“Hate the sin, not the sinner!”
BERGELUT dengan masalah-masalah sosial masyarakat dalam kehidupan sehari-hari, telah memberi saya sudut pandang yang lebih luas. Interaksi dengan berbagai konflik kehidupan masyarakat tersebut saya dapatkan dalam kapasitas sebagai seorang dokter praktek, Direktur Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD), pendiri Yayasan Sesama dan satu lagi menjalankan tugas sebagai Ketua Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Buleleng.
Sebagai dokter, Direktur RSUD dan Yayasan Sesama, saya berhadapan dengan masalah sosial dan kesehatan masyarakat yang diperberat oleh faktor kemiskinan, pengetahuan yang kurang memadai serta sikap yang abai. Semua itu dapat memberi alasan kenapa angka kematian ibu masih saja tinggi, penyakit TBC paru semakin banyak jumlahnya, kasus kecelakaan lalu lintas akibat mabuk minuman keras terus terjadi atau kejadian stroke dan serangan jantung masih banyak dalam masyarakat kita.
Selaku Ketua PKBI Buleleng, saya menemukan kasus kehamilan pranikah yang cukup banyak jumlahnya, memaksa terjadinya pernikahan usia dini atau berbagai kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak. Lebih menyedihkan lagi, pelaku kasus kekerasan seksual tersebut tidak sedikit adalah keluarga dekatnya sendiri.
PKBI merupakan salah satu organisasi non pemerintah paling tua di Indonesia. Berdiri di tahun 1957, adalah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang memelopori program keluarga berencana. Konsep pengaturan jumlah kelahiran yang diterapkan untuk mengantisipasi potensi ledakan jumlah penduduk seusai perang kemerdekaan.
Pemerintah melihat, gagasan program kependudukan tersebut sangat penting dan relevan, lalu membentuk lembaga pemerintah yang menggarap secara formal isu tersebut melalui Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pada tahun 1970.
Dengan terbentuknya BKKBN, tidak membuat PKBI bubar. Justru PKBI memperkaya isu program yang tak kalah urgennya untuk diberi perhatian seperti hak seksual dan kesehatan reproduksi (HSKR) termasuk isu pernikhan dini, infeksi menular seksual (IMS) dan HIV/Aids, kekerasan seksual dan isu perundungan di kalangan remaja.
Visi PKBI adalah membentuk keluarga bertanggung jawab dan inklusif. Saya sendiri pada periode tahun 1995-2000 adalah relawan PKBI Daerah Bali yang pada saat itu bergabung dalam program remajanya yang bernama Kisara atau Kita Sayang Remaja. Kisara tetap aktif hingga saat ini dan bahkan mengerjakan berbagai project di Singaraja.
Saat bergabung dengan Kisara, saya banyak memberi pendampingan remaja pengidap HIV, yang mengalami kehamilan pra nikah serta pengguna narkoba yang sering dikenal sebagai junkies. Dari sanalah akhirnya saya menyadari, hidup ini bukanlah semata-mata persoalan benar salah atau baik buruk belaka.
Harus diakui, pola asuh dan pendidikan formal yang kita terima memang berkisar pada penekanan nilai-nilai benar salah dan baik buruk saja. Benar salah merujuk pada norma hukum yang berlaku dan baik buruk tentu saja menyangkut norma etik.
Di luar konsep itu, hampir tidak pernah kita diajarkan secara serius, untuk bagaimana bisa menerima mereka yang salah dan buruk. Mereka yang terinfeksi HIV, junkies, hamil pra nikah, memiliki orientasi seksual (gay atau lesbian), trans gender terutama waria. Dengan sendirinya kemudian mudah tercipta fenomena stigma kepada semua mereka itu. Aib yang harus dijauhi karena kekeliruan persepsi, yaitu momok yang dianggap dengan cepat bisa menular meski hanya dengan berpapasan atau ngobrol saja.
Stigma lalu meluas ke aspek medis lain seperti pengucilan mereka yang mengidap TBC, kusta, epilepsi, kulit bersisik dan lain-lain. Sebuah penegasan kembali, bahwa semua mereka itu tidak patut diajak berteman dan sebaiknya mereka dienyahkan saja dari kehidupan kita yang sangat berharga ini.
Dalam kearifan lokal filsafat masyarakat Bali sendiri, pun diyakini suatu konsep yang dikenal dengan Rwa Bhineda. Suatu keniscayaan kondisi, adanya selalu dua hal yang bertentangan, namun sejatinya selalu dalam satu kesatuan, baik buruk dan benar salah.
Atas dasar itulah semestinya kita dapat menerima dengan sikap yang baik sesuatu yang salah maupun buruk. Karena konsep kesatuan itulah, dengan adanya salah maka tercipta yang benar dan dari keburukan menyebabkan adanya kebaikan. Seperti adanya siang berkat malam.
Keengganan untuk belajar menerima dan memberi sikap respek kepada mereka yang salah dan buruk, pada akhirnya akan merugikan diri sendiri. Karena dari sana, seseorang yang kemudian di luar rencana dan kekuasaaanya telah melakukan kesalahan dan keburukan, akan melahirkan sikap hipokrit atau munafik dalam dirinya. Merasa orang lain akan memberinya stigma dan memperlakukannya secara buruk, maka lebih baik aib itu disembunyikan jauh-jauh.
Itulah fenomena yang terjadi saat ini. Remaja yang menyembunyikan penyakit menular seksualnya atau kehamilan yang telah dialaminya, dan sebagainya. Itu semua adalah lingkaran setan stigma dan budaya hipokrit yang telah kita ciptakan sendiri.
PKBI dengan visi membentuk remaja bertanggung jawab dan bersikap inklusif mengajak kalangan remaja untuk memahami dan menerapkan gagasan sederhana dan menarik ini, “Bencilah dosanya, bukan pendosanya!” [T]
Klik BACA untuk melihat esai dan cerpen dari penulis DOKTER PUTU ARYA NUGRAHA