1/
SAYA membaca catatan perjalanan Trinity di blog-nya. Juga buku kisah perjuangannya saat jalan-jalan, yang berjudul The Naked Traveler terbitan Bentang Pustaka tahun 2007. Saya juga menonton filmnya dengan judul yang sama—yang dibintangi Maudy Ayunda. Tapi entah, saya tidak tergerak sama sekali untuk melanjutkan atau mengikuti tulisan-tulisan Trinity. Saya mandek membaca The Naked Traveler, padahal, kabarnya, serinya berlanjut sampai berjilid-jilid—saya akui buku-buku Trinity memang laris.
Tapi mungkin karena gaya dan bahasa yang digunakan Trinity, atau mungkin malah hanya urusan selera saya saja. Trinity menggunakan bahasa yang sangat populer untuk mendeskripsikan atau menarasikan temuan-temuannya di banyak belahan dunia. Sedangkan saya tidak terlalu suka tiap hal yang terlalu populer! Mungkin karena itulah catatan-catatan Trinity tidak sampai membekas dan mendapat laci khusus di benak saya.
Maka belakangan saya berjumpa dengan Eric Weiner, si penggerutu yang keliling dunia untuk mencari negara paling bahagia. Eric melakukan misi yang ia ketahui dengan baik adalah misi yang menyenangkan, bukan misi bodoh anak lima tahun yang berputar-putar. Jadilah saya membaca kisah perjalanannya dalam buku The Geography of Bliss versi Indonesia tahun 2016.
Eric adalah penulis perjalanan yang dahsyat. Bukan hanya fokus kepada subtansi, tapi juga gayanya dalam menulis. Seperti kata Iqbal Aji Daryono, gaya tulisan orang itu “cerdas, tapi lentur, dengan ritme yang asyik, dan humor-humor tipis berkelas” yang membuat saya terbahak meski sudah berulang kali membacanya. Ia berkeliling dunia untuk mencari negara yang warganya paling bahagia, sembari menemui para pakar kebahagiaan, atau setidaknya orang-orang yang tampak mewakili hal tersebut, mengamati lanskap geografis maupun budaya yang membentuk kebahagiaan itu, dan sebagainya.
(Saya jatuh cinta kepada The Geography of Bliss, kepada Eric, dan saya ingin bisa menulis seperti dia. Meski belum bisa sampai hari ini—bahkan, sampai pada paragraf keempat dalam tulisan ini, saya gagal membuat Anda tertawa, atau setidaknya tersenyum tipis saja.)
Setelah membaca kisah seorang penggerutu yang berkeliling dunia mencari negara paling membahagiakan, saya tak membaca catatan perjalanan apa pun atau yang ditulis oleh siapa pun. Hingga saya menemukannya di majalah Tempo setahun yang lalu. Sebuah esai perjalanan berjudul “Benarkah Ada Mafia di Pulau Sisilia?”, membuat saya kagum dan jatuh cinta. Penulisnya bernama Fatris Mf, seorang jurnalis lepas yang menulis perjalanan di banyak media.
Di internet saya melacaknya, dan berhenti di satu laman bernama DestinAsia Indonesia—di sini saya lumayan banyak menemukan tulisan Fatris. Dari laman tersebut pula yang membawa saya kepada satu nama lagi: Agustinus Wibowo, penulis perjalanan dan mantan jurnalis di Afghanistan.
Agustinus, penulis perjalanan yang tak hanya pandai menguliti akar perkara identitas dengan pendekatan antropologi dan sejarah yang telaten dan “ambisius”, melainkan juga menghadirkan kekayaan pengalaman personalnya yang sulit disaingi sebagai seorang penjelajah dan petualang. Begitu kata Iqbal Aji Daryono dalam tulisannya di buku Agustinus yang berjudul Kita dan Mereka. Ia, Agustinus, si penggali kedalaman seperti Jarred Diamond dan bertutur selincah Yuval Noah Harari itu.
Tapi ini bukan tentang Agustinus Wibowo atau tentang karya-karya yang dituliskannya—atau tentang Trinity, Eric, maupun Iqbal. Lupakan nama-nama itu. Ini tentang penulis perjalanan lainnya, yang juga teman Agustinus, Fatris Mf—yang tulisannya pertama kali saya jumpai dan baca di majalah Tempo itu.
Pada Oktober 2023, seorang teman pendiri sekaligus pemilik Penerbit Partikular, Juli Sastrawan, menerbitkan kumpulan catatan Fatris dengan judul “Indonesia dari Pinggir”. Dan inilah yang hendak kita bahas.
2/
Sebagaimana tertulis di sampul belakang buku tersebut, Indonesia dari Pinggir bagai jendela kecil yang mengajak kita bersama-sama melihat lebih dekat daerah-daerah yang jarang didengar keberadaannya, yang sama-samar bersuara, yang dianaktirikan pembangunan dan jauh dari Jakarta.
Indonesia dari Pinggir merupakan seri catatan perjalanan Fatris ke beberapa tempat dari timur hingga barat Indonesia. Beberapa tulisan dalam buku ini, dalam versi yang lebih pendek dan dengan judul yang berbeda pula, pernah diterbitkan di DestinAsia Indonesia—dan saya sudah membaca semuanya. Banyak tambahan, tentu saja. Tapi secara isi dan subtansi, tak berubah sama sekali.
Esai yang berjudul “Serat-Serat Sawu”, misalnya, dalam versi lebih pendek di DestinAsia, saya rasa tulisan itu berjudul “Hikayat Para Pemburu Paus Lamalera”—dan lelucon dalam esai ini, tentang jurang yang kalau mobil jatuh, lima belas kali lagu Indonesia Raya belum sampai di dasarnya itu, juga muncul dalam esai berjudul “Nyanyian Tuhan di Larantuka”, yang menjadi esai pertama dalam buku Indonesia dari Pinggir.
Tak hanya itu saja, esai “Amis Darah dan Wangi Cendana” saya kira merupakan versi panjang dari esai “Kuda dan Identitas Kultural Sumba”. Dan “Cara Ambon Mencetak Penyanyi”, misalnya, tak lain dan tak bukan adalah versi pendek dari esai “Suara-Suara dari Ambon”. Sedangkan “Buru Baru”, sekadar menyebut satu esai lagi, tak akan salah jika saya mengatakan bahwa ini merupakan versi panjang dari esai “Pulau Buru, Antara Pram dan Emas”. Masih ada beberapa lagi sebenarnya, tapi sengaja tak saya sebutkan.
Dan beberapa tulisan dalam buku ini sebenarnya juga sudah diterbitkan di buku lain yang berjudul Lara Tawa Nusantara (2019), buku ketiga Fatris yang berisikan cerita perjalanannya dalam mengarungi tempat-tempat di Indonesia, seperti Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, Lombok, dan Bali—baik di kota, pedalaman, maupun pesisirnya.
Saya memang belum membaca Lara Tawa Nusantara, tapi saya membaca beberapa resensi tentangnya. Dalam beberapa resensi yang saya baca, saya menemukan beberapa cerita yang sama dengan cerita yang ada di Indonesia dari Pinggir. Misalnya, tentang Suku Dayak di Kalimantan—yang mendapat stigma menakutkan dari orang Barat macam Carl Bock bahwa suku-suku yang mendiami pedalaman Kalimantan dan hidup di tepi sungai-sungai lebar itu pemenggal kepala.
Atau kisah tentang Kusasi, sosok orangutan yang pernah merangkul aktris Hollywood papan atas, Julia Roberts, di Camp Leakey di pedalaman Kalimantan Tengah dalam esai “Pertarungan Terakhir”. Juga mungkin, dalam Lara Tawa Nusantara, ada beberapa tulisan yang pernah diterbitkan di DestinAsia Indonesia—dalam versi yang lebih pendek, tentu saja.
Buku Indonesia dari Pinggir dibagi menjadi dua bab. Bab pertama berisi delapan esai; dan bab kedua berisi tujuh esai. Bab satu diberi tajuk “Membelakangi Timur”; sedangkan bab dua judul “Di Tengah Pusaran Angin” disematkan. Saya tak paham maksud penulis memberi judul demikian, tapi saya menduga bahwa itu berkaitan dengan isi tulisan di masing-masing bab. Misalnya, “Membelakangi Timur” karena isi tulisannya memang menyangkut perihal wilayah Timur Indonesia.
Namun, terlepas dari soal-soal di atas, buku ini bagi saya adalah teropong lain yang memperlihatkan kepada kita betapa banyak tempat—menjambret bahasa yang sering Fatris gunakan—yang seperti tak tergambar dalam peta, bahkan Google saja tidak mampu menerangkannya, karena saking tak berartinya bagi kita.
Dalam buku ini, banyak nama tempat yang asing dan terdengar aneh di telinga, seperti Kobror—pulau yang teronggok di tengah kungkungan Laut Aru (Arafura), kata Fatris, Dobo, Mamasa, dan nama-nama manusia yang terdengar tak kalah anehnya. Misalnya dalam esai “Tarian Kematian” yang membahas tentang Suku Dayak Tomun di Kalimantan, Anda akan menemukan lelaki yang bernama Kakap, Mesin, Ponten, Yamaha, Arab… “Orang-orang di sini tidak pernah pusing mencari nama untuk anaknya,” kata Kakap, sebagaimana dituliskan Fatris dalam esai tersebut.
Indonesia dari Pinggir, seperti buku atlas, membawa kita menjelajah Indonesia bagian Timur yang tak terbayangkan, dari wilayah Nusa Tenggara Timur, Larantuka, Sumba, Lembata, Ruteng, sampai ke Timor Timur; lalu melompat ke Ambon, Buru, Kobror, Kampung Bira, Mandar, Toraja, Mamasa, Wakatobi, sampai pedalaman hutan Kalimantan. Semua tempat yang disebutkan memiliki kisah, sejarah, dan budaya masing-masing. Tempat-tempat ini seperti bercerita dengan duka, tawa, dan ironinya. Ironi?
Jangan tertipu, meski ini buku tentang perjalanan, alih-alih mendapatkan gambaran tentang keindahan atau eksotisme sebuah pulau, misalnya, sebagaimana yang tergores dalam kanvas Hindia Molek, gambaran haru-biru orang Eropa tentang eksotisme Timur, Anda justru akan mendapat sesuatu di baliknya—sesuatu yang membuat kuduk berdiri, rasa simpati yang halus menelusup, keheranan, renungan, dan tawa yang getir.
Indonesia dari Pinggir bukan sakadar ensiklopedia nama-nama tempat, orang-orang, atau kebudayaan, apalagi brosur pariwisata. Lebih dari itu, ini adalah rekaman yang dalam tentang prilaku hidup manusia, seni-budaya, perubahan zaman, pergeseran nilai, hingga kepercayaan lokal—yang membuat yang muskil, yang keras, yang suci, dan juga yang kejam, dijalani.
Semua itu diramu dengan pendekatan antropologis-sosiologis, sejarah, dan pengalaman personal yang tak mungkin didapat oleh orang lain. Fatris menambahkannya dengan metafor-metafor, anekdot-anekdot, dan humor-humor gelap yang membuat Anda ngakak terbahak, sekaligus terbungkam menerima kenyataan bahwa masih banyak tempat yang tidak kecipratan sila kelima Pancasila—atau sekadar masuk radar pembangunan yang sering digaung-gaungkan.
Di Mamasa, misalnya, Fatris mencatat, infrastruktur seperti jalan raya adalah hal yang langka. Sepeda motor akan berjalan di pinggir-pinggir jurang yang setiap saat longsor, bahkan memasuki rimba dan tidak ada jalan yang layak sama sekali.
Tapi jangan salah, tulis Fatris lagi, di tempat destinasi andalan wisata Sulawesi Barat ini, jaringan 3G telah memenuhi tiap sudut ibu kota kabupaten bahkan sampai ke desa-desa gelap—mengalahkan jalan. Internet sepertinya lebih dulu memasuki Mamasa ketimbang jalan raya. “Berjalan kaki di tengah kota pun harus rela mengarungi lumpur yang meluap dari drainase yang nihil.”
Dan Timor Timur, atau Bumi Loro Sae dalam esai “Dua Sisi Timor”, adalah tragedi dan ironi yang lain. Esai yang memotret negara demokratis Timor Leste setelah merdeka, bebas menentukan nasibnya sendiri, dari Indonesia pada tahun 2002 itu, memberi gambaran baru kepada saya tentang wajah Indonesia yang lain. Timor Leste punya catatan sejarah yang buruk dengan negara yang kita bangga-banggakan ini. Catatan-catatan dan video tentang kejahatan perang, kekejaman—beredar di sana.
Indonesia, sekali lagi yang kita bangga-banggakan ini, yang dalam Preambule UUD-nya mengutuk praktik penjajahan, di mata Timor Leste justru adalah negeri penjajah dengan catatan yang sarkas—walaupun Pemerintah Indonesia tidak mengaku sebagai penjajah. Tapi bukankah Belanda, Inggris, Portugis, juga tidak pernah mengaku menjajah Indonesia?
Di bangku-bangku sekolah di Timor Lesta, tulis Fatris, sejarah kekerasan tersebut diajarkan dengan lebih detail. Dalam beberapa catatan perjuangan Timor Leste, Indonesia kerap disebut sebagai tiran, penjajah bengis dengan moncong senjata terarah ke mana saja. Dan semua itu, kepedihan panjang negeri mungil ini disimpan, dirawat dengan serius di Resistência Timorense Arquivo & Museu—museum terpenting di Dili.
3/
Sampai di sini, saya pikir Fatris merupakan jelmaan wartawan sekaligus sastrawan—walaupun ia tidak memproduksi karya sastra. Pasalnya, catatan-catatan perjalanannya—di dalam buku ini maupun yang tersiar di berbagai media lainnya—selain mengandung unsur jurnalistik, juga bercitarasa seperti cerita pendek. Narasi-narasi Fatris mengalir tanpa putus. Akibatnya, saat membaca, saya urung berhenti.
Tak banyak penulis sebenarnya yang membuat saya semangat membaca. Tetapi, selain Mahfud Ikhwan tentu saja, Fatris berhasil membuat saya meluangkan waktu membaca lebih banyak dari biasanya. Indonesia dari Pinggir, bagi saya, adalah catatan perjalanan yang mengagumkan. Selain karena sudut pandangnya—Fatris lebih banyak menggunakan sudut pandang penduduk lokal, dan saya menyukai itu—dalam mendeskripsikan apa-apa yang ada, yang terjadi, dan bagaimana kini, juga cara berceritanya, pilihan katanya, humor-humor gelapnya, dan detail di setiap tulisannya, adalah berbagai hal yang menjadi alasan kekaguman itu.
Fatris tidak bermental kolonial sebagaimana, misalnya, meneer Henri Hubert van Kol waktu pelesiran ke Bali pada 1902—yang disebut-sebut sebagai turis pertama yang berkunjung ke Bali untuk tujuan pariwisata—yang kemudian menulis catatan perjalanan yang gemuk—setebal 826 halaman—yang berjudul Uit onze koloniën (From Our Colonies) itu—yang konon agak “kepleset”, penuh stereotip, dalam mendeskripsikan masyarakat yang ditemuinya. Dalam beberapa tulisan, Fatris justru membantah stereotip—walaupun kadang terlalu jujur, blak-blakan malah, saat menarasikan sosok yang ditemui atau tempat yang disinggahi.
Dengan latar belakang pendidikan yang ditempuh Fatris di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas, ia sukses membuat tulisan yang rapi dan luas dalam memotret kehidupan dan suasana Indonesia yang sebenarnya—yang tak tampak di layar-layar gawai atau di akun-akun media sosial. Jika dahulu Alfred Russel Wallace merangkum perjalanannya di Nusantara pada abad ke-19 dengan kacamata biologis dan geografis dalam Malay Archipelago, Fatris menjadi orang yang meneruskan dan memperluas perspektifnya dari jendela antropologi, sosilogi, dan histori.
Buku Indonesia dari Pinggir jelas ingin membedakan diri dengan kebanyakan buku catatan perjalanan lainnya, baik dari model brosur pariwisata negara dan/atau terutama yang dibuat oleh orang Eropa di zaman bahula. Sebagaimana dikatakan Fatris, catatan orang Eropa—si Indonesianis yang berkulit pucat—yang ditulis mulai abad ke-16 dan dinilai ikut mendorong kolonialisme itu, hanya melihat “Nusantara, Hindia Belanda, Indonesia” sebagai suatu yang eksotis “tanpa ada penderitaan yang dikandungnya.” Dan tentu karena itulah, Indonesia dari Pinggir ingin memperlihatkan bahwa, di tengah-tengah semburan slogan-slogan pariwisata yang telah dimulai sejak masa kolonial itu, penderitaan, lara, itu ada.
Indonesia dari Pinggir, saya pikir, menjadi sebuah memoar perjalanan yang, sekali lagi, mengagumkan, jika bukan yang sempurna, yang tidak hanya menyiratkan soal tempat-tempat yang memang sudah kadung populer, tetapi juga mencoba melihat permasalahan yang terjadi di baliknya sebagai olok-olok. Sindiran, kritikan, satire, humor, sinisme, dan uneg-uneg adalah hal yang akan sering Anda jumpai di lembar demi lembar, baik yang datang dari Fatris maupun orang-orang yang ia temui sepanjang perjalanan.
Akhirnya, bagi saya, buku ini adalah sebuah manifestasi dari kelucuan, kegalauan, ironi, dan suara-suara orang-orang yang tidak terekspos—orang-orang dari pinggir—di negeri ini, yang tak jarang dapat menyentil “kemanusiaan” dalam diri kita. Saya pikir demikian.[T]