ADA dua teks yang saling menyerap dan memantulkan dalam film Forushande (2016, The Salesman) karya Asghar Farhadi. Pertama, Death of a Salesman karya Arthur Miller. Naskah tragedi dua babak ini pertama kali dimainkan di Broadway pada Februari 1949. Miller memenangkan Pulitzer Prize untuk naskah yang kemudian dianggap sebagai salah satu naskah drama terpenting abad ke-20 itu. Kedua, Gaav (Sapi), naskah drama karya Gholam-Hossein Saedi. Gaav difilmkan pada tahun 1969 dengan sutradara Dariush Mehrjui. Film ini mendapat banyak perhatian dan dianggap sebagai pelopor Gelombang Baru dalam sinema Iran.
Tokoh utama The Salesman adalah Emad (Shahab Hosseini); seorang guru sastra dan aktor panggung. Bersama istrinya, Rana (Taraneh Alidoosti), Emad terlibat dalam pertunjukan teater Death of a Salesman dengan sutradara Babak (Babak Karimi). Emad dan Rana memainkan peran utama, yakni pasangan Willy dan Linda Loman. Di tengah proses menuju pertunjukan Emad dan Rana harus pindah dari flat mereka karena pihak pengembang hendak membongkar flat itu. Babak menawarkan mereka pindah ke sebuah flat yang dikelolanya. Hanya saja di flat tempat Emad dan Rana akan tinggal masih ada sisa-sisa barang penghuni sebelumnya, seorang perempuan yang memiliki anak.
Suatu malam, seusai latihan, Rana pulang lebih dulu sebab Emad harus menjelaskan kepada pengawas dari pihak pemerintah perihal beberapa adegan dalam pertunjukan yang akan mereka mainkan. Ketika Rana hendak mandi, bel berbunyi. Tanpa memeriksa siapa yang datang, ia membuka pintu dan segera masuk kembali ke kamar mandi. Kita tidak melihat siapa yang datang, yang kita tahu adalah ketika Emad pulang ia menemukan jejak darah di tangga, pintu yang terbuka, serta keterkejutannya ketika ia memasuki kamar mandi.
Rana sudah berada di rumah sakit, ia dibawa oleh para tetangga. Rupanya seorang asing telah masuk ke apartemen mereka dan menyerang Rana di kamar mandi.
Peristiwa penyerangan itu adalah inti cerita, hal yang mengubah Emad dari sosok penuh empati menjadi sosok dingin yang penuh dendam dan amarah. Asghar Farhadi menjadikan perubahan pada diri Emad sebagai motif yang diserap dari perubahan sosok Hassan dalam Gaav. Dalam Gaav, sosok Hassan yang kehilangan sapinya berangsur-angsur “berubah” menjadi sapi. Tanda hubungan interteks itu muncul dalam satu adegan awal di kelas sastra, yang diampu Emad, ketika seorang siswa bertanya: “Bagaimana orang bisa berubah menjadi sapi?” Dengan bercanda seorang siswa lain menjawab: “Lihat dirimu sendiri.” Seisi kelas tertawa. Akan tetapi, pertanyaan kemudian diulang, dengan lebih serius. Akhirnya, setelah berpikir sejenak, Emad menjawab: “Secara berangsur-angsur…” Siswa tadi bertanya perihal sapi karena saat itu mereka sedang membahas Gaav.
Meski hampir dua per tiga durasi Forushande berkisar pada pertanyaan siapa penyerang Rana, tapi pertanyaan itu tidak memusar jadi pokok cerita sebab selain perkembangan situasi mental dalam hubungan Emad dan Rana digarap dengan tebal, sosok si penyerang juga segera diketahui menjelang akhir film tanpa ada maksud menyimpan misterinya secara dramatis. Forushande menghindari tipikal film misteri dan berangsur-angsur bergeser menjadi drama moral. Perubahan mental Emad adalah fokus yang disembunyikan di balik misteri si penyerang.
Kita dapat melihat kesamaan antara Emad dan Hassan dalam Gaav. Hubungan Hassan dengan sapinya demikian dalam; sapi itu adalah belahan jiwanya; dalam diri Hassan terkandung sosok si sapi, sehingga ketika sapinya menghilang Hassan mewujudkan kembali sosok sapi dalam dirinya, meski dengan risiko membunuh dirinya sendiri. Hubungan Emad dengan Rana sebagai suami istri juga sangat dalam; Rana adalah belahan jiwa Emad; dalam diri Emad terkandung sosok Rana, sehingga ketika Rana mengalami trauma akibat penyerangan, Emad mengekspresikan amarah dan dendam Rana kepada si penyerang. Bedanya: hubungan Hassan dan sapinya adalah hubungan satu arah, sebab sapinya sudah mati. Sementara hubungan Emad dan Rana berlangsung dua arah. Artinya, ketika Emad berubah, Rana pun begitu. Dengan arah sebaliknya, Rana pada akhirnya malah berempati pada si penyerang, yang kemudian menimbulkan konflik terbalik. Dengan begitu, Forushande telah mengembangkan motif perubahan dalam Gaav ke situasi yang lebih kompleks.
