“SASTRA Bali modern itu sudah ada sejak seratus tahun yang lalu—bahkan lebih,” ujar I Putu Supartika saat memulai diskusi di Festival Sastra Bali Modern 2024 yang digelar Suara Saking Bali di STAHN Mpu Kuturan, Singaraja, Bali, Sabtu (7/8/2024) malam. Diskusi tersebut bertajuk “Diskusi Arsip dan Ekosistem Sastra Bali Modern”.
Saat itu, Supartika duduk di kursi putih, seperti kursi pendamping pengantin, di sebelah kanan I Wayan Juliana, akademisi yang juga sebagai narasumber diskusi, dan Kadek Anggara Rismandika sebagai moderator—atau lebih tepatnya pemandu jalannya diskusi. “Tapi kondisinya [sastra Bali modern], dari dulu sampai sekarang, seperti jalan di tempat,” sambung Supartika, pendiri majalah Suara Saking Bali itu.
Tahun 1913, sebagaimana Supartika menjelaskan, adalah angka tahun yang ditengarai sebagai awal, katakanlah, kelahiran sastra Bali modern. Meski Prof. I Nyoman Darma Putra dalam makalahnya yang berjudul Makin Ramai Berkat Rancage: Seratus Tahun Perkembangan Sastra Bali Modern menuliskan bahwa sastra Bali modern berawal dari tahun 1910-an dengan terbitnya sejumlah cerita pendek yang menjadi bagian dari buku pelajaran sekolah yang dibangun pemerintah kolonial Belanda.
Pada dekade di mana tokoh-tokoh di Jawa sedang giat mendirikan organisasi pergerakan untuk melawan kolonial Belanda itu, di Singaraja, Bali, cerpen Bali modern pertama—setidaknya sampai ada penelitian terbaru yang membantahnya—karya I Made Pasek dan Mas Nitisastro diterbitkan.
Di sampul buku karya I Made Pasek terdapat tulisan semacam judul dengan huruf Latin kapital. Kata di sampul paling atas terbaca “ANEKA-WARNA”. Sedangkan di bawahnya berbunyi “AKEPAN KAPING KALIH, PEPAOSAN BALI-KESOERAT ANTOEK AKSARA BELANDA”. Dan di bawahnya lagi terdapat tulisan “KEAWI TOER KETOEPTOEPANG”. Buku ini bertitimangsa 1918. Menurut Supartika, cerita-cerita di dalamnya ditulis pada kisaran 1913, tapi baru diterbitkan lima tahun kemudian.
Sedangkan buku kedua karya Made Pasek yang terbit pada tahun 1922 di sampulnya hanya ada tulisan ANEKA-WARNA dan KEAWI TOER KETOEPTOEPANG. Dan di sampul buku karya Mas Nitisastro yang terbit pada 1925, terdapat tulisan WARNA SARI dan BALI SASTERA BELANDA.
“Made Pasek adalah seorang guru di Singaraja. Jadi, bisa dikatakan, tonggak sastra Bali modern itu dibangun dari pendidikan dan Kota Singaraja sendiri,” kata Supartika yang segera disambut tepuk tangan para hadirin.
Jika demikian, lembaga pendidikan dan, katakanlah, Pemerintah Hindia Balanda—terlepas apakah itu termasuk dalam agenda memperkuat cengkeraman kolonialisme atau tidak, sebagaimana Politik Etis, misalnya—dapat dikatakan memiliki peran penting dalam ekosistem sastra Bali modern di awal kemunculannya. Karya-karya Made Pasek dan Mas Nitisastro memang diperuntukan sebagai bacaan siswa.
Perkembangan sastra Bali modern selanjutnya ditandai dengan terbitnya beberapa novel berbahasa Bali pada tahun 1930-an. Sebutlah novel Nemu Karma (1931) karya I Wayan Gobiah, yang oleh Prof. Darma Putra disebut sebagai novel pertama sastra Bali modern itu.

I Putu Supartika (kiri), I Wayan Juliana (tengah), Kadek Anggara (kanan) | Foto: tatkala.co/Son
Sedangkan novel kedua berjudul Mlatjaran ka Sasak (Melawat ke Sasak) karya Gde Srawana yang terbit bersambung di majalah Djatajoe antara 1939-1941 (tidak tamat). Pada 1978, Yayasan Sabha Sastra Bali menerbitkan novel ini dalam bentuk stensilan. Pada fase awal ini, sekali lagi menurut Prof. Darma Putra, tidak ditemukan lagi karya sastra berbahasa Bali kecuali beberapa cerpen dan dua novel tersebut.
Lihatlah, pada dekade tersebut media massa sudah mulai berperan dalam keberlangsungan sastra Bali modern. Tapi ini tidak mengejutkan. Sebab tahun-tahun pertama Djatajoe terbit, sastrawan Panji Tisna-lah yang menjadi penyuntingnya—apalagi Tisna memiliki hubungan baik, untuk tidak mengatakan personal, dengan para tokoh majalah Poedjangga Baroe di Batavia.
Selanjutnya, pada masa Revolusi Kemerdekaan sampai kisaran tahun 1950-an sampai 1990-an akhir sastra Bali modern seperti mati suri, terdapat kekosongan karya pada dekade tersebut. Hanya ada satu puisi yang terbit yang, lagi-lagi, menurut Prof. Darma Putra, merupakan karya puisi pertama dalam sastra Bali modern—yang dapat dilacak. Puisi tersebut berjudul “Basa Bali” (Bahasa Bali) karya Suntari Pr., terbit di majalah Medan Bahasa Basa Bali, No. 1, Th.I Maret 1959, hlm. 30.
Namun, siapa sosok Suntari Pr. ini? Sampai sekarang tidak ada yang tahu, apakah orang Bali atau Jawa—mengingat banyak sekali nama seperti itu di Jawa. Kalaupun dari Bali, namanya juga tidak berisi ciri kelaziman nama Bali, seperti Wayan, Made, Nyoman, Ketut, Anak Agung, atau Ida Bagus.
Meski identitas lengkap pengarang tidak diketahui, karya yang ditulis Suntari Pr. menjadi penting dalam fase perkembangan sastra Bali modern, karena Basa Bali adalah karya puisi pertama yang terbit dan paling terkenal dibandingkan karya lainnya dalam sejarah sastra Bali modern.
“Tetapi, tahun 1960-an terdapat karya terjemahan. Puisi karya Boris Pasternak yang berjudul Wind, diterjemahkan oleh Ketut Suwidja menjadi Angin. Karya terjemahan itu dimuat di Angkatan Bersendjata edisi Nusa Tenggara tahun 1968,” terang Supartika. Nama-nama lain seperti I Made Sanggra, I Nyoman Manda, Komang Berata, dan IDK Raka Kusuma juga berperan penting dalam sastra Bali modern sebagai penerjemah.
Sastra Sayembara
Setelah kemerdekaan, sastra Bali modern seperti tak banyak berkembang. Sangat sedikit karya yang lahir—setidaknya begitu hasil penelusuran Prof. Darma Putra. Maka atas dasar itulah, I Gusti Ngurah Bagus, Kepala Lembaga Bahasa Nasional Cabang I Singaraja (1960), melaksanakan pertemuan untuk pengembangan sastra Bali. Jalan yang ditempuh adalah dengan mengadakan sayembara-sayembara. Oleh sebab itu sastra Bali modern pernah dijuluki sebagai “sastra sayembara”—apakah julukan tersebut masih melekat sampai hari ini?
Menurut presentasi I Wayan Juliana, Ngurah Bagus merancang sayembara sastra Bali modern dengan tiga jenis karya sastra, yaitu puisi atau gagendingan (puisi modern), satua sane bawak (cerita pendek)—karya orisinil, dan wewangsalan/lelampahan (drama). Naskah-naskah hasil sayembara ini kemudian diterbitkan dengan judul Sewamara Kasusastraan Bali Warsa (1968) dan Sewamara Kasusastraan Bali II (1969).
“I Gusti Ngurah Bagus menetapkan bahwa tonggak kelahiran sastra Bali Modern adalah dengan lahirnya novel Nemoe Karma karya I Wayan Gobiah. Ini bantahan Tonggak Kelahiran Sastra Bali Modern oleh I Nyoman Darma Putra, yang menyatakan SBM itu lahir pada dekade tahun 1910-1920-an,” jelas Juliana.
Terlepas dari tonggak kelahiran sastra Bali modern, pada dekade 1960-an Pemerintah Indonesia, khususnya Lembaga Bahasa Nasional Cabang I Singaraja, berperan penting dalam menghidupkan dan mengembalikan, sebut saja begitu, gairah penulis-sastrawan berkarya dalam bahasa Bali—walaupun sayembara tampaknya adalah pilihan yang praktis dan terkesan pragmatis.
Namun, melalui sayembara tersebut ternyata mampu memotivasi pengarang untuk menulis, terlepas apakah demi mengejar hadiah materi atau tidak. Cerpen “Ketemu ring Tampaksiring” (Bertemu di Tampaksiring) karya I Made Sanggra merupakan salah satu cerpen juara sayembara awal 1970-an. Cerpen ini terkenal sampai sekarang, dan ikut memperkokoh eksistensi sastra Bali modern, bersama sedikit karya lainnya.
Usaha-usaha sayembara itu memungkinkan Ngurah Bagus lewat lembaga Balai Bahasa menerbitkan beberapa buku bunga rampai karya sastra Bali modern, seperti Kembang Rampe Kasusatraan Bali (1978) yang memuat puisi, cerpen, dan drama. Buku-buku ini menjadi—meminjam istilah Prof. Darma Putra—“korpus” yang mendeklarasikan eksistensi sastra Bali modern.
Untuk mendukung ekosistem sastra Bali modern, selain melakukan sayembara, sastrawan, sarjana, dan budayawan dalam sebuah pertemuan tahun 1969—Prof. Darma Putra tidak menyebut detailnya—mengambil inisiatif untuk menerbitkan majalah berbahasa Bali atau mendorong media untuk membuka rubrik sastra Bali modern. Yang berhasil dilakukan adalah melobi surat kabar Suluh Marhaen (sekarang Bali Post) yang kemudian membuka rubrik “Sabha Sastra”—walaupun hanya berjalan sekitar 2 tahunan. Rubrik ini memuat puisi, ulasan, dan cerita pendek berbahasa Bali.
Diskursus kemudian terjadi pada Kongres Bahasa Bali 1974. Sebagaimana yang disampaikan Juliana, terdapat beberapa agenda untuk pembakuan bahasa Bali, seperti penetapan lafal, tata bahasa, serta kosakata dan sistem peristilahan, dan bahasa Bali dan konteksnya.
“Lalu munculnya ide standardisasi bahasa tulis (khususnya dalam sastra Bali modern) oleh Putu Setia. Peserta Sewamara terlebih dahulu memastikan juri untuk ikut serta. Dan Nyoman Manda menekankan sastra Bali modern di sekolah perlu mendapat bimbingan dan perhatian,” kata Juliana.
Menurut Juliana, dalam diskursus tersebut, I Gusti Ngurah Bagus menegaskan pentingnya pembakuan dan standardisasi bahasa Bali dalam pengembangannya. Dan bagi Ngurah Bagus pembinaan bahasa dan kesusastraan belum pernah mendapat perhatian sewajarnya dibandingkan aspek kebudayaan lain, katakanlah, seni rupa atau seni pertunjukan. (Tampaknya anggapan ini masih relevan sampai hari ini.)

I Putu Supartika | Foto: tatkala.co/Son
Mengutip Prof. Darma Putra, antara tahun 1970-an sampai 1980-an, nasib sastra Bali modern kembali menghadapi masa surut. Sesekali terbit buku antologi puisi atau cerpen sastra Bali modern dalam bentuk stensilan yang diusahakan oleh pengarang sendiri, memang. Tapi jelas itu bukan cerminan sebuah ekosistem yang baik.
Tapi rentang tahun tersebut Bali Post memuat secara bersambung novel berbahasa Bali, lalu diterbitkan oleh penerbit lain dengan judul Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang (Cintanya Hancur Lebur sebelum Berkembang; 1984) karya Djelantik Santa. Apakag hanya Djelantik Santa saja yang menulis pada tahun itu? Tentu saja tidak. Sastrawan seperti I Made Sanggra, I Ketut Suwidja, dan I Nyoman Manda juga tekun berkarya—walau sulit mempublikasikan karyanya. Mereka juga menulis karya sastra Indonesia dan sastra Bali tradisional.
Meski demikian, nyala asa itu tetap tak padam. Kelompok penulis muda yang belajar sastra Bali di perguruan tinggi dan kalangan wartawan kemudian menerbitkan majalah berbahasa Bali, seperti Kulkul, yang hanya bertahan beberapa bulan itu. Maka muncullah suara-suara pesimistis terhadap eksistensi sastra Bali modern. Tahun 1987, misalnya, wartawan (Tempo) Putu Setia dalam bukunya Menggugat Bali menegaskan bahwa “lonceng kematian sastra Bali dari yang tradisional sampai yang modern telah berbunyi nyaring.”
“Pernyataan ini tentu saja berlebihan karena kenyataannya sastra Bali (tradisional atau modern) tidaklah sungguh telah mati. Memang kalah semarak dengan kehidupan cabang seni lainnya seperti tari, gamelan, dan lagu pop Bali,” sanggah Prof. Darma Putra.
Dalam krisis demikian, Made Sanggra menerbitkan buku kumpulan puisi berjudul Kidung Republik (1997) dengan usaha dan biayanya diperoleh dari kemurahan hati sponsor. Meski kehadiran antologi puisi ini tidak serta merta menggeliatkan kehidupan sastra Bali modern, tetapi cukup menegaskan bahwa sastra Bali modern belum mati. Novel Sunari (1999) karya I Ketut Rida merupakan perkecualian karena diterbitkan oleh penerbit luar yang sudah terkenal, yaitu Yayasan Obor. Novel ini ditulis pada 1980.
Sampai di sini, sastra Bali modern memasuki babak baru. Di tengah ekosistemnya yang berjalan jongkok, untuk tidak mengatakan merangkak, Ketua Yayasan Kebudayaan Rancage Ajip Rosidi memberi angin segar. Yayasan yang berdiri di Bandung, Jawa Barat, itu memasukkan sastra Bali modern sebagai penerima Hadiah Sastra Rancage—di samping sastra Jawa (1994, Lampung (2008), dan Batak (2015). “Ingat, bukan Badung, tapi Bandung!” tegas Supartika.
Anugerah Rancage pertama diraih oleh buku puisi yang terbit tahun 1997, Kidung Republik, karya I Made Sanggra, dan I Nyoman Manda sebagai tokoh yang berjasa dalam pengembangan sastra Bali modern. Anugerah tersebut diserahkan pada tahun 1998.
Hadirnya Hadiah Sastra Rancage sedikit-banyak membuat sastra Bali modern kembali bergeliat tahun 2000-an, meski jumlah karya yang terbit masih sangat sedikit. Tapi setidaknya Rancage bisa menjadi (sedikit) oase di tengah gurun ekosistem sastra Bali modern yang kering-kerontang.
“Rancage kemudian disusul Widya Pataka tahun 2006. Penghargaan ini diberikan Pemprov Bali kepada beberapa buku sastra Bali modern. Misalnya untuk kategori pengarang berbahasa Bali diberikan kepada Drs. I Nyoman Manda,” terang Supartika.
Usaha untuk mengapresiasi karya sastra Bali modern dalam bentuk penghargaan belakangan juga dilakukan oleh Penerbit Pustaka Ekspresi. Penerbit yang digawangi oleh Made Sugianto itu menginisiasi Penghargaan Gerip Maurip pada 2017.
Masih Yatim Piatu?
