INTERAKSI ini hanya cerita dari lisan ke lisan. Meski sudah terjadi bertahun-tahun, catatan tentangnya secara tertulis tak lebih banyak dari jumlah jari tangan. Karena itulah tak banyak orang mengetahui hubungan seperti apa yang terjalin antara pulau-pulau kecil yang mengambang di Selat Madura dengan Kota Singaraja di Bali Utara.
Sekira tiga tahun yang lalu, di pinggir pantai di Pelabuhan Sangsit, Singaraja, saya mewawancarai tiga mahasiswa Universitas Pendidikan Ganesha, Singaraja, Bali, yang masing-masing lahir dan besar di Pulau Kangean, Pulau Sapeken, dan Pulau Sepanjang, pulau-pulau kecil di Kabupaten Sumenep, Jawa Timur—pulau-pulau dengan daratan sempit dan dikelilingi lautan luas.
Adalah Anni Mujahidah dari Pulau Sapeken, Moh. Febryandi dari Pulau Kangean, dan Ainur Azhar dari Pulau Sepanjang. Saat itu, mereka bertiga masih tercatat sebagai mahasiswa di Undiksha, kini sudah lulus, menjadi sarjana, dan kembali ke pangkuan tanah pulaunya.
Sebutlah Anni, Febry, dan Ainur, mereka seumuran, sekarang 26 tahunan, yang bercerita kepada saya betapa penting posisi Kota Singaraja terjadap orang-orang yang tinggal di pulau-pulau kecil yang mereka huni, dan betapa sulit perjuangan mereka saat menyambanginya. Benar. Meski secara administratif Pulau Kangean, Sapeken, dan Sepanjang masuk ke dalam wilayah Sumenep, tapi Singaraja tetaplah “tanah harapan” yang paling dekat untuk dijangkau—meskipun tetap saja jaraknya tak kurang dari 10 jam.
“Kalau ke Sumenep atau ke Banyuwangi lebih jauh lagi,” terang Ainur di tengah orang-orang sibuk menaikkan kardus-kardus sembako ke lambung perahu nelayan di dermaga rompal Pelabuhan Sangsit. Sembako-sembako—atau sebut saja beras, bumbu dapur, telur, mie instan, gula, kopi, rokok, dll—ini akan diangkut ke Pulau Sapeken dan sekitarnya. Ke Singaraja, mereka tak hanya menjual hasil laut, pula kulakan persediaan pangan. “Karena itulah Singaraja menjadi kota penting bagi kami,” sambung pemuda yang kini menggeluti dunia fotografi di Sepanjang itu.
Ainur saat di atas geladak perahu nelayan menuju dari Pelabuhan Sapeken menuju Sangsit, Singaraja | Foto: Dok. Febri
Sekadar informasi, Madura memiliki 127 pulau, satu pulau berada di Kabupaten Sampang, yang dikenal dengan nama Pulau Mandangin. Tapi masyarakat lebih sering menyebutnya sebagai Pulau Kambing. Sedangkan seratus dua puluh enam pulau lainnya berada di Kabupaten Sumenep. Di antara 126 pulau tersebut, Kangean yang paling besar wilayahnya. Ada tiga kecamatan yang masuk kawasannya.
Namun, Sapekan merupakan pulau dengan penduduk paling padat. Pulau ini berbatasan langsung dengan laut Jawa di sebelah barat, laut Sulawesi di sebelah timur, laut Kalimantan di sebelah utara, dan laut Bali di sebelah selatan. Daerah Sapeken terdiri dari 53 pulau yang masuk dalam wilayah administrasinya. Ada 21 pulau yang sudah berpenghuni dan 32 pulau yang masih belantara. Di pulau inilah Anni lahir dan dibesarkan.
Di Sapeken terdapat pelabuhan yang ramai. Febry dan orang-orang Kangean pada umumnya, pun Ainur dan orang-orang di Pulau Sepanjang yang ingin melawat ke Singaraja biasanya lewat pelabuhan ini. Kata Febry, dari Pulau Kangean ke Pelabuhan Sapeken membutuhkan empat jam perjalanan dengan perahu nelayan. Lalu dari Pelabuhan Sapeken ke Kota Singaraja, jika cuaca sedang bagus, kurang lebih 10 jam perjalanan. “Kalau ombak sedang besar bisa jauh lebih lama di tengah laut, Bang,” ujar Febri kepada saya. “Bisa 16 jam,” Ainur menimpali.
