada dalam tubuh saya sendiri ketika berjalan. Entah pasangan saya merasakan hal itu atau tidak, saya tidak paham. Karena saya juga demikian banyak merubah caranya dia berjalan, untuk menghasilkan sesuatu natural yang saya amini. Ini semacam pertanyaan dan teka-teki yang timbul pada pikiran saya, mantappp!
Saya menjadi banyak mendapat pembelajaran dan penemuan di sini. Setelah itu, jalan yang kami anggap dan sudah kami sepakati sebagai natural tadi, Katsura mengarahkan untuk mencoba memberikan tempo pelan, pada gerakan berjalan tersebut. Di sini malah justru terlihat berbeda, yang tadi kesannya kami anggap natural malah justru sebaliknya. Tetapi saya malah tertarik, karena ketika diberikan tempo pelan dan dilambatkan ternyata menimblkan gestur yang berbeda. Walaupun kesan nauralnya hilang.
Secara tidak langsung saya sadari Katsura memberikan teka-teki kembali, dengan cara menekankan bahwa sebenarnya selalu ada alasan di setiap beberapa perbedaan cara jalan kami, baik ketika berjalan biasa yang sudah ditata oleh pasangan itu sendiri dan ketika temponya di lambatkan. Apa yang dia maksud sebagai alasan itu? Saya dan pasangan saya kembali melanjutkan latihan berjalan natural tersebut, dengan tempo sedang dan dilambatkan. Hingga sampai pada beberapa titik, saya menyadari dan menemukan jawaban apa arti alasan tersebut.
Bahwa menurut dan pengaminan saya, alasan yang dia maksud adalah sebuah kesadaran mengakui pada diri sendiri bahwa kita berjalan dan memang sedang berjalan, seperti kejujuran terhadap diri sendiri. Semakin tertarik saya dengan apa yang akan Katsura berikan selanjutnya.
Setelah dianggap selesai oleh Katsura tentang latihan berjalan tadi, selanjutnya kami diajarkan tentang yang Katsura sebut sebagai “Atmosfer”. Yang dimiliki oleh setiap seseorang sejak lahir, dan berbeda-beda bentuknya. Bisa kita lihat perbedaan tersebut dari bagian bentuk wajah, gestur tubuh, dan penampilanya.
Lalu kami diarahkan kembali untuk bergerak atau menari dengan tedensi mengejar kelembutan suatu benda, tergantung yang kami bayangkan di sekitaran atau di keseharian. Setelah saya rasa paham dan mengerti tentang apa yang harus saya kerjakan dan dibayangkan, kami dibagi menjadi beberapa kelompok yang terdiri dari tiga orang peserta. Tapi kali ini tugas kami berbeda dari sebelumnya, bukan untuk mengubah gerakan yang sudah tiap peserta sepakati tentang gerakan kelembutan. Melainkan hanya memerhatikan atau mengamati secara detail dan lebih dekat, bagian mana yang terliat lembut dan tidak lembut.
Katsura memberikan contoh, misalnya sering sekali terjadi jika bagian dari perut hingga ke atasnya sudah terlihat lembut, tapi pada bagian bawah paha hingga ke bawahnya masih terlihat tidak lembut atau kaku. Atau hampir seperti kuda-kuda kalau saya artikan.
Setelah itu, kami kembali dipersilahkan memerhatikan dan mengamati kelompok kami sendiri. Dengan cara bergantian, satu bergerak dan yang dua memerhatikan. Tetapi kali ini boleh sambil mengarahkan bagian mana yang masih kaku seperti menurut Katsura tadi, hanya tidak boleh mengarahkan dengan suara cukup di sentuh atau didorong pelan saja.
Setelah salah satu dari kelompok kami selesai, Katsura mengarahkan kepada kami untuk memperbincangkan atau diskusi kembali tentang yang kurang dari salah satu kelompok kami, menurut dua orang yang memerhatikan tadi. Setelah selesai di diskusikan, bergantian untuk bergerak sampai semua mendapat giliran. Ternyata tidak semudah apa yang saya rasakan, ketika mengarahkan teman saya dan ketika saya yang bergerak. Jauh sekali dari kata mudah bagi saya, dan Katsura pun mengakui hal itu juga. Tapi saya curiga, jangan-jangan ini taktik dia untuk mencari pengetahuan dan kesadaran itu sendiri dari beberapa perbedaan di tiap kelompok.
Karena dari sesi sebelumnya saya merasakan bahwa Katsura selalu ingin seperti memberikan teka-tekinya untuk kami mencari sendiri jawaban dan kesadaranya. Karena itu jelas terlihat, apalagi ketika kami di arahkan untuk bergerak secara lembut bersamaan perkelompok dan tidak bergantian lagi, sedangkan kelompok lain menyaksikan. Di sini kesadaran saya pribadi memahami tubuh saya dan tubuh teman saya yang sudah diperhatikan tadi, ternyata lebih dari perkiraan saya.
Ada tiga atmosfer berbeda-beda dari kami bertiga, kemudian menjadi satu-kesatuan pada ruang tersebut. Karena sebelumnya secara tidak langsung kami sudah membicarakan dam memahami, apa yang saya punya dan dari teman kelompok saya masing-masing. Itu sangat saya rasakan ketika bergerak, kami masing-masing sudah paham dan ingin memunculkan diri kami sendiri, kemudian saling mengisi kekurangan dari teman kelompok kami. Dengan tujuan memberikan suatu atmosfer kepada penonton dan ruang tersebut. Gila! Teka-teki macam apa ini?
Kemudian setelah semua kelompok selesai menampilkan satu-persatu seperti yang kami lakukan, kami kembali diarahkan meregangkan otot sambil memijat-mijatnya. Yang saya sebut sebagai memanjakan tubuh tadi.
Setelah itu Katsura menyudahi dan menutup workshop untuk hari pertama ini, karena tidak terasa jam sudah menunjukan untuk waktunya selesai. Kemudian saya berpikir kembali, tentang rasa penasaran dan rasa ingin tahu saya. Bagaimana bisa tari Butoh yang tadinya penuh dengan improvisasi akan menjadi koreogafi? Saya rasa ini juga adalah bagian dari teka-teki Katsura, untuk saya cari tahu sendiri. Semakin semangat saja saya mengikuti workshop selanjutnya di hari kedua, untuk mengetahui dan memecahkan teka-teki yang Katsura susun.
Saya rasa sampai di sini dulu pengalaman saya mengikuti workshop Butoh dari Katsura Kan di hari pertama. Karena saya agak merasa lelah dari pagi perjalanan dari Bali menuju Jogja, siangnya langsung workshop hingga sore hari. Kemudian megadang untuk menulis ini “pamer bedik yen cang lagi jogja”. Salam dari aktor masa depan, dan selalu curigai hal sekitar ya hahahaa. (T)