Selilit, begitulah karya instalasi ini diberi tajuk. Karya terbaru Ketut Putrayasa, seniman kelahiran Tibubeneng, Bali. Pameran dengan tema Metastomata ini digawangi Kelompok Seni Galang Kangin, dirayakan untuk momen 25 tahun Metamorfosis Manifesto Galang Kangin.
Nama Galang Kangin tak cuma mengingatkan kita pada kelompok perupa yang dilahirkan seper-empat abad silam. Dibalik frase itu kita teringat manifesto fajar budi teks-teks Jawa Kuna ̶ di mana lazim disuratkan dalam ungkapan prabhaswara jnana.
Dalam dimensi asketik dunia spiritual Bali, ungkapan ini lebih dimakanai sebagai fajar pencerahan, tak ubahnya temaram subuh, kala surya perlahan terbit, pelan-pelan lalu menyibak kegelapan. Para pejalan di dunia spiritual pulau ini, menyebut capaian asketik itu sebagai menemu “galang” ̶ sang pejalan telah bertemu cahaya.
Entah, apakah kelompok Galang Kangin menganggit nama itu dari sini? Kita tidak tahu. Namun dari karya-karya yang dipanjang, setidaknya kita menemukan benih kreatif, bahwa segala sesuatu acap dihadirkan kembali dari puing masa silam. Atau dari yang telah diporanda zaman. Tugas seniman-lah memudakan reruntuhan itu kembali, layaknya petani bertekun menumbuhkan putik-putik muda kembali.

Selilit, karya Ketut Putrayasa yang dipamerkan bertajuk “Metastomata: Metamorphosis Manifesto Galang Kangin” di Neka Art Museum, Ubud | Foto: Ist
Keresahan-keresahan primitif perihal jatuh bangunnya artefak peradaban, bisa disimak dari performing arts pameran ini. Pembacaan puisi dari Wayan Jengki Sunarta, diiringi alunan suling Made Gunawan yang menyayat, dikolaborasi penghancuran patung-patung berkepala celeng oleh pematung Dewa Soma.
Adegan ini seakan menyindir “bansos-bansos” berdalih pemugaran tempat suci yang merampas, meniadakan jejak masa silam. Lalu, di situ kita tak cuma kehilangan sejarah, akan tetapi juga kehilangan jejak artistik, nilai-nilai, dan kebajikan masa silam. Kebudaayan ini tengah berhadapan dengan bentuk vandalisme lebih halus, dengan dalih bantun sosial.
Dan Wayan Jengki Sunarta pun memulai membaca puisinya, “Bayangan candi: wujud masa silam yang meleleh, ke dalam genang kenangan bocah gembala”. Di situ, di atas panggung, di depan candi Neka Art Museum waktu tiba-tiba jadi beringsut, terasa mistis. Dan yang hadir pun seperti dibuat larut.
Lalu penghancuran batu-batu candi pun berlangsung. Mahkota-mahkota celeng dikapak, serpihannya rontok di tanah dingin. “Bansos” seakan menjadi tragedi baru penghancuran peradaban lampau, materialisasi memenggal kekayaan rohani kita. Si penyair membaca puisinya penuh pukau, dengan “loudspeaker” sedikit parau, untuk tidak menyatakan sedikit melecehkan.
Lalu dalam bayangan nyaris harmoni, dalam pajangan karya rupa yang apik, sambutan pembuka penuh petuah; ada satu karya yang memendam ambisi jadi “pengganggu”. Seni instalasi irit medium, menyerupai “esai mini kata”. Tusuk gigi emas dengan bercak darah, bertuliskan kata “art”, piring keramik yang meleleh.
Ini metafor yang mengusik, satire yang meledek, membuat para cendekia gagal tidur siang, merenung apa yang hendak dititipkan sang kreator dalam seni instalasi ini? Orang awam mungkin saja mengatai perancangnya “nyem”, agak gila. Atau lebih pantas disebut avant garde, seni melampaui zaman.
Atau dalam tugasnya yang lain, sang seniman tengah melakukan perlawanan kultural, gugatan pada betapa sia-sianya tanggung jawab pemimpin publik. Sebagai seniman, Putrayasa tengah menjalankan fungsi simbolik, mengkritik secara satire kondisi-kondisi terkini keadaan kita. Boleh jadi ditujukan juga pada pemimpin kita.