Meski begitu, kompleksitas Forushande bukan terletak pada kisahannya, melainkan pada kerja intertekstualnya. Dalam pertunjukan Death of a Salesman di film ini, Emad berperan sebagai Willy Loman, karakter yang berbeda dengan karakter Emad di luar panggung teater. Willy seorang pedagang keliling yang punya obsesi muluk-muluk akan kesuksesan. Ia juga kerap berselingkuh dan dicekam perasaan bersalah atas perselingkuhannya. Sementara Emad hampir tak kelihatan punya obsesi kesuksesan. Ia cuma seorang guru sastra yang disukai siswa-siswanya, dan aktor di sebuah kelompok teater kecil. Tak ada tanda-tanda ia gemar berselingkuh. Adapun sosok yang karakternya seperti Willy Loman justru adalah si penyerang. Orang ini juga adalah pedagang keliling. Meski tidak tampak punya obsesi kesuksesan, seperti Willy ia juga berselingkuh. Ia menyerang Rana sebetulnya karena ia menyangka bahwa perempuan selingkuhannya masih tinggal di flat itu. Ia bahkan meninggalkan sejumlah uang setelah penyerangan itu, seakan-akan ia baru saja membayar seorang pelacur. Dengan situasi seperti itu, alhasil di panggung teater Emad seperti bertarung dengan karakter yang diperankannya, sebab di luar panggung ia berhadap-hadapan dengan si penyerang. Di dalam dirinya, sebagai aktor, terkandung sosok Willy Loman, sebagaimana di dalam dirinya terkandung sosok Rana dalam kehidupan di luar panggung. Dua sosok yang terserap dalam diri Emad di dalam dan di luar panggung itu juga bisa disebut bentuk yang lebih kompleks dari yang dialami Hassan dalam Gaav.
Melalui Forushande Asghar Farhadi menghadap-hadapkan Gaav dengan Death of a Salesman; menghadap-hadapkan Gholam-Hossein Saedi dengan Arthur Miller; menghadap-hadapkan sastra dengan teater; menghadap-hadapkan Timur dengan Barat, dan semuanya saling menyerap dan memantulkan sehingga melahirkan karakter kompleks yang berlapis-lapis, yang dalam konteks media tak lain dan tak bukan mewujud dalam bentuk film.
Jika teater menyerap sastra ke panggung, maka film sekaligus menyerap keduanya. Dalam film Forushande terkandung teater Miller dan sastra Saedi. Dengan begitu, Forushande hadir sebagai “film perbandingan”; suatu kritik yang meninjau kembali lapisan-lapisan kenyataan dalam sastra, teater, film, dan karenanya: dunia sehari-hari.
Di luar kepengrajinan itu, Forushande masih menghadirkan kritik terhadap otoritas formal melalui adanya lembaga pengawas dari pemerintah yang paranoid dan merasa perlu mengamat-amati pertunjukan teater sehingga menyebabkan Emad harus pulang terlambat; juga melalui ketidakpercayaan Rana terhadap polisi sehingga ia enggan melaporkan kasus penyerangan terhadap dirinya dan mengakibatkan hadirnya otoritas semu dalam diri suaminya.
Dibanding film-film Ashgar sebelumnya, Forushande terbilang minim ambiguitas. Konflik tidak cukup menyebar, meski konflik utamanya berupaya diperdalam. Asghar Farhadi jelas menyerap film Hollywood (drama rumah tangga, thriller balas dendam), sebagaimana studi Asghar terhadap teater barat, sehingga oleh Peter Bradshaw Forushande disebut sebagai film Asghar yang paling pro-Amerika.
Forushande memang tak sejelas Cache (Hidden, Michael Haneke, 2005) yang juga mengandung drama misteri sebagai film “anti-Hollywood”. Karya Haneke tersebut tak peduli pada aspek terungkapnya pelaku, sementara Forushande masih mengungkap si pelaku. Obsesi Asghar terhadap ambiguitas kali ini membuatnya memilih sosok orang tua sakit jantung sebagai si penyerang. Pilihan yang membuat cerita jadi tidak meyakinkan. Sebab selain adanya aspek fisik, sungguh aneh laki-laki itu mau datang kembali ke tempat di mana ia pernah melakukan penyerangan.
