MANUSIA Bali cukup makan 2 piring sehari. Yang perlu berpiring-piring tempat ibadahnya. Membangun dan menyucikan Pura perlu pembiayaan.
Sesuai petunjuk Mpu Kuturan leluhur Bali wajib membuka sawah ladang untuk dukungan kebutuhan bea Pura di Bali. Lontar Panugrahan Mpu Kuturan melarang membangun meru dan parahyangan kalau tidak disertai buka sawah yang secara khusus hasilnya mensupport upakara Pura yang dibangun. Dikenal sebagai Tanah Pelaba (Tanah khusus yang hasilnya untuk dipersembahkan untuk upakara dan kegiatan perawatan Pura. Bisa sawah/carik atau abian produktif).
Jadi, dahulu hampir tidak ada parahyangan/pura bermeru di Bali tanpa sokongan penuh dari Tanah Pelaba — kadang “pelaba” juga disebut “bukti” atau “carik”. Kalau orang menyebut “carik” di Bali itu artinya sawah untuk sokongan finansial dan padinya untuk Pura tertentu. Kalau “uma” artinya sawah milik perorangan.
Membangun mrajan/sanggah keluarga disokong oleh “tanah sanggahan”, artinya tanah di belakang tempat ibadah berupa kebun atau sawah, digarap bersama keluarga, hasilnya untuk persembahan upakara.
Sekarang Bali berbalik. Pura bertambah, sawah dan abian berkurang. Inilah yang membuat krama merasa terbebani Pura.
Tanah Pelaba ada masanya disertifikatkan oleh keluarga pemegang Pelaba (biasanya mangku dan bangsawan setempat) dan lama kelamaan lupa bahwa dahulunya tanah tersebut adalah “supporting system” untuk Pura yang diempon. Beralih sekian generasi, lepas dan pindah tangan dengan berbagai alasan. Salah satu pemicunya adalah aturan Belanda yang dikenal dengan istilah “land-reform”.
Tanah di Bali menyempit dan beralih tangan, pura/mrajan dkk membengkak. Kemana Bali mesti melangkah?
Tak ada jalan lain: Pemerintah provinsi dan kabupaten harus berhenti mengelontorkan uang rehab Pura. Sebaiknya yang harus direhab adalah “Pelaba Pura”. Semua dana untuk rencana rehab Pura mesti dibudget ulang untuk belanja membeli tanah pelaba agar kembali Pura punya aset yang menyokong semua upakara.
Bali harus memprioritaskan semua Pura memiliki dana abadi berupa tanah Pelaba dengan cara sinambung setiap ada pemasukan Pura dibelikan tanah Pelaba. Semakin banyak Pelaba Pura semakin baik.
Menurut lontar Mpu Kuturan: “Jika Pura-Pura di Bali tanpa Pelaba, maka Bhatara yang melinggih di Meru akan “kembali pulang ke Mahameru”. Parahyangan akan kosong. Penguasa Bali akan terhina dan kesakitan. Rakyat menderita karena tidak lagi ‘sih’. Bali bergolak tanpa berkesudahan.” [T]
BACA artikel lain dari penulisSUGI LANUS