//Cerita-ceritra Tantri menjadi penting untuk cahaya zaman? Kecerdikan, kecerdasan, kepantasan, kepatutan, ajaran, serta pesan-pesan moral adalah cahaya yang senantiasa disampaikan cerita- cerita ini.//
SETIAP orang yang dibesarkan dalam tradisi Bali pasti pernah mendengar cerita Pancatantra. Dan setiap orang Hindu terpelajar diyakini mengenal nama Visnu Sarma. Para peneliti cerita-cerita Pancatantra dan kisah yang tertera pada kitab Hita Upadesa diyakini sebagai karya Visnu Sarma. Boleh jadi Visnu Sarma tidak mengarang utuh cerita Pancatantra, setidaknya ia pengumpul Pancatantra dari masa India Kuno – hingga berkembang ke pelosok dunia dalam varian-varian berbeda maupun lewat kisah yang utuh.
Kemunculan Visnu Sarma sebagai pencerita Pancatantra berawal dari kisah seorang raja di India Selatan. Ibu kota kerajaan bernama Mahilaropyam. Raja mempunyai tiga putra kesayangan, namun kecerdasannya tidak seperti sang ayah. Tiga putra ini amat pandir, kelak setelah akil balik ia dijuluki pangeran bego. Sang raja sangat gelisah, tak terbayangkan bagaimana tiga pangeran bego bisa memimpin negara. Kerajaan dikhawatirkan jatuh di tangan seorang raja yang pandir. Sang raja kemudian memanggil Visnu Sarma – berharap bisa mendidik tiga pangeran bego itu.
Apa yang terjadi kemudian? Raja bertanya pada Visnu Sarma, “Bagawan, hidup ini sangat singkat, sementara pengetahuan tidak bisa dipelajari dalam waktu sekejap – lalu apakah kalian bisa mendidik anak saya dalam waktu singkat?
Sembari menjawab pertanyaan sang raja, Visnu Sarma tersenyum, “ Yang Mulia, mohon paduka mendengar kata-kata saya. Percayalah dan peganglah kata-kata saya. Saya tidak akan menjual pengetahuan karena loba harta benda. Umur saya sudah delapan puluh tahun, seluruh indra saya sudah terkendali. Sebagai seorang guru, saya siap mendidik putra Tuan, jika dalam waktu enam bulan putra Tuan tidak paham ajaran Nitisastra, maka biarlah saya tidak mencapai sorga.”
Benar, Visnu Sarma berhasil mendidik tiga pangeran bego menjadi calon raja yang cerdas dan bijak – dan nama Visnu Sarma pun melambung tinggi sebagai penulis dan penutur Pancatantra. Nama besar Visnu Sarma tak pernah terlelapkan waktu. Pancatantra tak cuma hidup di tanah India. Kisah ini nyaris mengaliri seluruh peradaban cerita dunia, berkembang dan dituturkan ke pelosok negeri, tentu denga versi dan varian yang berbeda.
Nun di abad-abad lampau, manakala India dikuasai Sultan Iskandar Akbar, Pancatantra berkembang di tanah Arab, juga di negeri-negeri lain dalam terjemahan beragam bahasa, tak kecuali di Jawa dan Bali. Cerita Kalilah dan Dimnah karya Baidaba merupakan varian untuh adaptasi Pancatantra berbahasa Arab, dierjemahkan Abdullah Ibnul Muqafja.
Pada tahun 1942, Ismail Djamil menterjemahkan cerita ke dalam bahasa Indonesia. Sepanjang kurun waktu 31 tahun, sampai di tahun 1971, Balai Pustaka telah mencetak buku ini hingga cetakan ke V. Ini artinya Pancatantra sanggup menemui pembaca-pembacanya yang jauh dari peradaban Hindustan.
Apa yang terjadi di Jawa dan Bali kemudian? Di dua peradaban pulau tua ini Pancatantra mendapat apresiasi begitu luas. Ada banyak fabel, kisah cerita-cerita binatang yang secara langsung atau tak langsung berasal- usul dari cerita Pancatantra. Teks prosa paling tua dalam bahasa Jawa Kuna bertajuk Tantri Kamandaka menunjukkan babon tunggal cerita India itu. Yang menarik, di wilayah Jawa dan Bali, di samping ditemukan teks prosa, ditemukan juga teks dalam metrum kidung, kakawin, dan geguritan. Ini gambaran menarik, betapa Pancatantra di Bali mendapat sentuhan kreatif begitu beragam, diolah sesuai tradisi dongeng setempat.
