“Empati bukan hanya soal mendengar, tetapi juga merasakan dunia orang lain seolah itu adalah dunia kita sendiri.” – Geofakta Razali (Peneliti Psikologi Komunikasi, Tradisi Fenomenologis)
Terakhir berkunjung ke Bali, saya berkesempatan mengunjungi sebuah pura di Ubud. Di sana, saya bertemu dengan seorang pendeta yang sederhana tetapi memiliki pandangan hidup yang begitu mendalam. Singkat cerita kami, dalam percakapan kami, beliau menjelaskan filosofi Tat Twam Asi, yang berarti “Aku adalah engkau, engkau adalah aku.”
Pendeta itu berkata, “Jika kamu ingin memahami seseorang, jangan hanya mendengar kata-katanya. Rasakan bagaimana dunia mereka.” Kata-kata itu sederhana, tetapi memiliki makna yang mendalam. Ajaran ini terus terngiang-ngiang di benak saya, bahkan setelah saya kembali dari perjalanan itu.
Setelah pulang, saya mulai melihat ajaran itu dalam konteks yang lebih luas, terutama ketika saya menghadapi beberapa mahasiswa yang datang berkonsultasi. Sebagian dari mereka sedang berjuang melawan depresi, merasa tertekan oleh ekspektasi sosial dan isolasi yang mereka alami. Sebagai akademisi yang sering berkutat dengan psikologi komunikasi, terutama tradisi fenomenologis, saya terbiasa mendalami pengalaman subjektif seseorang. Filosofi Tat Twam Asi yang saya pelajari di Bali menjadi pengingat penting bahwa mendengarkan bukan hanya soal mendengar, tetapi soal merasakan dunia mereka dengan sepenuh hati.
Ketika seorang mahasiswa menceritakan bahwa ia merasa gagal dan tidak berarti, naluri pertama saya adalah mencoba menyemangatinya: “Semangat, kamu pasti bisa melewati ini!” Namun, saya teringat ajaran Tat Twam Asi dan hasil penelitian tentang depresi yang pernah saya baca. Saya menyadari bahwa dorongan seperti itu sering kali tidak sesuai dengan kebutuhan mereka.
Pendekatan yang lebih efektif adalah validasi negatif, yaitu pengakuan bahwa perasaan mereka adalah hal yang wajar dan manusiawi. Dengan mengatakan, “Saya paham ini pasti berat untuk Anda, dan wajar jika Anda merasa seperti ini,” saya mencoba hadir bukan sebagai pemberi solusi, tetapi sebagai pendengar yang memahami.
Namun, di sinilah saya melihat adanya jarak antara das Sollen—apa yang seharusnya dilakukan, dan das Sein—apa yang sebenarnya terjadi dalam interaksi sosial kita. Filosofi Tat Twam Asi mengajarkan kita untuk merasakan dunia orang lain dengan sepenuh hati, tetapi di era postmodernisme yang serba cepat dan terfragmentasi, empati sering kali menjadi sekadar retorika tanpa makna. Media sosial, misalnya, dipenuhi oleh toxic positivity, di mana dorongan untuk “berpikir positif” justru mengabaikan emosi negatif yang sebenarnya valid. Kita hidup dalam dunia yang sering kali lebih mengutamakan performa dibandingkan keaslian, di mana empati yang sejati jarang dipraktikkan karena kesibukan dan keterbatasan waktu.
Filosofi Tat Twam Asi adalah pengingat bahwa empati tidak hanya soal apa yang kita katakan, tetapi juga bagaimana kita hadir sepenuh hati untuk orang lain. Kita mungkin sering berpikir bahwa membantu berarti memberikan solusi, tetapi sebenarnya, membantu berarti hadir, memahami, dan menerima. Saya menyadari, sebagai akademisi yang meneliti psikologi komunikasi, gap antara das Sollen dan das Sein ini tidak hanya terjadi di masyarakat luas, tetapi juga di ruang-ruang interaksi personal seperti konseling. Kita tahu seharusnya mendengarkan dengan empati, tetapi realitasnya, kita terlalu sering terburu-buru memberikan jawaban.
Hal yang menarik adalah bagaimana Tat Twam Asi mengingatkan bahwa hubungan manusia jauh lebih kompleks. Anda tidak hanya menjadi “orang lain” dalam hubungan tersebut, tetapi juga cermin bagi mereka. Di dunia postmodern yang dipenuhi ekspektasi sosial dan kebisingan digital, kita perlu lebih banyak ruang untuk membangun hubungan yang autentik, di mana empati menjadi pusat. Bukan sekadar empati permukaan, tetapi empati yang benar-benar tulus: memahami bahwa kesedihan mereka adalah bagian dari diri kita juga.
Sebagai refleksi, mungkin inilah tantangan terbesar era kita. Postmodernisme telah memberi kita kebebasan berekspresi yang luar biasa, tetapi sering kali menghilangkan kedalaman dalam hubungan kita. Kita berjuang menemukan harmoni antara apa yang kita tahu seharusnya dilakukan (das Sollen) dan apa yang benar-benar terjadi (das Sein).
Filosofi Tat Twam Asi memberikan pelajaran penting bahwa di balik dunia yang terfragmentasi ini, ada satu hal yang tidak berubah: kebutuhan manusia untuk dipahami dan diterima apa adanya. Jadi, saat Anda menghadapi seseorang yang sedang berjuang, ingatlah bahwa empati sejati tidak selalu soal memberikan solusi, tetapi tentang hadir sepenuh hati dan berkata, “Aku adalah engkau, engkau adalah aku.” [T]
Penulis: Dr. Geofakta Razali
Editor: Adnyana Ole