SALAH satu aspek kebudayaan khas yang dimiliki masyarakat Betawi ialah apa yang dikenal dengan ngeceng. Dari sudut tata bahasa ngeceng adalah sejenis kata kerja. Apabila kata kerja itu dilakukan berbalas-balasan bentuknya menjadi ceng-cengan. Umumnya menggunakan kata – kata bernada lucu, paling tidak menurut ukuran mereka yang terlibat dalam kegiatannya baik langsung maupun tidak langsung.
Satu hal yang menjadi ciri khas kegiatan ceng-cengan dalam penggunaan kata-kata, yang umumnya bernada lucu itu terlihat pada saat kegiatan berlangsung yang selalu diliputi oleh suasana meriah penuh dengan gelak tawa. Begitu memasyarakatnya istilah ngeceng dalam masyarakat Betawi, khususnya di kalangan anak muda, namun sampai sejauh itu belum tentu dikenal oleh masyarakat lain.
Pada bagian ketiga lanjutan tulisan Ngeceng, Tardisi Lisan Humor Betawi, penulis akan mendeskripsikan ”Tanggapan pada Kawan yang Kocak ”.
Kawan Kocak itu ”Pinter” Gaul
Upaya membuat orang lain tertawa bukan hal yang mudah. Paling tidak, hanya yang punya bakat kuat saja dapat melakukannya. Perkataan seseorang bisa terkesan lucu, tidak tergantung pada statusnya. Cendikiawan, tokoh politik, pemuka agama, pejabat pemerintah atau pun pengusaha dalam situasi tertentu bisa membuat orang lain tertawa.
Suatu hal yang positif dari sifat humor atau kata-kata yang bernada lucu, oleh kebanyakan peserta dianggap lebih menyenangkan daripada yang mendatar tanpa variasi. Suasana santai yang diselingi humor kalau ditinjau dari sudut efektifitas komunikasi boleh jadi lebih mengena.
Dengan suasana yang tidak membosankan akan memberi kemungkinan audiens bisa mencerna setiap pesan yang disampaikan komunikator.Yang jelas,`dalam suasana komunikasi audiens akan selalu penuh perhatian dan tidak mengantuk.
Anak Betawi menyenangi humor bukan sekedar di permukaan saja. Mereka yang tergolong kurang mahir dalam ceng-cengan ingin seperti teman yang banyak memiliki sifat kocak. Hal tersebut acapkali dijumpai pada saat berlangsungnya ceng-cengan selalu berusaha sebisa mungkin. Wajar apabila kata-kata yang diucapkan serba dangkal dan terkesan dipaksakan.
Semua itu karena dorongan atau motivasi di bidang pergaulan. Sebab, orang yang memiliki pembawaan kocak biasanya supel dalam pergaulan, berbagai kalangan dengan mudah bisa dijadikan sahabat, pada gilirannya mereka mempunyai banyak teman. Sebuah kondisi pergaulan yang umumnya didambakan oleh kalangan anak muda.
Humor, selain menciptakan suasana menghibur, boleh jadi berguna pula sebagai alat terapi menumbuhkan sifat bijaksana. “Untuk menjadi bijaksana orang perlu tertawa” (Djoko Darmono, Tinjauan Buku Humor Sufi II, Kompas minggu 28 November 1987, hal XII). Unsur humor yang begitu dominan di keseharian dalam pergaulan masyarakat Betawi berperan sebagai pendukung saja.
Kawan Kocak itu Menghibur Juga Membimbing
Ada sesuatu yang hilang bila dalam suatu kumpulan nongkrong, kawan yang dianggap kocak itu belum hadir, seperti sayur kurang garam, hambar rasanya. Jadi sepi seperti kuburan, kawan yang kocak itu buat mereka jadi seperti jantungnya orang berkumpul. Karena tak sedikit juga memberikan nasihat dalam kata-kata kocaknya. Meskipun tidak banyak diungkapkan dalam kegiatan ngeceng, sesekali yang sifatnya filosofis dalam ngeceng muncul juga.
Untuk hal yang bersifat filosofis pun seperti nasihat, petuah, serta sindiran yang hingga sekarang masih ada namun sudah agak jarang diucapkan oleh kalangan anak muda yang disebut dengan ungkapan. Salah satu contoh ungkapan: “sekering-keringnye jahe ada pedesnye”, artinya; bagaimana keringnya jahe, rasa pedasnya masih ada.
Maksud ungkapan itu untuk menasihati, menyindir dan mengingatkan seseorang yang mempunyai sikap masa bodoh terhadap keluarganya yang kebetulan menderita kesusahan. Begitu pula sebaliknya mereka yang mengalami kesulitan, malu dan tidak mau minta pertolongan kepada saudara yang kebetulan berada.