Edisi diplomatik teks Tantri Kamandaka dikerjakan ahli Jawa Kuna Dr. R.M Ng Peorbatjaraka. Teks yang kemudian dirujuk oleh C. Hooykaas ketika menulis “Tantri Kamandaka, een Oudjavaansche Pancatantra (1931). Belakangan dalam rangka pengajaran bahasa Jawa Kuna, L Mardiwarsito (1983) menghadirkan kembali teks lengkap Tantri Kamandaka, disertai terjemahan dan glosarium, dicetak penerbit Nusa Indah.
Selain prosa Jawa Kuna, di Jawa juga muncul Kidung Aji Darma, lazim disebut Kidung Angling Darma. G.W.J Drewes dalam karyanya The Romance Of King Ańliń Darma, terbitan KITLV Press (1975) telah meneliti kidung ini, dan membandingkannya dengan hikayat Shah Mardan dan Hikayat Bayan Budiman.
Di Bali ada sejumlah teks yang masing-masing boleh dianggap berdiri sendiri. Dalam bentuk kidung, cerita Tantri ditulis pada tahun 1728 Masehi, oleh dua orang pendeta kakak beradik, Ida Pedanda Nyoman Pidada dan Ida Pedanda Ketut Pidada. Hal ini bisa dibuktikan dari piagam Sira Arya Gajah Para, Puri Anyar Sukangineb Sindu, Sidemen. Kidung yang kemudian dikenal dengan nama Nandaka Harana (Prahara Nandaka) ini tetap menjadi bagian penting dari pembribumian Pancatantra di Bali.
Lebih dari tiga abad kidung Nandaka Harana itu hanya dibaca dalam manuskrip lontar. Baru kemudian di tahun 1968, Ida Tjokorda Gde Mayun, Puri Anyar, Klungkung merintis dalam bentuk buku cetakan, disajikan dalam aksara Bali disertai terjemahan bahasa Bali, diterbitkan Toko Murni, Klungkung. Dengan demikian teks ini bisa dibaca kalangan lebih luas. Teks lengkap Nandaka Harana diterbitkan kemudian oleh Dinas Pendidikan Dasar Provinsi Bali, 1996, disajikan dalam aksara Bali, disertai terjemahan bahasa Bali. Sebelumnya, tahun 1986, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Bali menerbitkan pula Tantri Carita Nandaka Harana, Teks dan Terjemahan dalam bahasa Bali. Kali ini dihadirkan dalam sajian huruf latin. Teks yang sama dicetak kembali Penerbit Paramita (2005), disertai terjemahan bahasa Indonesia.
Ada beragam cerita Tantri yang sesungguhnya boleh dipandang sebagai pengembangan kreatif para pengawi Bali. Tentu selain Tantri Nandaka Harana atau Tantri Kamandaka ditemukan juga Kidung Raga Winasa, atau disebut juga Kidung Tantri Manduka Praharana, kisah prahara si Manduka.
Ida Pedanda Made Sidemen, pengarang besar Bali abad ke –20 juga mengarang Kidung Pisaca Harana. Tak ketinggalan juga Kidung Manuk Kaba yang ditulis jauh di belakang. Sayang diantara beragam karya ini tak satupun disajikan untuk memenuhi kebutuhan cerita anak-anak. Semua dihidangkan untuk sidang pembaca dewasa yang cukup terpelajar dalam penguasaan metrum kidung dan aksara Bali.
Tidak seperti pengajaran sastra di Barat, yang mengkemas khusus karya-karya William Shakespeare ke dalam pandangan dunia anak-anak. Ini sama sekali tidak dilakukan oleh pengarang-pengarang Bali tradisional. Sebagai cendekiawan dan pembaca modern, kesenjangan ini dipikirkan kemudian I Gusti Bagus Sugriwa ketika hendak menyiapkan buku ajar Rama Dewa untuk pengajaran bahasa Bali siswa-siswa SMP di Bali. Sugriwa telah mengkemas Ramayana kakawin menjadi bacaan mudah, sajian yang singkat, gampang dicerna anak-anak pada zamannya.
Di zaman lebih awal, di tahun 1930-an, pendidik, pengarang novel Nemu Karma I Wayan Gobyah telah menyadari kesenjangan itu manakala menyajikan cerita tantri Lutung Mungil, varian tantri Bali untuk pembaca anak-anak di zamannya. Kelak tanpa tahun terbit, Yayasan Penerbitan Saraswati menerbitan Geguritan Lutung Mungil dalam cetakan beraksara Bali.
