TAK salah jika Pemerintah Kota Denpasar dan Pemerintah Provinsi Bali menganugerahkan penghargaan kepada Almarhum I Gusti Made Peredi, salah satu seniman Kota Denpasar, karena ia memang sangat layak untuk diberi penghargaan.
Semasa hidupnya I Gusti Made Peredi tinggal di Jalan Mayor Wisnu, Gang 1/6 , Abasan, Desa Dangin Puri, Denpasar Timur. Dan selama hidupnya juga ia telah menerima banyak penghargaan, antara lain penghargaan Seni Kerti Budaya Kota Denpasar (2004), penghargaan Seniman Tua (2007) dan Piagam Dharma Kusuma (2008) dari Gubernur Bali.
Ia layak mendapatkan penghargaan, karena selain menghasilkan ribuan karya seni rupa, juga karena kesenimannya memberi pengaruh besar terhadap perkembangan seni rupa di Bali.
“Setelah kami data dan kumpulkan, ternyata karya Ajik Gusti Peredi ada sebanyak 2.617 karya yang kini kami simpan rapi di rumah,” kata I Gusti Ngurah Dwiana Putra, anak kedua Gusti Peredi saat diajak membicarakan karya-karya Gusti Peredi di rumahnya, di Denpasar Timur, Senin 5 Mei 2025.

Perupa I Gusti Made Peredi | Foto: Dok. keluarga
Karya-karya Gusti Peredi itu antara lain berupa sketsa sebanyak 2.234 lembar, 39 buah lukisan kanvas hitam putih, 97 buah lukisan kanvas cat minyak, 247 buah lukisan kertas pastel kapur, dan 1 lembar langse (semacam tirai) bergambar wayang.
Gusti Dwiana Putra, sebagai anak yang berbakti, memang punya tanggungjawab untuk merapikan kembali karya-karya ajiknya (ayahnya). Belakangan ia sibuk merapikan karya-karya ajiknya dengan penuh kehati-hatian.
Semua karya seni rupa Gusti Peredi dibuat sejak tahun 1956 hingga 2016. Oleh Gusti Dwiana Putra, karya-karya itu dikumpulkan untuk dikoleksi dan dibuatkan ruangan khusus, seperti sebuah galeri kecil yang sangat sederhana berlokasi di rumahnya.
Gusti Dwiana Putra mengumpulkan karya-karya Gusti Peredi sejak tahun 2022. Karya-karya itu dibuat tidak hanya terbatasi pada satu medium dan satu alat. Ada lukisan dari kapur, pastel, cat air, cat minyak, hingga tinta tradisional (mangsi).
Meski dibuat dengan beragam media, karya-karya Gusti Peredi menunjukkan kekentalan ciri pada warna, garis, dan penjiwaan yang tak jauh-jauh dari dunia pesisir yang sangat kental. Itu karena Gusti Peredi memang lama tinggal di wilayah pesisir selatan Bali.
“Pilihan media Ajik (Ayah) berubah mengikuti fase hidupnya, yakni masa kecil, kuliah, hingga usia senja,” kata Dwiana Putra menjelaskan karya-karya ajiknya.
Kehidupan Gusti Peredi sangat dekat dengan laut. Ia kerap melukis secara langsung di pantai, seperti di Pantai Kuta, Jimbaran, Nusa Dua dan Pantai Benoa. Panorama pesisir dan kehidupan masyarakat sekitarnya menjadi tema dominan dalam karyanya. Gaya lukisnya naturalis, terkadang dekoratif, namun tetap mencerminkan napas Bali yang kuat.

I Gusti Ngurah Dwiana Putra menunjukkan karya-karya Gusti Peredi | Foto: Bud
Gusti Peredi, sebagai perupa atau pelukis, tumbuh sebagai seniman otodidak, namun bisa dibilang kaya guru. Sebab, ia tidak pernah belajar secara formal dengan satu tokoh, namun mampu menyerap ilmu dari berbagai seniman seangkatannya seperti I Gusti Ngurah Gede (Sidik Jari), Pak Kasim, dan gurunya Pak Rai Kalam. Ia juga dekat dengan seniman seperti Ajik Suwandi dan Raka Pasta, yang turut mempengaruhi eksplorasi medianya.
Gusti Peredi merupakan anak kedua dari empat bersaudara yang lahir dari pasangan I Gusti Made Raka Ngetis, seorang seniman ukir, dan Jro Kayen, seorang penenun dari Tatasan.
Selain melukis pantai secara realis, Gusti Peredi juga menghidupkan wayang dan karang dalam gambar-gambarnya. Panorama alam, dan lukisan wajah-wajah binatang, raksasa, dan bentuk karang tradisional Bali, seperti karang guak, karang raksasa, karang gajah, hingga rangda dan barong landung, merupakan karya-karyanya dieksplorasi secara giat.
Menariknya, ia mampu menciptakan bentuk yang hidup dan khas, bahkan berbeda dari gaya klasik Kamasan. “Itu karena Ajik menyisipkan unsur anatomi dan pendekatan personal dalam pewayangan yang digambarnya,” tutur Dwiana Putra.
Sebagai keturunannya, Dwiana Putra mengaku bangga ajiknya tetap punya jiwa idealis, dan tidak komersial dalam berkarya. Meski karya-karyanya diminati hingga luar negeri, termasuk oleh kolektor asal Jerman, ia tidak pernah membawa lukisan ke galeri untuk dijual. Ia lebih sering berpameran, seperti di Pesta Kesenian Bali (PKB).
“Ajik tidak ngacung gambar, begitu katanya, menolak menilai karyanya dengan uang, serupa dengan prinsip seniman Ida Bagus Poleng,” kata Dwiana Putra tentang ajiknya.
Gusti Peredi merupakan seorang pendidik dan penjaga tradisi banjar. Ia sebagai pengajar di SD hingga SMSR Batubulan. Menariknya, ia tidak hanya mengajar di kelas, tetapi juga di lingkungan rumah. Ia aktif menularkan keterampilan seni kepada para pemuda banjar.
“Sekitar 70 persen pemuda di sekitarnya belajar natah (mengukir) langsung dari Ajik. Karena Ajik juga aktif membuat kober, tangkeb rangda, dan ornamen lainnya untuk keperluan upacara di griya dan banjar,” kata Dwiana Putra.

Gusti Peredi lahir 1 Mei 1942 dan meninggal pada 20 Januari 2022. Meski Gusti Peredi sudah tiada, namun warisan karyanya terus hidup lewat ribuan sketsa, lukisan, dan semangat yang tertanam dalam generasi muda yang pernah disentuhnya. Dalam garisnya, dalam warnanya, dalam setiap guratan ogoh-ogoh dan wayang yang ia hidupkan, Peredi adalah kisah tentang kesetiaan pada seni, alam, dan budaya Bali yang tak lekang oleh waktu.
Gusti Peredi sempat mengajar, berpameran, dan menciptakan karya untuk kampanye politik pada zamannya. Keluarganya aktif dalam komunitas dan ikut serta dalam pembangunan Museum Bali melalui peran keluarganya dari Jro Kepisah.
Garis keturunan seni ini makin kuat dengan keberadaan istri dan anak-anaknya yang turut melanjutkan karya-karya budaya keluarga, termasuk anaknya Dwiana Putra yang kini menjadi arsitek dan penerus pembuat kober (bernilai sakral).
“Mengenal Ajik Gusti Peredi seperti zaman yang terbingkai. Di mana kiprahnya membentang dari masa muda hingga pensiun,” kata Dwiana Putra menutup obrolan. [T]
Reporter/Penulis: Nyoman Budarsana
Editor: Adnyana Ole
- BACA JUGA: