DESA wisata adalah ujung tombak pariwisata kita. Dari Sabang hingga Merauke, desa-desa wisata telah menunjukkan bahwa Indonesia bukan hanya memiliki keindahan alam, tetapi juga masyarakat yang ramah dan berdedikasi dalam mengembangkan daerahnya.
Pernyataan di atas disampaikan oleh Menteri Pariwisata, Widiyanti Putri Wardhana saat memberikan sambutan dalam acara Malam Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI) 2024. Menurutnya, pengelola dan warga desa wisata untuk terus berinovasi dan berkomitmen dalam mengembangkan potensi desanya. Ia juga berjanji untuk mendukung dan memastikan keberlanjutan program desa wisata.(Marketeers.com, 19/11/2024).
Benarkah desa wisata menjadi ujung tombak pariwisata Indonesia seperti dinyatakan Menteri Pariwisata? Bagaimana perkembangan desa wisata dalam industri pariwisata Tanah Air? Akankah desa wisata mampu bersaing dengan destinasi wisata yang telah mapan?
Desa wisata memang memiliki potensi besar untuk menjadi ujung tombak pariwisata Indonesia, terutama dalam menghadapi tuntutan wisatawan akan pengalaman yang lebih autentik dan berkelanjutan. Apalagi belakangan tren kunjungan ke desa wisata juga mulai meningkat seiring dengan isu wisata hijau.
Desa wisata berkontribusi dalam diversifikasi sektor pariwisata, mendukung perekonomian lokal, dan melestarikan budaya serta lingkungan. Namun, untuk benar-benar menjadi ujung tombak, desa wisata harus mengatasi berbagai tantangan terkait infrastruktur, pengelolaan, dan pemasaran yang lebih baik.
Di sisi lain, desa wisata berpotensi besar untuk dieksploitasi oleh investor, terutama mengingat potensi ekonomi dan pengembangan infrastruktur yang ditawarkan. Kendati , eksploitasi yang dilakukan secara tidak bijaksana dengan mengabaikan aspek sosial, budaya, dan lingkungan dapat merusak keunikan desa wisata itu sendiri.
Oleh karena itu, pengembangan desa wisata harus dilakukan dengan prinsip keberlanjutan, dengan melibatkan masyarakat lokal dan memastikan bahwa mereka mendapat manfaat langsung dari sektor pariwisata. Tanpa itu semua, desa wisata hanya akan menjadi ujung tombak pariwisata yang tumpul.
Peran Desa Wisata
Desa wisata adalah desa yang mengandalkan potensi alam, budaya, dan tradisi lokal sebagai daya tarik utama untuk wisatawan. Konsep desa wisata semakin berkembang, terutama dengan meningkatnya minat wisatawan terhadap pengalaman autentik dan keberlanjutan.
Salah satu kontribusi utama desa wisata adalah pemberdayaan masyarakat lokal, dengan menciptakan peluang kerja dan mendongkrak perekonomian desa melalui sektor pariwisata. Banyak desa wisata yang berhasil meningkatkan pendapatan masyarakat melalui homestay, usaha kerajinan tangan, atau pertanian organik yang dijual kepada wisatawan.
Desa wisata memiliki peran penting dalam diversifikasi dengan menawarkan pengalaman yang berbeda dibandingkan dengan destinasi wisata massal seperti Bali atau Jakarta. Dengan keunikan budaya dan alam, desa wisata memperkaya pilihan wisatawan yang mencari pengalaman yang lebih intim dan autentik.
Peran desa wisata adalah menjaga keberlanjutan lingkungan dan budaya. Desa wisata menjaga tradisi lokal sambil memanfaatkan potensi alam untuk pariwisata yang ramah lingkungan. Desa wisata di Kabupaten Bantul, Yogyakarta misalnya, menjaga tradisi lokal sambil memanfaatkan potensi alam untuk pariwisata yang ramah lingkungan.
Tantangan
Menjadi ujung tombak pariwisata nasional, desa wisata dihadapkan dengan banyak tantangan. Keterbatasan infrastruktur adalah problem klasik desa wisata. Kebanyakan desa wisata terletak di daerah yang jauh dari kota besar dan memiliki infrastruktur yang terbatas, baik dalam hal akses transportasi, fasilitas akomodasi, maupun sarana pendukung lainnya.