Namun, jika saya mengingat bagaimana kecenderungan Asghar pada rinci dan detail tersembunyi, saya jadi ragu-ragu, saya mulai membayangkan “fakta” bahwa si penyerang yang diketahui itu bukanlah pelaku sesungguhnya, atau setidaknya ia tidak bertindak sendirian. Memang ada sejumlah bukti yang mengarah kepada orang itu, tapi ada pula sejumlah bukti lain yang justru membuat situasi jadi kurang masuk akal. Pertama, secara fisik orang itu sudah tua dan punya penyakit jantung. Kedua, ia tak menolak ketika diminta datang ke apartemen yang tak lama sebelumnya ia datangi untuk menyerang penghuninya. Ia diminta datang ke apartemen oleh menantunya sebagai tukang angkut barang pindahan menggantikan si menantu. Ketiga, perempuan penghuni sebelumnya ditengarai sebagai pelacur yang tentu punya banyak klien. Keempat, mobil yang dipakai orang itu juga kerap dipakai orang lain. Dan yang terakhir, semua pengakuannya diucapkan di bawah tekanan Emad. Ingat: di bawah tekanan orang akan cenderung berbohong. Satu-satunya yang ditakuti oleh orang itu adalah perselingkuhannya diketahui oleh istrinya, dan itulah inti ancaman Emad terhadapnya. Ia diminta oleh Emad mengakui perselingkuhannya dengan perempuan penghuni flat yang tak pernah sekalipun muncul di layar itu.
Saya jadi ragu bahwa Asghar mengabaikan rinci itu lantas membuat kisahannya jadi mengada-ada. Saya ragu seorang sutradara yang demikian teliti terhadap hal-hal kecil luput pada kemungkinan itu. Dalam A Separation misalnya, Asghar Farhadi meletakkan buku karangan sutradara Ali Hatami di jajaran buku dalam rak hanya untuk membuat Leila Hatami, aktris dalam film itu, merasa berada di rumahnya sendiri. Ali adalah ayah kandung Leila. Cobalah tengok juga rinci dalam The Past dan ajukan pertanyaan siapa yang membuat noda di pakaian pelanggan binatu milik Samir dan memicu pertengkaran antara istri Samir dengan si pelanggan. Tak akan ada jawaban yang pasti, tapi barang siapa mengamat-amati dengan teliti adegan sebelumnya pasti akan meyakini sebuah jawaban. Barangkali tak banyak penonton yang akan memperhatikan rinci tak kasat mata itu, tapi Asghar tak peduli. Ia pernah berkata dalam sebuah wawancara bahwa dirinya adalah orang yang paling banyak menonton filmnya sendiri dibanding penonton mana pun. Maka, bila ia tak peduli penonton tahu atau tidak pada rinci itu, ia juga tidak akan peduli apakah penonton terpikir atau tidak pada kemungkinan bahwa orang yang disangka pelaku penyerangan itu bukanlah pelaku penyerangan sebenarnya, meski tak diragukan ia terlibat dengan perempuan pelacur itu.
Namun, keragu-raguan saya juga bukannya tanpa masalah. Semua kelemahan yang ditunjukkan orang tua itu barangkali telah mempengaruhi cara saya menilai. Saya telah mengabaikan kemungkinan adanya sifat kejam dalam diri seorang tua yang penyakitan.
Film Amerika (baca: Hollywood) umumnya tak akan membiarkan penonton kehilangan informasi cerita, sementara film-film Asghar bisa menghadirkan informasi yang tidak benar; suatu “kebohongan” yang bukan bermaksud menipu penonton, melainkan untuk menyodorkan situasi yang belum tentu bisa diuraikan dengan jelas dari karakter-karakternya saat mereka berusaha bertahan dari tekanan otoritas. Jika karakter-karakter film menghadirkan situasi seperti itu, maka film itu sendiri bergerak dalam kisahan yang belum tentu bisa diuraikan dengan jelas. Akibatnya, kisahan itu seakan-akan bermaksud menyembunyikan informasi yang sebenarnya. Dengan semua itu, Asghar sebetulnya bersikap “politis” terhadap estetika Hollywood; mengambil kerangkanya lalu membersihkannya dari sifat-sifat histeria dan serba jelasnya. Asghar mengambil risiko yang berbeda dari Haneke. Bila Haneke tak berkompromi dengan estetika Hollywood, Asghar sebaliknya. Akan tetapi, di balik kompromi itu kita bisa mengendus suatu “tindakan politis”, yang dalam pembicaraan lebih luas bisa kita lihat sebagai strategi film Iran untuk bisa menembus khazanah sinema dunia yang pusat industrinya sampai saat ini masih berada di Amerika Serikat. [T]