Selilit, karya Ketut Putrayasa yang dipamerkan bertajuk “Metastomata: Metamorphosis Manifesto Galang Kangin” di Neka Art Museum, Ubud | Foto: Ist
Kali ini Ketut Putrayasa sukses meracau kita, mencandai praktik-praktik kebudayaan kita. Atau tengah mencabik-cabik tubuh kebudayaan, menembakkan pengalaman kreatif itu ke ruang “satpol pp” kebudayaan, menampar dingin mentalitas birokrasi kita, pidato-pidato usang dan bau, kebijakan yang tak memihak perut rakyat. Himbauan dan aturan yang dibully netizen dengan kata-kata kasar, ledekan kotor menggelikan. Sungguh birokrasi penuh drama, dan topeng-topeng kepalsuan itu dibuka rame-rame di ruang “legislator maya” bernama netizen.
Kita buka Kamus Besar Bahasa Indonesia, di situ “selilit” diartikan sebagai sisa makanan (daging dan sebagainya) yang menyelip di sela-sela gigi. Ia menjadi kondisi yang mengganggu sela gigi, maka tusuk gigi pun diperlukan. Selilit, bila abai dibersihkan, membuat mulut jadi bau, seperti juga kata-kata bijak diucapkan politikus pialang, kata-katanya pun cenderung jadi bau. Bau busuk yang tak mudah dibersihkan, kendati dengan pengarum mulut paling mahal.
Selilit menjadi semacam subversive dingin, satire yang tidak cuma mencibir mulut pemegang kebijakan, yang bau oleh sisa-sisa makanan. Demikian pula kata-kata kotor yang keluar dari mulut siapa saja. Seperti janji-janji kosong politikus, himbauan-himbauan pemimpin yang memancing rasa jengkel, seperti juga kata-kata penuh bau, tak mudah dipercaya, tak gampang ditegakkan. “Ah, kita mesti berjuang sendiri, politikus-politikus itu biarkan ia melantur. Rakyat bisa hidup tanpanya,” ujar seseorang di sebelah saya duduk.
Bila kata-kata yang keluar dari mulut melukai, menimbulkan kejengkelan, mancla-mencle, sungguh mulut itu tak beda dengan anus. Ia sama-sama bau. Orang-orang Bali lalu mencibir perilaku itu dengan ungkapan; bibihe kadi bol, mulutnya seperti anus. Bagi Ketut Putrayasa, inilah tragedi selilit, di mana tindakan tak tegak lurus dengan ucapan. Ini sungguh menggangu, seperti selilit di sela gigi. Dan ini bentuk de-humanisasi yang sejak lama tak disadari.

Selilit, karya Ketut Putrayasa yang dipamerkan bertajuk “Metastomata: Metamorphosis Manifesto Galang Kangin” di Neka Art Museum, Ubud | Foto: Ist
Selilit, tusuk gigi emas, bercak darah adalah penanda, menandaskan satire absurd, sia-sia. Sungguh absurd betul, tusuk gigi emas itu cuma dipergunakan untuk membersihkan selilit, sisa daging dan makanan yang tertinggal di sela gigi. Dengan analogi, jabatan tinggi, berkuasa tak lantas bertemali dengan tanggung jawab lebih besar. Mensejahterakan kehidupan rakyat. Yang ada cuma jargon-jargon gincu, menghibur mereka yang tengah belajar sabar. “Rakyat dibohongi melulu,” begitu selentingan kerap terbaca di komen-komen medsos.
Kita bisa menonton ini pada praktik-praktik birokrasi yang banal. Pada pemimpin berparfum harum, necis, enggan berpeluh, tak hendak berkotor-kotor. Di pikirannya cuma ada proyek mercusuar dan fee berlipat, alih-alih melenyapkan derita rakyat. Sebaliknya malah menjadi parasit, kutu pemakan darah. Ia kerap hadir pada perayaan besar, disambut tarian dan gamelan bergelora. Tak jauh dari penggambaran Negara Teater karya Clifford Geertz. Mainnya cuma mengokestrasi adat dan upacara. Minusnya, hari ini, jabatan cuma dipergunakan semata untuk kenyamanan diri sendiri. Itulah makna tusuk gigi emas bagi Ketut Putrayasa. Sesuatu yang besar acap dipergunakan untuk menggelembungkan hal-hal remeh.
Diantara medium yang irit itu, Selilit menampilkan piring keramik tengah meleleh, ini lagi-lagi sesuatu yang absurd, nyleneh dan tak biasa. Tak biasa karena tak pernah ada piring makan yang meleleh, kecuali ini satire “nyem” mencandai keadaan. Atau menyadarkan mereka yang lebih awal sadar.
Sebagai catatan artistik, kritik simbolik, “piring meleleh” punya makna lebih melebar, konotatif, karena di situ; apapun deliknya, apapun kasusnya mudah meleleh di meja makan, dibikin cair, melunak di ruang lobi. Hal-hal yang gawat, yang harus dipotong karena sudah menjadi kanker bagi bangsa cuma diberi obat penghilang rasa sakit. Regulasi, hukum cuma instrumen menandakan negara ini ada, mungkin sekadar ada, karena merasa tidak perlu diurus dengan serius.
Selilit telah mencandai kita dengan hal-hal remeh. Sindrom besar pasak daripada tiang menampar siapa saja yang gagal membaca potensi. Tapi Putrayasa bukanlah seniman yang hoby nyinyir, ia sedang membaca sekaligus mengingatkan keadaan, bahwa sesuatu yang kecil, yang dianggap remeh bila dibiarkan; ia tidak cuma mengganggu, tetapi bisa menjadi kanker ganas – patologi sosial yang berubah jadi badai besar.
Lalu Wayan Jengki Sunarta pun berkeluh, sebagaimana bait-bait puisi yang dibaca saat pembukaan pameran, “ke situ Kau tuntun aku, bagai keledai dungu…. Tak paham kapan awal kapan akhir letih ini..” Dan di situ, tusuk gigi emas yang tergeletak di piring tengah meleleh, terdeteksi gurat darah. Dengan tulisan tiga fon huruf “ART”. Itulah bentuk perlawanan simbolik Ketut Putrayasa, ia menggugat, ia mengingatkan dengan dingin keadaan pulaunya, begitu pula keadaan negerinya. [T]
Pakubuan Kusa Agra — Umanis Galungan, 24-4-2025
Penulis: I Wayan Westa
Editor: Adnyana Ole
- BACA JUGA