RAUNGAN mesin motor mulai terdengar dari arah pintu masuk menuju ke areal acara, hal tersebut menjadi pertanda acara akan segera dimulai. Waktu itu, para pria bertubuh tambun dan kekar memadati Pantai Matahari Terbit, Sanur, Denpasar, mereka mengenakan jaket dan rompi berisikan logo Himpunan Motor Tua (HMT) Bali yang menandakan identitas mereka sebagai klub motor.
Meskipun tampangnya sangar dan garang, ternyata para pria itu ‘jinak’, mereka sangat mudah berbaur, tidak membeda-bedakan. Mereka juga tampak saling bercanda dan bersenda gurau dengan pengunjung-pengunjung yang lain. Mungkin istilah ‘wajah preman, hati hello kitty’ sesuai untuk mereka.
Kala itu merupakan hari pertama perhelatan Bali Rockin Blues Festival sekaligus perayaan ke-35 tahun Himpunan Motor Tua (HMT) Bali. Para pecinta motor tua dan pecinta musik rockin blues tumpah ruah pada hari itu, tak hanya dari Bali saja, tetapi banyak pula yang datang dari luar daerah, dari berbagai penjuru nusantara.
Tampaknya mereka tidak ingin menyia-nyiakan momen berharga ini. Kalau istilah anak motor, ‘kopdar’ alias ‘kopi darat’, di mana para pecinta motor akan bertemu untuk silahturahmi, mengeratkan tali persaudaraan, juga menguatkan hubungan antarkomunitas, khususnya sesama pecinta motor tua.
Dua anggota HMT Bali sedang berswafoto | Foto: tatkala.co/Dede
Gus Mantra saat menyampaikan laporan ketua panitia | Foto: tatkala.co/Dede
“Kalau Jawa punya Java Jazz Festival, kalau di Bali kita punya Bali Rockin Blues Festival,” ucap Agung Bagus Mantra dengan bangga saat menyampaikan laporannya sebagai ketua panitia.
Pria yang akrab disapa Gus Mantra itu juga mengatakan, Bali Rockin Blues Festival kali ini mengusung tema “Full Power in Harmony” dan menampilkan kurang lebih 18 band sedari tanggal 1-2 November 2024. “Mulai dari musisi regenerasi, sampai musisi senior kita tampilkan di panggung ini,” kata Gus Mantra.
Selain konser musik, Bali Rockin Blues Festival tahun ini juga menyajikan berbagai hal. Ada pameran motor tua milik dari HMT Bali, komunitas paint stripping, body painting, dan photo hunting. Festival ini terbuka untuk publik, alias Free Entry.
Puluhan motor dan beberapa mobil tua berbaris rapi menunjukkan kegagahannya, terkesan begitu esklusif dan rare (langka). Banyak terlihat anak-anak muda dan pasangan suami-istri yang menyambangi event tersebut, barangkali sehabis dari Pantai Matahari Terbit mereka langsung melipir ke Bali Rockin Blues Festival. Pameran motor tua itu menjadi tempat yang asyik untuk mencuci mata para lelaki, banyak pula dari mereka berswafoto di depan motor-motor antik itu.
Pengunjung sedang berswafoto di areal pameran. Foto: tatkala.co/Dede
Pameran motor tua di Bali Rockin Blues Festival 2024 | Foto: tatkala.co/Dede
Sepertinya saya juga merasakan hal yang sama, hanya bisa menikmati keindahan tanpa memilikinya. Ah, sudah seperti judul lagu dari band ST12, “Cinta Tak Harus Memiliki”. Saya juga sempat mencoba menunggangi salah satu motor yang di-display, hanya untuk berswafoto. Rasanya memang berbeda, duduk di kursi vintage yang terasa hangat nan mahal. Sensasi menaiki motor itu selalu melekat diingatan saya, bahkan sesampai di rumah pun masih rekat.
Acara pada petang itu dibuka secara resmi oleh Ni Luh Putu Riyastiti, S.S., M.Par. selaku Kepala Dinas Pariwisata Kota Denpasar, yang pada saat itu mewakili PJ Wali Kota Denpasar yang berhalangan hadir.
Seusai dibuka secara resmi, acara pun langsung beranjak ke perayaan HUT Himpunan Motor Tua (HMT) Bali ke-35 tahun, yang ditandai dengan pemotongan tumpeng sebagai simbolisasi. Semua anggota HMT Bali yang hadir tampak memadati areal depan panggung. Seraya tumpeng dipotong, semuanya menyanyikan lagu “Happy Birthday”. Mungkin itu adalah senandung “Happy Birthday” paling sangar yang pernah saya dengar.
Salah satu anggota HMT Bali yang begitu bersemangat hari itu adalah Nyoman Yasa, ia termasuk anggota yang cukup lama bergabung dengan klub motor tertua di Bali itu, ia bergabung sejak tahun 1991 sampai sekarang.