Tentu saja Pelabuhan Sapeken bukan satu-satunya jalan menuju Singaraja. Tapi port kecil itulah satu-satunya yang paling dekat dengan kota ibunda Soekarno tersebut. Pelabuhan Sapeken dengan demaga-dermaganya yang kecil tapi ramai itu semacam jalur sutra yang menghubungan pulau-pulau kecil di Madura dengan Kota Singaraja yang mungkin sudah terjadi sejak berabad-abad silam—walaupun barangkali seorang penulis bernama A.K. Nielsen luput mencatatnya.
(Nielsen menulis bahwa antara abad 17-18 aktivitas perdagangan antara Bali dengan Batavia berkisar pada masalah perdagangan budak. Beberapa buah kapal dari Bali dan Lombok yang berlayar menuju Batavia berisi antara lain: budak laki-laki dan wanita, beras, gula, asam, minyak kelapa, babi, pinang, hewan dan bahan makanan untuk anak buah kapal, malam, kayu, garam, dan itik.)
Pada 1930, berdasarkan catatan penduduk di masa penjajahan Belanda, ada 1.036 orang Madura yang tinggal di wilayah Buleleng. Beberapa dari jumlah tersebut sangat memungkinkan berasal dari pulau-pulau kecil di Madura—seperti Kangean, Sepanjang, Sapeken, dll. Sejak ditetapkannya Singaraja sebagai ibu kota Keresidenan Bali dan Lombok pada tahun 1882 oleh Pemerintah Kolonial Belanda, interaksi sosial antarkomunitas suku-bangsa semakin meningkat.
Bagi anak-anak kepulauan Kangean, pertautan antara pulau-pulau kecil di Madura dengan Bali Utara menjadikan Singaraja tampak lebih penting daripada Sumenep itu sendiri. Bahkan, kata Singaraja lebih banyak disebut di sana daripada Sumenep atau Surabaya.
Dan kini, hubungan antara pulau-pulau kecil di Madura dengan Singaraja tak sebatas transaksi dagang, lebih dari itu juga menyangkut soal pendidikan, kesehatan, dan arus informasi. Tentu saja awalnya urusan jual-beli adalah yang utama. Tapi belakangan Singaraja memberi sesuatu yang lain yang itu barangkali sulit diwujudkan oleh Sumenep atau Surabaya. Pendidikan dan fasilitas kesehatan, misalnya.
Pelabuhan Sapeken | Foto: Dok. Febri
Universitas Pendidikan Ganesha adalah mimpi setiap remaja di pulau-pulau tersebut. Seusai tamat SMA, mereka meyerbu kampus yang teronggok di tengah Kota Singaraja itu. Ini adalah cerita haru yang lain. Demi pendidikan, mereka rela, katakanlah, mempertaruhkan nyawa—walaupun belakangan kondisinya tampak lebih baik. (Banyak mahasiswa dari kepulauan Kangean kini memilih lewat Pelabuhan Celukan Bawang dengan kapal daripada menuju Sangsit dengan perahu nelayan.)
Di zaman Anni, Febry, dan Ainur masih menjadi mahasiswa di Undiksha, kisah-kisah perjalanan mereka yang menegangkan, membelah ombak di malam hari, sering saya dengar. Dari Pelabuhan Sapeken, alih-alih menumpangi kapal-kapal ferry macam di Pelabuhan Ketapang-Gilimanuk atau Celukan Bawang, mereka menaiki perahu nelayan—mereka menyebutnya kapal loding—yang ukurannya kurang lebih 2 x 15 meter menuju Sangsit, Singaraja. Sebenarnya, selain sangat berisiko, perjalanan mereka juga ilegal. Tapi apa boleh buat, itu jalur tercepat meski bukan yang paling aman.
“Jadi, selama perjalan dari Sapeken ke Singaraja itu, kami berkumpul bersama ikan, bergaul bersama ikan, berbau ikan,” kata Anni sembari tertawa kecil. “Jaraknya memang dekat, tapi kalau ombaknya keras, itu menakutkan. Jadi ada suka dukanyalah,” sambung gadis Muhammadiyah itu.
Anak-anak pulau macam Anni, Febry, Ainur, dan mereka yang menempuh pendidikan di Singaraja, rela mempertaruhkan nyawa demi memenangkan nasib; memenangkan masa depan gemilang yang ditawarkan lembaga pendidikan formal. Walaupun barangkali mereka juga paham bahwa hidup siapa yang tahu. Siapa yang bisa menjamin masa depan seseorang? Tak sedikit orang yang berpendidikan gagal meraih masa depan gemilang. Luntang-lantung mencari pekerjaan. Menambah daftar angka pengangguran.
Dan begitulah. Hidup seperti drama dengan premis-premis: penuh tema, gagasan sentral, tujuan. Yang menakutkan, ibarat lakon Shakespear, Macbeth, dengan premis: “Ambisi yang keterlaluan membawa kepada kehancurannya sendiri”. Riwayat hidup mereka yang dari kepulauan Kangean, bisa dirumuskan premisnya sebagai berikut: “Cita-cita yang luhur membawa kepada maut, tapi juga harapan”.
Tak hanya soal pendidikan, soal kesehatan, misalnya, orang-orang di kepulauan Kangean juga lebih banyak “bergantung” kepada Kota Singaraja alih-alih Sumenep. Banyak orang kurang sehat dilarikan ke RSUD Buleleng atau rumah sakit sekitarnya. Meski banyak yang pulang dengan sehat, tapi tak sedikit pula yang kembali tanpa nyawa. “Itu karena jarak yang jauh,” Ainur menegaskan.
Empat tahun lalu Ainur bercerita tentang seorang ibu hamil yang meninggal karena pendarahan. Kisahnya: ada seorang ibu dari kepulauan Kangean yang hendak melahirkan, tapi karena mengalami pendarahan hebat, pihak puskesmas setempat tak sanggup menangani. Akhirnya harus dirujuk ke RS Parama Sidhi di Singaraja. Sedangkan perjalanan dari kepulauan Kangean ke Singaraja tak sebentar. 10 jam naik perahu nelayan.
“Nyawa ibu dan anaknya tak selamat setelah sampai di Singaraja, Bang. Ibu itu mengalami pendarahan yang hebat. Dalam keadaan darurat, mereka masih harus melawan maut dengan terombang-ambing di lautan selama 10 jam,” Ainur bercerita.
Pada tahun 2019, ayah dari seorang mahasiswa sosiologi Undiksha yang berasal dari kepulauan Kangean mengalami nasib yang sama. Sebelum dia wisuda ayahnya sakit dan harus dirawat di Singaraja. Malam keluarganya membawa bapaknya ke RSUD Buleleng. Esok paginya duka itu datang. Si ayah meninggal dunia karena telat ditangani. Jenazah tersebut harus diangkut kembali dengan perahu nelayan selama 10 jam dari Singaraja ke Pelabuhan Sapeken.
Mungkin Charlie Chaplin benar. Ia mengatakan hidup itu tragedi dari jarak dekat, menjadi komedi dari jarak jauh. Aktor pentomim ini paham benar jarak acap mendistorsi realitas. Kita bisa keliru memahami tragedi menjadi komedi karena tafsir akibat ruang yang memisahkan. Jarak menentukan bagaimana cara kita melihat kenyataan.
Memang, seperti kata Anni di atas, hubungan antara Singaraja dengan kepulauan Kangean memang tak selamanya menyenangkan. Orang-orang yang tinggal di pulau-pulau kecil di Madura itu seolah tahu betul kredo tua dari sepenggal sajak penyair Jerman Friedrich Schiller (1723-96) yang pernah dikutip Sjahrir saat menulis dua pucuk surat dari penjara Cipinang dan dari tempat pembuangan di Boven Digul, “hidup yang tak dipertaruhkan, tak akan pernah dimenangkan.”
Benar. Hidup memang harus dipertaruhkan. Berani hidup harus berani bertaruh. Layaknya meja judi, tak jelas menang-kalahnya; beruntung-ruginya; berhasil-gagalnya. Hanya sekelas Dewa Judi—seperti film-film Hongkong-Mandarin—yang mampu menebak siapa yang akan menang atau siapa yang hanya akan menjadi pecundang.
Dan kemerdekaan Indonesia 1945 tampaknya bukanlah sepenuhnya milik mereka yang tinggal di pulau-pulau kecil di Madura. “Kado” kemerdekaan itu tampak seperti kado “natal” yang hanya dibagi-bagikan kepada “anak-anak kota” belaka. Bukan kado (hadiah) yang dibagikan kepada seluruh rakyat Indonesia; kepada kaum tertindas (kelas bawah), sebagai kado “pembebasan” sebagaimana pernah diucapkan Muhammad ketika membebaskan Mekkah dulu: Antumuth Thulaq—kalian bebas.
Jargon “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” tampaknya hanya “utopia”, hanya diidamkan, di kepulauan Kangean. Goenawan Mohamad dalam Catatan Pinggir, Mata menulis: “dalam Seeing like a State, Scott menunjukkan Negara melihat dari atas dan merancang hidup di bumi yang tak bisa sepenuhnya dikuasai. Mata yang di langit itu tak buta, memang. Tapi ia tak selalu bisa meramal yang di atas tanah.”[T]
Reporter/Penulis: Jaswanto
Editor: Adnyana Ole