Kedua sikap tersebut tidak diharapkan oleh masyarakat Betawi. Buruk atau baik, senang maupun susah, persaudaraan harus tetap terjalin. Contoh ungkapan yang dikutip dari buku “Ungkapan Tradisionil Sebagai Sumber Informasi Kebudayaan Daerah Khusus Ibukota”, telah memberikan kesan tentang pergaulan dalam masyarakat Betawi.
Bagaimana sebaiknya menempatkan diri dalam lingkungan keluarga demi mewujudkan keseimbangan pribadi maupun lingkungan di mana setiap pribadi hidup di dalamnya.
Ungkapan yang menasihatkan untuk tidak memutus tali persaudaraan dalam kondisi yang bagaimana pun, intinya bertolak dari ketulusan hati masing-masing. Melalui ungkapan itu pula orang Betawi diajarkan supaya jangan terlalu cepat memvonis kepada saudara yang kebetulan berada dengan tuduhan “lupa daratan”, tidak mau tahu kepada saudara yang kekurangan.
Dalam kasus keluarga yang acapkali terjadi justru saudara yang berada dijadikan “kambing hitam” melupakan saudara yang kurang mampu. Hendaknya dapat dimaklumi orang kaya permasalahan hidup yang dihadapinya begitu kompleks, mungkin karena kesibukan membuatnya tidak sempat mengetahui secara persis keadaan segenap saudaranya, terutama yang telah hidup menyebar.
Apabila menghadapi kenyataan itu masyarakat Betawi diajarkan memiliki hati yang lapang dan selalu berterus terang. Tidak mengecilkan hubungan keluarga hanya dikarenakan mereka kurang mendapatkan perhatian.
Terhadap yang merasa kekurangan dalam ekonomi jangan merasa gengsi sehingga malu meminta bantuan saudara yang kebetulan ekonominya mapan. Lagi pula saudara yang mampu pada batas-batas tertentu akan lebih senang kepada saudara yang berterus terang daripada menyembunyikan kesulitannya. Apabila terjadi pengecualian itu pun kebanyakan disebabkan oleh ekonomi yang kurang mampu, belum apa-apa sudah mengambil kesimpulan negatif kepada saudaranya itu.
Pengaruh Modernisasi pada Pola Pergaulan (ceng-cengan)
Terdapat gejala kini sedang terjadi erosi nilai kebudayaan tradisional karena pengaruh modernisasi. Masyarakat Betawi yang merupakan masyarakat perkotaan dalam mempertimbangkan sesuatu cenderung mengkaitkannya dengan relevansi kebutuhan hidup secara materi dan kepuasaan moril.
Pertumbuhan kota Jakarta yang dulunya Betawi, tidak pelak lagi merupakan akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan ekonomi. Pembangunan sarana kota di mana-mana secara fisik membutuhkan dukungan lahan, pada sisi lain harga tanah menjadi semakin meningkat. Faktor iming-iming harga tanah itu membuat pemilik tanah yang relatif luas menjadi tergiur untuk mengoperkan (menjual tanahnya).
Konsenkuensinya, masyarakat Betawi yang tadinya tinggal di kampung-kampung tengah kota pindah jauh ke pinggiran, bahkan tidak jarang pula yang hijrah ke wilayah Jawa Barat. Atau kalaupun masih menetap tinggal di rumah yang pekarangannya sempit tanpa tempat untuk ngeloneng (duduk santai mencari angin di beranda rumah), dan sarana berkumpul anak-anak muda bersenda-gurau sambil ceng-cengan.
Perpindahan penduduk yang tidak berpola itu, masing – masing memilih tempat tinggal baru, mengurangi kesinambungan nilai kesenian serta kebiasaan pergaulan yang dibawa. Apalagi di tempat asal yang ditinggalkan, praktis pekarangan yang relatif luas sudah berubah fungsi menjadi bangunan pasar, super market dan gedung – gedung bertingkat.
Anak–anak yang semula dapat dengan leluasa bermain bola gebok, petak gocek, gala asin, petok kadal, main dampu dan lain sebagainya sudah jarang dapat dilakukan lagi. Beberapa jenis permainan masih dapat dilakukan, tetapi tampak kurang wajar karena menggunakan ruas jalan umum.
Inilah salah satu penyebab merosotnya nilai kebudayaan tradisional. Utamanya yang terjadi pada masyarakat Betawi. Apakah kemerosotan nilai estetika terjadi pula terhadap tradisi ceng-cengan sebagai pelengkap tata pergaulan? Sampai berapa jauh masih dapat mempertahankan eksistensinya?
Kehadiran ceng-cengan kini sedang diuji. Seperti halnya bentuk kebudayaan tradisional lain, ceng-cengan hanya dapat lekat dengan masyarakatnya apabila secara praktis masih didukung secara antusias serta dapat memberi manfaat, maka ceng-cengan bisa jadi tetap eksis ditengah pergaulan global ini.
- Tulisan ini bersambung bagian 4, “Fungsi Ceng-cengan dalam Pergaulan”.
BACA artikel sebelumnya: