TAK banyak ahli Jawa Kuna berani menegaskan, di zaman kerajaan apa kakawin Ramayana ini ditulis? Entah di zaman Dyah Balitung [898-910], atau di zaman Raja Pu Sindok [ 929-948] Jawa Timur. Bahkan diperkirakan lebih awal di zaman Rakai Kayuwangi [855-885]. Di titik ini kita benar-benar dikurung kabut tak tertembus waktu.
Namun IBG. Agastia, budayawan, penekun sastra Jawa Kuna, pensiunan dosen Fakultas Sastra Universitas Udayana, menegaskan satu kesimpulan penting perihal kakawin ini. Bahwa kakawin Ramayana ditulis pada hari Senin [Soma] Umanis, Wuku Sungsang, bulan Agustus [Bhadrawada] tahun 1016 Saka—atau tahun 1084 Masehi.
Menurut Agastia, kronogram penanggalan itu bisa dibaca dari kata ‘bhadrawāda’ śiṣța sang sujana śuddha manahīra, byaktīwās ucapanta ring julung adhomuka. Kata bhadrawāda menunjukkan nama bulan [agustus]. Yan menunjukkan tahun saka adalah deretan kata, ‘śiṣța sang sujana śuddha manahīra,.
Śista [dapat didekatkan dengan kata sasti] yang bernilai 6, sujana bernilai 1, śuddha bernilai 0, manah bernilai 1. Jadi tahun yang dimaksud adalah tahun 1016 Saka[2013:8].
Akan tetapi, sesengkarut apa pun perdebatan itu, J.J Ras memandang karya ini sebagai kekawin pertama di Jawa. Yang boleh jadi digarap sezaman dengan pembangunan kompleks Candi Prambanan. Bila Prambanan adalah candi Siwa terbesar di Jawa, kakawin Ramayana adalah “candi bahasa” atau “candi pustaka” terbesar yang juga ditulis untuk memuliakan Siwa.
Sekiranya zaman Mataram Kuna tidak mewariskan karya abadi ini, dipastikan Bali, pulau kecil ini tidak mewarisi candi bahasa begitu megah—yang sampai kini tetap dibaca dalam ruang batin apresiasi bernama mabebasan, sebuah gelar apresiasi, tafsir teks yang komperehensif dalam tradisi Bali, hingga sampai kini pun kakawin Ramayana tetap menginspirasi, menjadi babon bagi karya-karya sastra Bali belakangan, dirujuk sebagai lakon seni pertunjukan sampai kini.
Ramayana memang betul-betul abadi, sebagaimana ucapan Walmiki yang tak terbantahkan. “Selama gunung-gunung masih berdiri, selama sungai-sungai masih mengalir di bumi, maka kisah agung Rama dan Sita, akan tetap termasyhur.”
Yogiswara adalah pengalih bahasa pertama tentang itihasa Ramayana ke dalam tradisi Jawa Kuna, yang di sana sini disisipkan bagaimana etik seorang kesatria Jawa—perihal ajaran kepemimpinan yang kelak dijabarkan sebagai ajaran aṣța brata, menuliskan sepilihan traktat etik kepemimpinan Hindu Jawa yang dibumikan kembali dalam traktat etik raja-raja Bali, sebagaimana bisa kita baca dalam teks Rajasasana dan Nitirajasasna.
Cokorda Mantuk Dirana [I Gusti Ngurah Made Agung] sosok terpelajar di zamannya, Raja Badung yang memilih meniada di medan perang [Puputan Bandung] adalah teladan langsung bagaimana asta brata itu dibandankan, di mana dalam praktik pemerintahan, sang raja menguraikan lebih rinci mejadi brata nem belas sebagaimana kita baca dalam Geguritan Nitirajasasana.
Tentu sebagaimana amatan J,J Ras, kakawin Ramayana dapat diinterpretasikan bermacam-macaM [2014:67]. Ia dapat dibaca sebagai epos, alegori politik, sajak pengajaran agama, karya sastra murni, dan juga sebagai drama kosmos dalam rangka kultus kesuburan.
Namun bila boleh saya tambahi, Ramayana juga pegangan etik bagi kesatria, sajak cinta dan kesetiaan penuh tragik, atau karya pencerah batin sebagaimana disuratkan Yogiswara di akhir kakawin: Sang Yogiswata śiṣța sang sujana śuddha manahīra huwus macé sira—para sarjana, orang bijaksana makin suci hatinya usai membaca [cerita] ini.
Gelombang literasi Jawa Kuna yang menghidupkan cahaya kemanusiaan, yang memberi peradaban Jawa Kuna cahaya akal budi, tentu tidak cumabberhenti pada hadirnya kakawin Ramayana. Gelombang literasi besar di Nusantara [Jawa] justru kian mendapat perhatian serius di zaman Raja Sri Darmawangsa Teguh [996-1016].
Dengan visi besar saat itu, raja mengeksekusi agenda besar, mempribumikan ajaran-ajaran Bhagawan Byasā—yang oleh IBG. Agastia kerap disebut sebagai proyek besar “Mangjawaken Byasāmata”—proyek besar membahasajawakan ajaran-ajaran Bhagawan Byasā.
Inilah proyek literasi paling tua dan paling spektakuler di Nusantara, dikepalai seorang raja, yang duduk sebagai manggala tim. Bahkan dalam sejumlah parwa, seperti disuratkan teks Wirataparwa, mencatatkan laporan tim penerjemah kehadapan raja, perihal laporan terkini, sejauh mana proyek itu telah berjalan.
Wirataparwa “merekamnya” begini, “Duli paduka, beginilah sejauh saya ingat. Kita mulai membaca cerita ini pada hari ke-15 bulan gelap dalam bulan Asuji; harinya tungle[h], keliwon Rabu pada wuku Pahang dalam tahun 918 penanggalan saka. Dan sekarang hari Mawulu, Wage, Kemis dalam Wuku Madangkungan, pada hari ke-14 paro petang dalam bulan Karttika. Jadi waktunya genap satu bulan kurang satu hari.
Pada hari kelima Baginda tidak menitahkan diadakannya suatu pertemuan, karena Baginda terhalang urusan lain. Menerjemahkan kitab ini ke dalam bahasa Jawa Kuna minta waktu yang cukup banyak. Duli mengharapkan, agar pembawaan tidak melampaui kesabaran Baginda dan tidak dianggap terlalu panjang.
Demikianlah tim penerjemah proyek besar “mangjawakén Byasāmata” ini mencatatkan, sekaligus menunjukkan visi besar seorang raja pada zamannya. Di abad itu, di mana penanggalan masehi menunjukkan 14 Oktober sampai 12 November 996 [genap 1.028 tahun], Raja Darmawangsa Teguh membangun suatu kebangkitan ‘daya budi’ untuk tata adab baru dunia Jawa, yang dikemudian hari berimbas besar pada tata adab Pulau Bali—pulau di mana sampai hari nyaris semua warisan teks-teks itu terselamatkan, hidup, dan dibaca hingga hari ini di Bali.
Dan hingga seribu tahun kemudian di era tahun 1980-an, boleh jadi gerakan daya budi ini mengilhami Prof. Dr. Ida Bagus Made Mantra, Gubernur Bali saat itu merancang tim penerjemah, guna menerjemahakan sejumlah parwa dan kakawin penting ke dalam bahasa Bali dan bahasa Indonesia, baik ke dalam aksara Bali dan aksara latin.
Kita tahu akhirnya alih aksara dan terjemahan kitab-kitab ini mendorong berkecambahnya kelompok-kelompok kegiatan mabebasan ke seluruh Bali. Walau hal serupa sudah didahului oleh upaya personal I Gusti Bagus Sugriwa di tahun 1960-an.
Budayawan pencita sastra ini mengalih aksarakan begitu banyak kakawin, lengkap ke dalam arti berbahasa Bali maupun ke dalam bahasa Indonesia, disajikan dalam aksara Bali dan huruf latin, tentu dengan tujuan teks yang dialihaksarakan ini bisa menjadi jembatan generasi untuk memahami ajaran-ajaran leluhur dan nilai-nilai penting bagi kehidupan.
Bagaimana sejarah warisan rohani itu sampai ke Bali sehingga membentuk metamorfose baru ke dalam dunia pernaskahan Bali? Yang nantinya mengihlami gerakan daya budi zaman berikutnya di Bali. Jawaban paling terang bisa kita rujuk dari konfirmasi Dr. Juynboll (1916) dalam De Letterkunde van Bali.
“Bahwa orang-orang Jawa sesudah jatuhnya kerajaan Hindu Majapahit terakhir, serta merta memindahkan seluruh kebudayaan yang lama ke Pulau Bali yang dekat, di mana hal itu sampai kini hidup terus.”
Hal ini dipertegas kembali Prof. Dr. Zoetmulder. Menurutnya, sejak Bali ditundukkan Majapahit tahun 1343, orang-orang brahmin (pendeta) dari Jawa menetap di Bali sembari membawa ajaran dan pratik keagamaannya dan dengan demikian memperkuat pengaruh India yang telah aktif semenjak abad-abad sebelumnya.
Bahwa sejak pertengahan abad ke-14 Bali masuk ke dalam lingkup pengaruh Hindu Jawa seperti terasa lewat pusat kebudayaan dan religi; dan sebagai konsekuensi, bahwa semenjak saat itu Bali harus dipandang sebagai suatu bagian dari dunia kebudayaan Hindu Jawa.
Di pusat-pusat keagamaan (seperti Gelgel) bahasa Jawa Kuna hampir pasti dituturkan dan ditulis. Di mana karya-karya yang ditulis di Bali susah dibedakan dari karya-karya yang ditulis di Jawa sendiri (1983:24).
“Dengan demikian kepada Bali-lah kita berhutang budi karena di sana sastra Jawa Kuna diselamatkan. Kumpulan sastra Jawa Kuna dan Pertengahan yang kini disimpan dalam berbagai perpustakaan hampir semua berasal dari Bali,” demikian surat Zoetmulder.
Ketika dunia Jawa mulai redup, mendekati tahun-tahun akhir Majapahit, Gelgel di bawah kekuasaan Dalem Waturenggong (1460-1550) abad XIV memasuki fase kebangkitan daya budi. Kedatangan dua Mahapandita dari Jawa, Dang Hyang Nirartha (Siwa), Dang Hyang Astapaka (Boda) mengantarkan Gelgel menemui puncak keemasan.
Dang Hyang Nirartha seorang Kawi yang paling gemar berkelana menikmati keindahan laut dan gunung. Di samping mengemban kedudukan sebagai penasihat raja, zaman ini menempatkan Nirartha sebagai pujangga besar—yang karya-karyanya begitu melimpah. Anyang Nirartha, Dharma Sunya, Sarakusuma, Ewer, Rasmi Sancaya, Mayadanawantaka, Kidung Sebun Bangkung, adalah di antara puluhan karya yang masih kita baca sampai dedik ini.
Purohita Dalem Waturenggong ini memiliki seorang siswa kesayangan yang juga pujangga ternama zaman itu, tak lain adalah Ki Dauh Bale Agung, sekretaris kerajaan di zamannya. Kidung Arjuna Pralabdha, Anting-Anting Timah, Sagara Gunung, Wukir Padelengan, Rareng Canggu, Jagul Tua adalah karya-karyanya yang monumental itu.
Zaman Gelgel tak kurang meninggalkan 37 karya sastra, melahirkan enam pengarang; Dang Hyang Nirartha, Ki Dauh Bale Agung, Pangeran Telaga, Ida Bukcabe, Ki Pande Bhasa, Pandya Agra Wetan. Setidaknya itulah yang dicatatkan Kidung Pamancangah yang ditulis oleh Ida Pedanda Gde Rai.
Runtuhnya keraton Gelgel akibat kekacauan politik terus-menerus, dan atas prakarsa Gusti Sidemen, mendesak Dalem Dimade raja terakhir dalam deretan dinasti Gelgel untuk serta merta memindahkan keraton ke utara.
Nama keraton yang baru ini adalah Smarajaya atau lebih polpuler lewat sebutan Smarapura, sementara kota yang ditinggalkan bernama Sweccalingarsapura. Untuk yang pertama bisa kita maknai sebagai kota bagi pemuja keindahan. Untuk yang kedua coba kita maknai sebagai kota yang memberi kebahagian hati.
Semenjak pindahnya istana, Smarapura otomatis menjadi pusat pemerintahan sekaligus pusat kebudayaan. Seperti juga leluhurnya di Gelgel, Smarapura hampir mengadopsi semua pranata kebudayaan Jawa (Majapahit), mulai dari tata kraton, tata pemerintahan, hukum, kesenian, sastra dan agama.
Munculnya Dewa Agung Istri Kania ke panggung sejarah—sebagai raja wanita satu-satunya dalam deretan dinasti Kresna Kepakisan—membuat Smarapura semakin dihormati. Tercatat selain sebagai seorang raja, Dewa Agung Istri Kania adalah juga seorang Kawiraja.
Raja inilah yang memprakarsai diadakannya temu sastra setiap Purnama Kapat di Pura Tamansari, Klungkung—suatu gerakan daya budi yang tak cuma hendak memuliakan sang raja sebagai “sang panikelan tanah”, akan tetapi kian menegaskan kota ini pantas disebut Smarapura.
Sebagai Kawiraja, Kakawin Astikayana memuji sosok ini sebagai prajñeng sastra. Teguh pada janji diri, keturunan utama yang telah diresapi rasa keindahan (prajñéng sāstra susila subrata suwangsādi wyapakéng langö).
Dari kakawin Parthakarma, raja ini dipanggil Nrapakanya Rajadayita (lawan sang Nrapakanya Rajadayita dirghāyusa), dalam bait terakhir kakawin ini beliau dipanggil Nrpatiwadhu (Bhranta ngwang kinedo tekap i sang nrpatiwadhu miket pralampita). Sementara dalam kakawin Skraprajaya belaiu dipanggil dengan nama Sri Ratneswara (Sri Ratneswara nama rajadayita hyang Dhatradewyangdadi).
Sementara Kakawin Astikayana, menghadirkan nama beliau sebagai Sri Wiryasakanta (Sri Wiryasakanta rakwa tinelah de sang mahabhiksuka). Sedangkan kakawin Prtuwijaya memberi sebutan raja ini Sri Prakrtiwirya (sang sri Prakrtiwirya nama nira suddha brahmangsanulus).
Memasuki dekade terakhir pemerintahan Ratu Kania, Smarapura melahirkan pujangga sekaligus seorang pandita Ida Pedanda Gde Rai. Dapat dipastikan Babad Dalem dan Kidung Pamancangah adalah karya beliau yang kita kenal selama ini.
Dan dalam tenggang waktu pemerintahan Dewa Agung Putra I sampai pemerintahan Dewa Agung Putra III (1785-1903) kita bertemu dengan pengarang produktif Ida Anak Agung Pameregan.
Pengarang yang sering memakai nama samaran “Sira Wirya Gora Pretoda dan Wirya Tanu” ini sering disebut-sebut sebagai ahli wariga, tatwa, parwa, sasana, dsb. Geguritan Calon Arang, Kidung Duh Ratnayu, Kidung Pangiket Ipian, Ligia Padem Warak, Geguritan Salia, Peparikan Angastya, Stri Sasana, dan lain sebagainya, adalah karya-karya beliau yang kita kenal.
Demikialah sedikit lintasan historis kesusastraan Bali yang rembesannya mengalir dari zaman Mataram Kuna yang mengihlami kebangkitan daya budi hingga berakhirnya kerajaan Klungkung—menyebar dan berdiaspora ke seluruh Bali, diendapkan, disimpan atau disalin ulang di geria-geria dan puri-puri seluruh Bali.
Naskah-naskah ini direkam aksara, diawetkan bahasa. Aksara dan bahasa ibarat kapal dan air, yang membawa serta ajaran-ajaran, nilai-nilai bertemu dengan para pewaris teks, untuk dibaca, diresapi demi pemulian hidup.
Berabad-abad rekaman ini menjadi pengetahuan untuk siapa saja yang mendalami perihal hidup dan perihal mati [darma kahuripan dan darma kepatian]. Tapi rekaman ini akan tenggelam seperti mumi bila teks-teks itu tak bertemu dengan pembaca. Karenanya ia membutuhkan seorang ahli, ia butuh seorang yang bisa membaca, memahaminya, menterjemahkan untuk menyambungkan teks masa lalu itu pada generasinya. Alih-alih bisa dibahasakan sesuai semangat zaman.
Di Bali, sastra dalam pengertian luas [sāstra] tak cuma meliputi tema-tema sastra yang indah, menyangkut pengetahuah teknis, perihal prosedi persajakan, pada lingsa, wewilatan, wirama, dan aturan-aturan tehnis lainnya yang kerap menceritakan tema-tema kepahlawan, kesetiaan, cinta, dan sebagainya.
Namun sāstra dalam pengertian lebih luas itu terkait juga dengan sistem pengetahuan manusia Bali, mulai dari arsitektur, usada, plelutuk, carca, pertanian, musik, astronomi, pengetahuan mistik, filsafat, dan lain sebagainya. Inilah warisan melimpah masyarakat Bali, yang tak cuma mesti dipelajari, akan tetapi turut serta dibadankan.
Di titik inilah sesungguhnya tugas sarjana sastra Bali. Ia mengemban dua tugas penting. Pertama, sebagai akademisi, ia bertanggung jawab melakukan pendataan, pembacaan, pengkajian dengan segenap metodeloginya, kajian-kajian ilmiah dengan segenap ilmu filologi guna menetapkan teks diplomatik maupun teks autograf.
Ini tugas yang tak gampang pastinya, mengingat sebisa mungkin setiap sarjana sastra Bali memiliki kompetensi linguistik memadai, bila tidak kerap menghasilkan alih aksara dan alih bahasa serampangan.
Tugas kedua adalah, membangun humanisme. Tugas sastra yang pertama-tama adalah memanusiakan manusia. Dan tugas sarjana sastra Bali di sini adalah menyampaikan pesan-pesan itu, baik dalam bentuk tulisan dan karya-karya kreatif lainnya. Ia adalah perajut dan penimba makna.
Di tengah-tengah kegelapan, beban kekerasan hidup, sengkarut politik, kekeringan batin, dan krisis multi dimensi dunia, sastra seharusnya sanggup menyalakan cahaya makna. Itulah makna ‘dipa sastra’ sesungguhnya, sastra sebagai penerang dan pencucian jiwa. Teks-teks Slokantara, Nirarthaprakreta, dan teks-teks lain yang melimpah memberi kita ilustrasi menarik perihal ini.
“Tubuh kotor dibersihkan air, pikiran kotor dibasuh tutur kebajikan”. Maka palukatan paling asali bagi manusia Bali, adalah membaca sekaligus membadankan pesan-pesan sastra—dan sarjana yang telah sampai disitu disebut sebagai “satra paraga”, ia yang telah membadankan baik dalam pikiran, kata-kata, dan tindakkannya senantiada dalam kebenaran.
Itulah yang dibahasakan dalam Kidung Tantri Pisaca Arana dalam sosok Sri Aji Darma—ia yang telah membadankan pengetahuan, yang tindakannya sanggup membahagiakan semua makhluk. Atau dalam Kakawin Ramayana ditulis dengan satu kata: gunamānta. Ia yang sanggup memberi berkah seluruh kebajikan dunia. Itulah manusia unggul. Sekian.[T]
Pakubuan Kusa Agra, 25-10-2024
- Nb: Esai ini disampaikan dalam acara Hut Mahasaba XIII Himpunan Program Studi Sastra Bali Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana.