SETIAP masa memiliki persoalan dan masalah yang melahirkan gerakannya masing-masing, dan setiap gerakan mempengaruhi cara kita melihat, merasakan, mendesain dan memaknai dunia kita.
Masa 1930-an di saat kondisi politik di Jawa mulai melahirkan kelompok-kelompok nasionalis, di Bali lahir gerakan Baliseering yang disponsori pemerintah kolonial atas kekhawatiran ide-ide kemerdekaan yang berkembang di pulau seberang akan masuk ke Bali. Kebijakan ini mendapat dukungan dari para seniman yang merasa eksotisme dan mistisisme pulau ini memenuhi imajinasi artistiknya dan terutama terhadap ‘dunia lain‘, the other, yang menjadi inspirasi lukisan, sketsa, foto yang laku di mata audien Barat yang penasaran.
Imaji ini melekat, terbukti dengan buku-buku dan novel masa itu yang terus mengalami cetak ulang hingga kini. Buku-buku aslinya menjadi buruan kolektor.
Dengan bekal imaji Bali tahun 1930-an, empat dekade kemudian pemerintah pusat menancapkan kekuatan politisnya melalui pengembangan kepariwisataan massal dimana investasi internasional diundang untuk masuk ke Indonesia. Bali ditetapkan sebagai pusat pengembangan kepariwisataan Indonesia bagian tengah.
Mengantisipasi kemungkinan masuknya pengaruh asing ke wilayahnya, para pemimpin di Bali mendengungkan konsep pariwisata budaya. Wujud-wujud bangunan kembali diatur lebih detail untuk tetap mempertahankan tampilan fisik lingkungan binaan di Bali. Ini, sekali lagi merupakan cerminan dari apa yang diwacanakan empat dekade sebelumnya melalui Baliseering.
Bangunan-bangunan komersial untuk pariwisata mengikuti mekanisme pasar yang menginginkan ‘Bali yang asli‘ dalam wujud arsitektur tropis pernaungan dengan hubungan antara ruang luar dan ruang dalam yang cair, material alamiah mulai dari atap hingga dinding dan bahkan lantai.
Ornamen tampil seperlunya, tidak heboh. Bagian ruang yang tidak beratap dipenuhi dengan tanaman lokal tetapi dengan pengelompokan yang lebih tertata membentuk ruang-ruang luar aktif dilengkapi kolam renang berbentuk organik. Lansekap selalu menjadi elemen yang sama pentingnya dengan bangunan karena keduanya saling berpilin menciptakan imajinasi Bali 1930-an. Pendekatan ini bertahan setidaknya hingga awal tahun 2000-an.
Fokus pembangunan pariwisata untuk meningkatkan ekonomi terjadi di tahun 1980 hingga 1990-an ditandai dengan pengenalan berbagai instrumen dan lembaga pemerintah yang bertugas mempromosikannya secara lebih serius. Tentu saja ini berakibat pada meningkatnya jumlah kunjungan. Meski demikian, peningkatan tidak terjadi.
Peningkatan drastis baru terjadi setelah secepat yang diangankan. Ledakan kunjungan terjadi saat memasuki tahun 2005 ke atas. Tentu saja tidak semua wisatawan memiliki motif berwisata yang sama, untuk menikmati alam dan budaya. Lahir juga wisata lain di luar apa yang dicita-citakan tahun 1970-an dan yang diimajinasikan tahun 1930-an.
Jenis wisata lain: kuliner, kehidupan malam, olahraga air, dan banyak lagi jenis-jenis lainnya yang berkembang termasuk wisata belanja. Bali menjadi brand. Segala hal yang dilabeli Bali menawarkan aroma wisata.
Pembangunan masif menyertai peningkatan jumlah kunjungan wisatawan ini. Selain itu, diversifikasi kegiatan wisatawan juga menyebabkan lahirnya tipologi bangunan baru. Lahan menjadi mahal dan spekulasi atasnya meningkat.
Kapitalisme dalam wujud turisme perlahan merasuki berbagai sendi kehidupan membonceng fondasi pariwisata budaya.
Setiap aktivitas kini dinilai dari sisi untung-rugi secara ekonomis. Cara kerja ini menyelinap dalam perwujudan bangunan-bangunan yang diargumentasikan cerminan masa lalu. Padahal, banyak diantaranya hanya berupa kitsch, tiruan murahan, atas budaya membangun lampau.
Dalam kondisi ini, arsitektur menjadi alat akumulasi kapital dan cara kerjanya bisa berdampak buruk bagi lingkungan. Lama kelamaan, kondisi ini lebih menyerupai eksploitasi daripada menjaga ke-asli-an budaya Bali. Sayangnya, hal ini, seolah diterima sebagai sebuah kenormalan.
Eksploitasi budaya dan alam yang dalam beberapa dekade menjadi salah satu ciri turisme kapitalistik tidak lagi menarik minat kaum muda. Traveler baru yang memiliki pengetahuan dan kepedulian kini ingin terlibat secara langsung dalam upaya untuk melindungi, menjaga serta menciptakan lingkungan yang lebih baik.
Mereka bukan lagi mencari pengalaman eksotis-romantis sebagaimana turisme di tahun 1970-an. Ini berpengaruh pada wujud arsitektural di Pulau Seribu Pura.
Arsitektur bangunan Desa Potato di Seminyak, Kuta | Foto: Gede Maha Putra
Belakangan ini, setidaknya, ada tiga organisasi besar dunia yang menyelenggarakan workshop untuk memikirkan solusi yang tepat agar keuntungan ekonomi yang ditawarkan pariwisata tidak mendegradasi kualitas lingkungan. Labelnya ada beberapa seperti: sustainable design, participatory design, resilience design dan yang lebih baru adalah regenerative design.
Yang terakhir itu memikirkan sebuah sistem dimana setiap elemen lingkungan saling bekerjasama menciptakan kebaikan untuk semua pihak. Jika gerakan desain berkelanjutan berfokus pada upaya meminimalkan dampak negatif aktivitas pembangunan terhadap lingkungan, maka gerakan regenerative ini bersifat lebih proaktif yaitu berupaya menciptakan system yang memiliki kemampuan untuk memperbaharui dirinya melalui penggunaan kembali sumber daya yang sudah ada, penggunaan material yang bisa ditumbuhkan sendiri, melibatkan masyarakat sekitar ke dalam proyek dalam sistem sosial terintegrasi dan membuat fasilitas yang bersifat campuran, mixed-use.
Dengan kata lain, gerakan ini secara aktif berupaya untuk mencari cara untuk memperbaharui lingkungan dan sumber daya yang sudah terdegradasi, termasuk menciptakan kelompok sosial yang lebih peduli dan berperan aktif dalam upaya untuk mencapai tujuan bersama.
Sifat proaktifnya inilah yang membedakannya dengan desain berkelanjutan yang berfokus pada upaya mempertahankan kondisi lingkungan untuk tidak membuatnya menjadi lebih buruk. Seringkali, inovasi menjadi sebuah persyaratan utama. Artinya, desain regenerative melibatkan pemikiran baru yang lebih progresif, tidak melulu harus berpaling kepada sejarah dan tradisi, justru membayangkan masa depan yang lebih baik dibandingkan hari ini.
Sesulit atau semudah apa hal ini dipraktekkan? Saya berkunjung ke sebuah proyek yang sangat menarik dengan label regeneratif ini di kawasan Seminyak, yaitu Desa Potato.
Arsitektur bangunan Desa Potato di Seminyak, Kuta | Foto: Gede Maha Putra
Jalan masuk ke proyek ini berupa gang panjang. Di ujung jalur kita berbelok ke kanan untuk sampai di sebuah area penerima. Uniknya, dari arah jalan kita sudah bisa menyaksikan pantai meski bangunan ada di antara jalan dan tepian air tersebut. Hal ini bisa diwujudkan berkat strategi mengangkat masa bangunan di mana fungsi kamar-kamar hotel diletakkan di bagian atas.
Tidak ada tembok keliling yang dilengkapi candi bentar sebagai pembatas atas ruangan publik dan privat milik hotel. Lantai groundfloor bebas diakses dan terbuka untuk umum.
Keterbukaan yang mengundang partisipasi publik ini membuat hotel ini berbeda dibandingkan dengan tipologi fasilitas sejenis yang dibangun antara tahun 1970-an dan 2000-an dengan tembok keliling masif dan gerbang megah.
David Gianotten dari kantor arsitek OMA dalam sebuah webinar menjelaskan bahwa mereka tidak mau membuat boundary antara hotel dengan lingkungan sekitar. Dengan kata lain, perancangnya dengan sengaja menjadikan halaman tengah terbuka, natah, ini terintegrasi dengan ruang sosial yang sudah ada di sekitar site. Sebuah ruang luas yang inklusif mengundang orang untuk datang.
Akses ke pantai pun dapat dicapai melalui ruang ini. Meski programnya padat, ruang terasa lapang di hotel dengan luas lahan total 23.453 meter persegi ini.
Menurut arsiteknya, pemilik hotel memang menginginkan sebuah fasilitas yang inklusif. Orang bisa datang, berpartisipasi di ruang terbuka dan ruang publik hotel tanpa harus menginap di salah satu kamar yang tersedia. Ruang terbuka ini sekaligus menjadi platform yang menyatukan ruang-ruang fungsional, rekreasional, retail, food and beverages, ruang publik, ruang adminsitrasi dan Back of House.
Bentuk secara umum bangunannya adalah serupa donat tetapi berbentuk kotak dengan satu massa berbentuk balok di tengah. Kotak yang berlobang di tengah ini ditata membentuk sudut terhadap garis pantai, sehingga di area yang berbatasan dengan laut tercipta sebuah ruangan yang cukup luas dimana sebuah restaurant dan sunken amphiteater kecil berada.
Ruang terakhir ini didedikasikan untuk dipakai oleh seniman untuk pentas, berkolaborasi, atau berdiskusi. Ada pula restoran dalam sebuah bunker yang ditutup bangunan berbentuk elips dengan kaca menyerupai jendela kapal selam.
Arsitektur bangunan Desa Potato di Seminyak, Kuta | Foto: Gede Maha Putra
Kamarnya yang berjumlah total 372 ditampung dalam blok yang ‘melayang’ sehingga tidak terlihat secara langsung dari arah ruang terbuka. Untuk mencapai kamar, ada beberapa cara. Salah satunya adalah tangga dan koridor yang ada di sisi dalam bangunan sekaligus menjadi sisi terluar ruang terbuka.
Selain menuju kamar yang privat, tangga dan koridor juga mengantarkan kita ke platform atas-atap, rooftop, yang juga diperuntukkan bagi publik.
Untuk menciptakan impact yang lebih besar dari sisi arsitektural kepada Bali, para tukang lokal dilibatkan dalam berbagai tahapan pembangunan. Para pembuat bata dari daerah Tabanan menyiapkan material yang umum dipakai di banyak bangunan yang ada di Bali. Pemasangannya juga tentu saja melibatkan pekerja lokal.
Material berwarna merah hasil pembakaran tanah liat ini melapisi sekujur sisi terluar bangunan. Hal ini, membuat bangunan tampil dengan statement kuat terhadap lingkungan sekitarnya.
Sekujur muka bagian dalam bangunan ditutup dengan kulit kedua, secondary skin. Bangunan utama, donat kotak, dilapisi dengan terakota berongga dengan motif yang terinspirasi dari kode-kode tika, kalender tradisional Bali. Sementara, blok yang ada di tengah, dilapisi dengan kayu ulin bekas. Motifnya, berlapis seperti keranjang.
Penggunaan material bekas pada permukaan bangunan selain membentuk karakter yang kuat juga menjadi bagian dari komitmen untuk menerapkan sirkularitas. Terakota bermotif ini, konon dibuat dengan cara menghancurkan sisa-sisa proses pembangunan menjadi agregat dan dicetak. Warna kemerahan yang timbul berasal dari limbah bata yang didaur ulang.
Di balik secondary skin ini adalah koridor. Siang hari, bayangan dari rongga-rongga secondary skin menciptakan pola yang menarik dan membuat koridor terlihat lebih humble. Penambahan kulit kedua ini mampu menghindari dinding utama kamar dari sengatan matahari langsung sehingga ruangan menjadi lebih sejuk. Ini mungkin akan mengurangi beban penggunaan pendingin buatan.
Di interior, kamar-kamar didesain dengan dinding beton unfinished yang dipadukan dengan kayu berwarna terang. Furnitur yang dikerjakan secara lokal mengisi ruangan yang memiliki dua tipe luas yaitu 80 meter persegi dan 65 meter persegi. Perpaduan ini menciptakan ruangan dengan nuansa tradisional sekaligus sangat modern.
Lahan tempat fasilitas ini dibangun awalnya merupakan sebuah lot parkir yang bersisian dengan tegalan yang dipenuhi pohon setempat. Banyak pohon yang dipertahankan selama proses pembangunan dan masih dapat disaksikan hingga kini. Pohon-pohon lain direlokasi selama proses konstruksi dan ditanam ulang saat pekerjaan berat sudah selesai.
Sementara di kawasan tepian air ditanami kelapa yang berjumlah cukup banyak. Tata hijau dengan pohon dan semak lokal menjaga karakter ruang tengah tetap seperti di Seminyak jaman dulu.
Sebagai sebuah fasilitas yang didedikasikan untuk masyarakat seni, maka unsur artwork tampil dominan di proyek ini. Dua buah patung besar ada di courtyard. Bahannya, plastik bekas yang sudah diolah sedemikian rupa sehinga bisa dibentuk sebagai bahan mentah bagi seniman menumpahkan idenya.
Selain itu, ada juga plafond artistic yang terbuat dari pita pengikat kargo. Posisinya ada di bawah koridor dengan pola yang tersinpsirasi dari keranjang. Artwork bambu yang sedang mendapat tempat di Masyarakat juga hadir bergelantungan pada koridor yang menghubungkan hotel dengan beach club di sebelahnya. Tepat di depan beach club, sebuah bukit kecil berbahan sandal bekas menjadi latar dengan kontras bagi jendela-jendela tua yang menjadi pelapis bangunan setengah lingkaran di belakangnya.
Arsitektur bangunan Desa Potato di Seminyak, Kuta | Foto: Gede Maha Putra
Tata olah dan letak benda-benda seni dari material yang dianggap sampah ini nempaknya dipikirkan dengan matang. Penempatannya membuat semua mata mudah melihat dan mungkin bisa memprovokasi pemahaman soal pentingnya menjaga dan mengolah sampah.
Kolaborasi menjadi salah satu kunci. Gianotten mengatakan bahwa ini adalah satu proyek dimana dia tidak merasa sebagai aktor dominan. Di awal proses, ia banyak berkolaborasi dengan pemilik untuk merumuskan program yang terus berkembang. Bahkan, katanya, saat bangunan mulai berdiripun program-program baru masih terus didiskusikan dan ada yang ditambhakan atau dikurangi, membuat seolah tidak ada wujud pasti yang sedang dituju.
Ada dua pernyataan yang selalu menjadi pegangan, yaitu: “do not build too close to the beach and all building should not be taller than a coconut tree”. Andra Matin selaku desainer lokal membantu sepanjang proses ini.
Pembangunan-pembangunan regeneratif mensyaratkan keterlibatan aktif pengguna dan masyarakat umum. Yang kedua juga menuntut penggunaan material yang lebih bertanggung jawab termasuk jenis jumlah dan cara memperolehnya. Hal ketiga dari pembangunan regeneratif adalah soal proses sirkular dari penggunaan material terebut.
Berikutnya, jika regeneratif ini kita yakini akan menjadi sesuatu yang penting untuk menjaga bumi secara umum dan Bali secara khusus, maka perhatian mesti diberikan bukan kepada wujud atau bentuk arsitektural tetapi mengedepankan proses dengan membiarkan wujud akhir sebagai akibat. Hal ini mungkin akan menimbulkan perdebatan, terutama saat wujud yang dihasilkan dianggap tidak sejalan dengan persepsi umum tentang apa itu arsitektur lokal.
Perihal lokalitas ini bisa menjadi perdebatan yang panjang karena ia merupakan sebuah proses. Sebagai bagian dari perjalanan, lokalitas selalu merujuk ke masa lalu, kepada sejarah. Kerentanan konflik akan muncul saat hal ini dibenturkan dengan inovasi yang merupakan produk masa depan, sesuatu yang belum ada, dan bermain di tataran ide. Ide setiap orang tidak sama sehingga bayangannya tentang masa depan juga tidak selalu sejalan.
Arsitektur bangunan Desa Potato di Seminyak, Kuta | Foto: Gede Maha Putra
Bermain-main dengan inovasi, kita melihat bahwa bentuk atau wujud arsitektural dari Hotel Desa Potato ini jauh dari semiotika arsitektur lokal dengan mantra: sanga mandala, tri mandala, kepala badan kaki dan istilah lain yang bisanya dilekatkan pada produk sejarah yang membentuk Bali hari ini.
Tetapi, desainernya menunjukkan keberanian untuk mengajukan alternatif bahwa menjaga Bali dengan alam dan budayanya tidak selalu harus dilakukan dengan meniru bentuk dari masa lalu. Mereka seolah mengajak kita semua untuk berpikir tentang masa depan Bali. Bagaimana kita membayangkan pulau yang kian sesak dengan berbagai fasilitas pariwisata dan program yang saling bersilangan.
Seperti koin dengan dua sisi, ia mungkin menimbulkan kontroversi namun di sisi yang sebaliknya terlihat suatu usaha yang dilandasi idealisme jelas yang bisa membuat kita berkontemplasi. Ada yang bertanya saat beberapa foto bangunan ini saya posting di sosmed, “Do you think this will work for Bali?”
Jawaban saya agak mengambang, “Let the society at large decide, my task now is to write it down”. [T]
Arsitektur bangunan Desa Potato di Seminyak, Kuta | Foto: Gede Maha Putra
- BACA artikel tentangARSITEKTURatau artikel lain dari penulisGEDE MAHA PUTRA