Rintisan I Wayan Gobyah dilanjutkan kemudian pendidik I Made Pasek, ketika ia menuturkan ulang Satua Katuturan Ni Dyah Tantri. Cerita Tantri ini memang dikemas untuk bacaan anak-anak, tujuannya supaya para siswa bisa memetik ajaran budi pekerti dari kisah yang disajikan. Di tahun 1940-an, adaptasi Made Pasek menjadi bacaan wajib siswa SD se-Bali. Tahun 1977 Parisada Hindu Dharma, menerbitkan ulang karya Made Pasek atas persetujuan ahli warisnya. Tahun 1999, Yayasan Dharma Sastra, Denpasar menerbitkan edisi latin buku ini.
Sayang ketika penguasaan aksara Bali dan bahasa Bali makin merosot, karya I Made Pasek pun menjadi kian jarang ditengok. Buku ini kemudian menjadi bacaan wajib bagi mahasiswa IKIP Universitas Dwijendra, Denpasar yang menekuni jurusan bahasa dan sastra Bali di mana dulu merupakan buku ajar siswa-siswa sekolah rakyat.
Kini arus balik seakan terjadi, ketika anak-anak tidak memahami ceritra Tantri dalam bahasa lokal, Pancatantra dalam edisi Indonesia hadir dengan kesegaran bahasa anak-anak. Rintisan awal dikerjakan Made Darmayasa, disadur dari sumber asli karya Visnu Sarma. Sejak tahun 1995, Penerbit Manikgeni berjasa menerbitkan rangkaian terpisah cerita itu. Tahun ini edisi lengkap Pancatantra telah diterbitkan ulang. Tujuh tahun lalu, hal yang sama dilakukan juga Penerbit Paramita. Sayang penerjemah, I Wayan Maswinara tidak menyebut sumber asli edisi yang dialihbahasakan. Kendati demikian, usaha ini bisa mengobati kerinduan generasi muda untuk kembali pada cerita Pancatantra, sudah tentu dalam bahasa lebih mengena, walau jauh dari suasana pembaca lokal.
Apa kemudian pesan yang sampai di benak pembaca, dan kenapa ceritra-ceritra Tantri menjadi penting untuk cahaya zaman? Kecerdikan, kecerdasan, kepantasan, kepatutan, ajaran, serta pesan-pesan moral adalah cahaya yang senantiasa disampaikan cerita- erita ini. Jauh hari, saat mana I Made Pasek terpanggil membahasakan cerita-cerita ini untuk anak-anak zamannya, sang penulis mengibaratkan cerita ini seperti taman yang indah.
Dalam kata pengantar buku berjudul Katuturan Ni Dyah Tantri, Made Pasek menuliskan begini: “Katuturan puniki upamiang titiang sakadi tamanne madaging sakancan tarune sane woh ipun becik ajengang wiadin kateda, makadi sakatahing sekar sane arum sumirit gandanipun. Cerita ini saya umpamakan seperti taman, berisi segala pohon yang buahnya enak dimakan, begitu pula segala bunga yang harum baunya.”
Tentang kehadiran tokoh-tokoh binatang dalam cerita ini, Made Pasek memberi pemahaman sebagai “papiring” atau sindiran untuk membaca. “Mungguing satuané sané kaparidartayang iriki, wiakti jejelegnya makuéhan soroh sato. Nanging yan buat suksman ipun tan lian wantah papiring ring jadma. Puniki awinannya keni ida dané ipun kahyun ugi muponin suksmannya, anggén ngraga, réh daging katuturané puniki, kamanah antuk titiang wiakti kalintang luih, tan pai kalawan ratna kastuba, utamaning ratnané sané magenah ring telenging sagarané.
Demikian Tantri berkembang di Bali, tidak cuma hadir sebagai penghibur gulana, tapi turut menjaga peradaban batin dan nilai-nilai yang dibenamkan manusia Bali, tentu dalam beragam alih wahana, baik dalam olahan genre sastra; gancaran, geguritan, kidung, kakawin, maupun dalam genre gambar semisal; tantri prasi, lukisan, dan panil-panil candi di Pura-Pura. Ini semua adalah sebentuk wahana lewat mana cerita Tantri dialirkan sepenuh gairah, menghapus rasa haus batin anak-anak zaman yang kerontang ─ di mana kini ponsel android kian menjauhkan rasa itu. [T]
Pakubuan Kusa Agra
- BACA artikel lain dari penulis I WAYAN WESTA