“Acara ini sangat istimewa dan membahagiakan untuk kita semua, khususnya untuk saya sendiri. Sejak awal saya bergabung, dulu masih sedikit. Tapi makin ke sini, semakin ramai dan kegiatannya semakin modern. Kami juga kerap melakukan kegiatan sosial, jadi suatu kebanggaan bagi saya bisa membersamai HMT Bali sampai saat ini,” ungkap Nyoman Yasa dengan senyum sumringah.
Anggota HMT Bali di depan panggung saat sesi pemotongan tumpeng | Foto: tatkala.co/Dede
Setelah seremonial formal itu berakhir, acara pun dilanjutkan dengan penampilan dari John and The Jail Story (band asal Bali). Mereka mampu membangkitkan suasana dan gairah pengunjung dengan alunan musik country rockabilly yang khas. Betotan contra bass dan hentakan drum yang agresif membuat suasana malam itu jadi semakin asyik.
Ghost Riders in The Sky menjadi lagu pertama yang dibawakan, lagu yang dipopulerkan oleh Johnny Cash itu amat sesuai bagi semua komunitas ataupun klub motor yang hadir, lagu tersebut mencerminkan semangat para pecinta motor tua.
Para anggota HMT Bali tampak berjoget ria di depan panggung, para turis juga tampak turut merayakan dengan berdansa bersama pasangannya. Rasanya saya sudah seperti berada di acara klub motor Amerika, yang dahulu kerap saya lihat di film-film layar kaca.
John Lano, sang vokalis John and The Jail Story juga merupakan bagian dari HMT Bali. Ketika ditawari minuman oleh salah satu anggota HMT Bali, ia langsung meneguknya di atas panggung tanpa ragu, ini adalah bukti persaudaraan antar mereka begitu erat nan kuat.
John Lano ketika mengambil minuman (arak) dari Ade Sariasa | Foto: tatkala.co/Dede
Saat itu saya berada di depan panggung bersama beberapa anggota HMT Bali yang menikmati konser, mereka merangkul dan mengajak saya bersama-sama menikmati alunan musik country rockabilly itu, kebetulan memang rockabilly adalah salah satu genre musik yang saya sukai, bermula dari gemar mendengarkan lagu-lagu Elvis Presley dan Stray Cats.
Salah satu anggota HMT Bali yang saya temui saat itu adalah Gede Ade Sariasa atau akrab disapa Ade, ia merupakan salah satu anggota yang sudah bergabung sejak tahun 2005 sampai sekarang.
Kami seperti sudah saling mengenal lama, seperti anak dan bapak yang sedang menonton konser. Sembari menonton penampilan John and The Jail Story, ia menceritakan banyak hal kepada saya, ditemani dengan segelas arak di tangan kanannya yang tak pernah dilepasnya.
Ade Sariasa menikmati penampilan John and The Jail Story | Foto: tatkala.co/Dede
Ade Sariasa (anggota HMT Bali) | Foto: tatkala.co/Dede
“John Lano juga merupakan anggota HMT Bali, sudah seperti keluarga, makanya mau nerima arak saya De, hahaha,” ujar Ade sembari tertawa.
Ade Sariasa mengatakan, anggota resmi HMT Bali saat ini kurang lebih 200-an orang, dan syarat untuk bergabung wajib memiliki motor klasik, dengan usia motor paling muda tahun 1970-an.
Baginya, penggemar motor klasik itu esklusif, motor tua itu sangat bernilai, dan anak muda masih jarang bisa bergabung karena memang dari segi harga relatif tinggi. Terlebih lagi, motor tahun lama lumayan sukar untuk dicari. “Kalau saya memang cinta, jadi beli satu saja sudah cukup. Dengan kita ikut merawat dan melestarikan, jadi kita ikut melestarikan warisan sejarah motor dunia,” ungkapnya dengan bangga.
“Ini berbagai komunitas pecinta motor tua dari seluruh Indonesia datang ke sini, De, Jadi ini semacam giat silahturahmi atau simbiosis mutualisme. Kalau mereka ada acara, kita juga bisa datang ke sana,” ucap Ade sambil menunjuk sekeliling.
Foto bersama Himpunan Motor Tua (HMT) Bali | Foto: tatkala.co/Dede
Ketika John and The Jail Story mengakhiri penampilannya, obrolan ngalor-ngidul saya dengan Ade Sariasa juga berakhir. Ia memberi tahu motor miliknya kepada saya, seraya ia menunjuk dari panggung ke arah parkir motornya.
“Motor saya Royal Enfield tahun 1952, De, ga ada yang punya di sini. Itu dia yang warna hijau. Nanti kamu lihat saja ke sana,” ujarnya.
“Iya sih, motornya cuma satu, tetapi harganya bisa buat beli motor matic keluaran terbaru satu truk, hahaha,” sahut saya dengan nada bercanda.
Begitulah para pecinta motor tua, bukan hanya motornya saja yang klasik, tetapi pemiliknya juga antik.[T]
Reporter/Penulis: Dede Putra Wiguna
Editor: Jaswanto