Di luar sayembara, karya sastra Bali modern juga diapresiasi dalam bentuk penerbitan di media massa maupun penerbitan buku. Majalah Kulkul, Cangsari, Buratwangi, Satua, Bali Orti, Mediaswari, Media Bali, Suara Saking Bali, dan Nusa Bali, adalah media massa yang pernah-tercatat menerbitkan karya sastra Bali modern. Tapi sepertinya kini hanya tinggal Suara Saking Bali dan Nusa Bali saja yang masih tersisa. Itu pun untuk Suara Saking Bali baru lahir belakangan, sembilan tahun belum genap.
Untuk penerbitan buku, sebagaimana yang telah disampaikan Supartika, dari dulu hingga sekarang, tercatat beberapa penerbit, seperti Lembaga Bahasa Singaraja, Balai Bahasa Bali, Penerbit Buratwangi, Pondok Tebawutu, Paramita, Yayasan Sabha Sastra Bali, Pustaka Ekspresi, dan Penerbit Mahima.
Di Bali hari ini beberapa lembaga pendidikan, kampus, sudah membuka jurusan bahasa dan sastra Bali. Dulu hanya Universitas Udayana saja yang membuka jurusan tersebut, tapi sejak otonomi daerah, jurusan itu ditawarkan oleh beberapa lembaga pendidikan tinggi lain, seperti Universitas Dwijendra, IKIP PGRI Bali, dan Institut Hindu Dharma (IHD).

I Wayan Juliana | Foto: tatkala.co/Son
Namun, dengan ekosistem pendukungnya yang masih ada, apakah sastra Bali modern hari ini sudah bisa dikatakan cukup mapan? Tampaknya, sastra Bali modern sampai hari ini masih dianaktirikan. Ia seperti berada di antrean paling belakang untuk diperhatikan. Selama ini, sastra Bali modern berusaha hidup dan menjaga nyala keberlangsungannya dengan terseok-seok, berdarah-darah, dan swadaya. Ia seperti anak yatim-piatu yang dipaksa tumbuh dan besar tanpa tali-kasih orang tua.
Mencuri-dengar obrolan orang-orang dalam “Diskusi Arsip dan Ekosistem Sastra Bali Modern” malam itu, sastra Bali modern seolah hanya noktah kecil—yang mungkin tak terlihat sama sekali—di pinggiran kesenian dan kebudayaan Bali yang adiluhung, yang dielu-elukan. Di tengah hingar-bingar kesenian Bali yang lain, sastra Bali modern bisa jadi hanya zarah yang terhempas oleh kalkulasi atau hitung-hitungan politik semata.
Rasanya, sastra Bali modern—termasuk Suara Saking Bali dan mereka yang masih setia menjaga ekstistensi sastra Bali modern—sudah sah menyandang status yatim piatu. Tak lagi punya sosok [baca: pemangku kebijakan] yang begitu kasih melindungi dan mengembangkan. Yang tersisa tinggal orang-orang asing. Sebagian kecil mungkin masih mendesiskan perjuangan meski tak bisa berbuat banyak. Namun, yang lain sepertinya tidak lagi punya kepedulian tentang apa pun, apalagi capek-capek memikirkan keberlanjutannya di masa depan.
Jadi, agak berlebihan bila mengharap akan ada mata yang tertusuk oleh kondisi ekosistemnya hari ini, telinga yang tergetar keluh kesah orang-orang yang memperjuangkannya, dan hati yang terguncang sumpah serapah dan doa-doa mereka yang masih setia, sekali lagi, mempertahankan eksistesinya.
Meski banyak yang lantas mencoba bermain peran selayaknya “ayah-ibu” yang bertindak demi dan atas nama “anak-anaknya”; namun, dengan satu dan lain cara, ini semua diam-diam malah makin meyakinkan bahwa sebenarnya tak pernah ada yang serius memikirkan sastra Bali modern.
Yang ada justru para pemimpin, dari nasional sampai lokal, yang sibuk dengan kepentingannya sendiri. Lembaga-lembaga pendidikan yang lebih mementingkan seremonial daripada sesuatu yang subtansial
Tak salah bila pada akhirnya mereka sekadar menjadi slilit yang ketlingsut di kegaduhan retorika dan tumpukan hitung-hitungan.
Panjang umur, sastra Bali modern.[T]
Reporter/Penulis: Jaswanto
Editor: Adnyana Ole