Pembenahan infrastruktur menjadi tantangan tersendiri bagi pengembangan desa wisata. Banyak desa wisata yang terisolasi dengan akses jalan yang buruk. Lemahnya infrastruktur dapat membatasi potensi desa wisata untuk berkembang dan bersaing dengan destinasi wisata yang sudah mapan.
Dari sisi pengelolaan, masih banyak desa wisata yang belum profesional. Masyarakat lokal yang terlibat dalam mengelola desa wisata memiliki keterbatasan dalam hal manajerial, pemasaran, atau pelayanan wisata. Tidak sedikit desa wisata mengandalkan sistem manajemen yang sederhana atau belum memanfaatkan teknologi digital untuk pemasaran.
Tidak heran jika wisatawan lebih memilih mengunjungi destinasi wisata yang telah mapan. Selain infrastruktur lengkap dan daya tarik yang sudah dikenal luas, destinasi wisata yang telah mapan juga memiliki beragam fasilitas. Oleh karenanya desa wisata sulit untuk bersaing.
Jika desa wisata hendak dijadikan ujung tombak yang tidak tumpul, maka pemerintah dan pihak swasta harus bekerja sama untuk meningkatkan infrastruktur di desa wisata, seperti memperbaiki akses jalan, menyediakan fasilitas publik yang lebih baik, dan meningkatkan kualitas akomodasi di desa.
Profesionalisme pengelola desa wisata juga perlu terus ditingkatkan. Masyarakat desa perlu diberikan pelatihan dalam pengelolaan desa wisata, termasuk dalam bidang pemasaran digital, pelayanan kepada wisatawan, dan pengelolaan lingkungan.
Tumpul oleh Eksploitasi
Potensi ekonomi yang dimiliki desa wisata seringkali menjadi daya tarik bagi investor. Keadaan ini bisa menjadi dilematis bagi desa wisata. Di satu sisi desa wisata membutuhkan dana untuk memperbaiki infrastruktur dan aksesibilitasnya. Namun di sisi lain, kehadiran investor dari luar desa cenderung eksploitatif.
Eksploitasi terjadi ketika desa wisata berkembang menjadi objek wisata massal serta komersialisasi yang berlebihan. Eksploitasi juga dapat terjadi ketika pembangunan hotel mewah atau resor besar mengubah desa menjadi destinasi wisata yang kurang berakar pada tradisi dan budaya lokal.
Alih-alih menjadi ujung tombak yang dapat menyejahterakan warga, desa wisata justru menjadi tumpul oleh eksploitasi. Bisa saja terjadi kasus, pengembangan desa wisata oleh investor besar mengabaikan keterlibatan masyarakat lokal dalam pengelolaan dan keuntungan dari sektor pariwisatanya.
Dampak buruk dari eksploitasi desa wisata yang paling serius tentunya kerusakan ekosistem. Desa yang semula sejuk dan asri dapat berubah menjadi kotor dan polutif ketika dieksploitasi secara berlebihan; dengan dalih meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Desa Wisata Les di Buleleng, Bali, dinobatkan sebagai Desa Wisata Terbaik dalam ADWI 2024. Akankah desa wisata di Bali utara itu mampu mengembangkan potensinya? Apakah Desa Wisata Les dapat menjadi ujung tombak pariwisata Bali dan Indonesia?
Bisa saja desa wisata itu menjadi ujung tombak yang tumpul ketika dieksploitasi secara berlebihan. Apalagi bila investasi pengelolaan desa wisata didominasi oleh investor asing. Mengingat nama besar Bali sebagai magnet pariwisata dunia, sebagaimana terjadi di Kabupaten Badung dan Kabupaten Gianyar.
Apalagi, rencana pembangunan Bandara Internasional Bali Utara di Buleleng semakin menguat. Tidak mustahil investor asing akan menyerbu hingga ke pelosok desa. Keindahan pantai, bukit, dan sawah akan berebut visualisasi dengan hotel-hotel yang berdiri kokoh.
Harapan Menteri Pariwisata agar desa wisata menjadi ujung tombak pariwisata Indonesia tentu sangat menjanjikan. Namun ketika tidak dikelola secara profesional dan hanya dieksploitasi oleh pemilik modal, desa wisata akan menikam dirinya sendiri. [T]
Penulis: Chusmeru
Editor: Adnyana Ole
BACA artikel lain dari penulis CHUSMERU